Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELOMPOK masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo mencabut keputusan tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Mereka menilai langkah penyelesaian tersebut akan memutihkan kejahatan para pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
“Akhirnya dianggap selesai begitu saja atau diputihkan,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti, Rabu, 17 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Pelanggaran HAM di Proyek Strategis Nasional Jokowi
Pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat disampaikan Presiden Jokowi saat berpidato dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Selasa, 16 Agustus lalu. Jokowi mengklaim keputusan tersebut adalah bukti keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM berat.
Sejumlah sumber Tempo mengatakan tim itu beranggotakan 20 orang. Mereka bertugas mengungkap dan menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu secara non-yudisial; merekomendasikan pemulihan korban; dan merekomendasikan langkah pencegahan pelanggaran HAM berat agar tak terulang. Tim juga akan berfokus pada pemberian bantuan untuk korban dan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I, menilai tim itu hanya akan melanggengkan impunitas. Seharusnya pemulihan korban berjalan setelah pelaku kejahatan HAM diadili. “Keadilan tidak bisa diukur dengan pemberian materi,” kata Sumarsih.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan berbagai kasus pelanggaran HAM berat sulit dituntaskan karena adanya sejumlah pelaku yang kini berada di lingkaran Istana. “Kegagalan itu disebabkan adanya konflik kepentingan di pemerintahan hari ini,” ujar Isnur.
Adapun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan tim tersebut dibentuk lantaran penyelesaian secara yudisial kerap mandek. Mahfud berjanji proses hukum 12 kasus HAM berat tetap berjalan. “Kami buka jalur non-yudisial ini sebagai pengganti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” tutur Mahfud.
Baca: Wawancara Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat, Bagaimana Ia Bertahan di Aksi Kamisan
Bantarkan Surya Darmadi
Tersangka Surya Darmadi keluar menggunakan kursi roda saat menjalani pemeriksaan di Gedung Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, 18 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
PEMILIK PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, menyerahkan diri ke Kejaksaan Agung pada Senin, 15 Agustus lalu, setelah delapan tahun menjadi buron. Tersangka kasus korupsi penguasaan lahan sawit di Provinsi Riau yang merugikan negara Rp 78 triliun itu kembali ke Tanah Air setelah Kejaksaan menyita asetnya.
Selain di Kejaksaan, Surya menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia terlibat dugaan suap pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau kepada Kementerian Kehutanan pada 2014. Surya sedianya menjalani pemeriksaan oleh Kejaksaan dan KPK, tapi dia dibantarkan lantaran sakit.
“Pemeriksaan ditunda hingga kondisinya pulih,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pada Jumat, 19 Agustus lalu.
Bekas Wali Kota Cimahi Tersangka Lagi
Walikota Cimahi periode 2017-2022, Ajay Muhammad Priatna, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung KPK, Jakarta, 18 Agustus 2022. TEMPO/Imam Sukamto
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menahan bekas Wali Kota Cimahi, Ajay M. Priatna, pada Kamis, 18 Agustus lalu. Ajay yang baru bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap bekas penyidik KPK, Stephanus Robin Pattuju.
Ajay sebelumnya divonis dua tahun penjara karena kasus korupsi izin pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda, Cimahi. Dalam kasus anyar ini, Ajay diduga memberi suap kepada Robin dan pengacara Maskur Husain untuk mengurus perkara di KPK.
Robin dan Maskur terbukti menerima suap Rp 11,025 miliar dan US$ 36 ribu untuk mengurus lima perkara dugaan korupsi di komisi antirasuah. Sebagian duit itu ditengarai berasal dari Ajay. “Ditemukan adanya dugaan perbuatan pidana korupsi pihak lain,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, pada Kamis, 18 Agustus lalu.
Sejumlah Partai Diduga Catut NIK
Layar menampilkan laman dari Sistem Informasi Partai Politik (SIPPOL) di Jakarta, Jumat, 29 Juli 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
BADAN Pengawas Pemilu menduga sejumlah partai politik mencatut ratusan nomor induk kependudukan atau NIK untuk kepentingan pendaftaran peserta Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Lembaga itu menemukan 275 NIK anggota mereka di 32 provinsi terdaftar secara sepihak sebagai anggota partai.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja meminta Komisi Pemilihan Umum mencoret data NIK warga yang sebenarnya bukan anggota partai itu. “Kalau tidak dicoret, kami akan menindaklanjuti dengan pelanggaran administrasi,” ucap Rahmat pada Selasa, 16 Agustus lalu.
Rahmat menyebutkan lembaganya berencana mengadu ke polisi agar kejadian serupa tak terulang. Selama ini, menurut dia, sanksi bagi partai yang terbukti mencatut NIK hanya penghapusan data dari sistem informasi. Sebelumnya, KPU juga mendapati 98 NIK penyelenggara pemilu di 22 provinsi terdaftar sebagai kader partai politik.
KPK Tangkap Rektor Unila
KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap Rektor Universitas Lampung (Unila) Kamorani pada Sabtu dinihari, 20 Agustus lalu, di Bandung. Ia diduga menerima suap sekitar Rp 2 miliar. (Baca juga: Bagaimana KPK Akhirnya Menahan Mardani Maming)
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya menggelar operasi tangkap tangan di Bandung dan Lampung. “Pihak yang ditangkap di antaranya adalah rektor sebuah perguruan tinggi negeri di Lampung,” ujar Ali melalui keterangan tertulis.
Menurut Ali, penyelidik KPK masih menggali keterangan dari mereka yang ditangkap. Tim KPK juga melakukan penggeledahan di Lampung. Kamorani menjabat sebagai Rektor Unila sejak 2020. Guru besar komunikasi itu sebelumnya menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo