Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keuangan negara ataupun Pertamina tak mampu untuk terus menomboki subsidi BBM.
Hingga akhir Juli, konsumsi Pertalite dan biosolar sudah mendekati kuota tahun ini.
Jika kuota sudah habis, seharusnya Pertamina tak lagi menjual Pertalite ataupun biosolar.
PRESIDEN Joko Widodo akan menghadapi kenyataan pahit. Tak mungkin pemerintah terus memaksa Pertamina tak menaikkan harga bahan bakar minyak hingga akhir tahun ini. Ini memang kebijakan yang populer secara politis. Namun kondisi belakangan ini menunjukkan betapa kebijakan itu makin tidak realistis. Jika subsidi BBM terus dipaksakan, kredibilitas anggaran pemerintah bisa makin merosot. Kondisi keuangan negara ataupun Pertamina sepertinya juga tak akan mampu terus membendung kerugian jika harga jual BBM tidak naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber persoalan bukan hanya harga minyak dunia yang tak kunjung turun. Ada pula faktor dalam negeri yang bisa membuat politik subsidi berantakan. Ekonomi yang mulai pulih dari gebukan pandemi Covid-19 membuat mobilitas masyarakat meningkat. Otomatis tingkat konsumsi BBM terdongkrak. Hal itu tampak jelas pada kabar menipisnya kuota Pertalite ataupun biosolar, dua jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat karena harganya murah meriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap tahun pemerintah menetapkan kuota untuk dua jenis bahan bakar ini. Sebab, setiap liter Pertalite atau biosolar yang dijual Pertamina mengandung konsekuensi munculnya uang kompensasi atau subsidi yang harus dibayar negara. Kuota inilah yang menjadi patokan bagi pemerintah untuk menghitung berapa anggaran buat membayar kompensasi atau subsidi kepada Pertamina. Tentu, jika kuota ini sudah habis, semestinya Pertamina tak bisa lagi menjual Pertalite ataupun biosolar dengan harga murah.
Itulah yang kini terjadi. Per akhir Juli 2022, angka konsumsi Pertalite sudah mencapai 16,8 juta kiloliter. Kuota yang tersedia hingga akhir tahun hanya 23 juta kiloliter. Jika menghitung laju konsumsi tetap seperti sekarang, diperkirakan kebutuhan akan Pertalite hingga akhir tahun mencapai 29 juta kiloliter. Demikian pula yang terjadi pada biosolar. Kuotanya 14,9 juta kiloliter. Per akhir Juli 2022, sudah sekitar 10 juta kiloliter yang terpakai. Total kebutuhan hingga akhir tahun akan mencapai 19 juta kiloliter.
Ada beberapa opsi kebijakan bagi pemerintah untuk mengatasi situasi ini. Pertama, membatasi konsumsi. Dus, masyarakat tak bisa lagi semaunya membeli dua jenis BBM itu. Sisa kuota yang sudah menipis bisa dihemat hingga akhir tahun. Harga Pertalite dan biosolar tak perlu naik. Alternatifnya, menambah kuota, yang notabene berarti menambah lagi anggaran untuk subsidi dan kompensasi.
Dua pilihan ini sama-sama punya dampak negatif. Opsi pertama pasti akan menimbulkan gonjang-ganjing sosial. Orang akan marah jika sulit mendapatkan BBM. Bagi ekonomi, pembatasan konsumsi BBM akan berdampak seperti rem pakem yang memperlambat pertumbuhannya yang sedang menggeliat.
Pilihan kedua tak kalah besar mudaratnya. Subsidi BBM jelas secara tidak proporsional lebih menguntungkan kelas menengah-atas, pemilik kendaraan pribadi. Dan, yang lebih krusial, secara finansial apa mungkin pemerintah menambah lagi anggaran untuk subsidi energi yang saat ini sudah dipatok luar biasa besar, Rp 502 triliun? Tambahan anggaran subsidi bisa-bisa akan melumpuhkan aktivitas pemerintah yang lain.
Walhasil, opsi yang lebih realistis adalah menaikkan harga Pertalite dan biosolar sesegera mungkin. Keuangan pemerintah dan Pertamina akan tertolong. Tak ada kelangkaan pasokan yang berujung pembatasan konsumsi BBM. Anggaran yang sebelumnya hanya terbakar habis menjadi subsidi dan kompensasi bisa dialihkan ke bantuan sosial. Pemerintah bisa menolong kelompok rentan dari dampak inflasi yang akan melonjak karena kenaikan harga BBM.
Jelas, membiarkan harga BBM naik adalah kebijakan tidak populer. Partai-partai politik akan cuci tangan dan membiarkan beban ini menjadi tanggung jawab Presiden Jokowi sendiri. Sementara itu, waktu sama sekali tidak berpihak pada keraguan. Makin lama keputusan mengurangi subsidi BBM tertunda, dampak buruknya akan makin besar. Baik pengusaha maupun investor mesti cermat memperhatikan segala sinyal yang muncul dari politikus, menteri, ataupun presiden sendiri. Akankah pada akhirnya keputusan sulit ini muncul pada pekan-pekan mendatang?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo