Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Cukai

Dalam sejarah resolusi prancis para financiers disebut sebagai para pengisap darah. memiliki kekuaasaan. di abad itu prancis dilanda penyakit biaya tinggi. deregulasi bisa menciptakan banyak musuh.

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP revolusi punya daftar kebenciannya sendiri. Dalam sejarah Revolusi Prancis, nama yang tertera paling atas pada daftar itu adalah para financiers. Orang menyebut mereka "para pengisap darah", sangsues. Mereka menyangka, diri mereka pembantu terbaik kerajaan. Kedua-duanya benar. Prancis sebelum Revolusi adalah Prancis yang mengadakan "debirokratisasi" -- atau tepatnya " penswastaan" -- pemungutan pajak. Negeri ini, berbeda dari Inggris, tak punya aparat pemerintahan untuk urusan fiskal. Setiap enam tahun sekali, istana menawarkan kepada sejumlah orang kesempatan "menuai" beberapa jenis pajak tak langsung dari masyarakat. Syaratnya: mereka, yang bekerja dalam satu sindikat, harus menyerahkan kepada kerajaan sejumlah uang. Dengan efisiensi yang keras, sindikat para "penuai" ini menarik cukai, terutama cukai garam dan tembakau. Dengan segera, mereka berkembang menjadi semacam negara dalam negara. Karyawan mereka mencapai 30 ribu orang -- dua pertiganya terdiri dari kekuatan paramiliter yang bersenjata dan punya hak untuk memasuki, menggeledah, dan menyita hak milik siapa saja yang mereka curigai. Para financiers itu juga punya kekuasaan yang lain: dalam komoditi penting seperti tembakau dan garam, mereka sekaligus produsen, fabrikan, pengolah, penjaga gudang, pedagang besar, dan pengecer. Cerita perjalanan garam dari awal sampai ke tangan konsumen, dari ladang-ladang di Brittany sampai dengan dapur di Paris, sebab itu cerita yang cukup ruwet. Di tiap tahap barang itu diperiksa, dicek, dicatat, dikawal, dicek lagi, dicatat lagi, dan tentu saja dipajak. Harga dikontrol. Penggudangan diawasi. Seandainya pun para financiers tak kuasa untuk menentukan harga, proses birokratis pengawasan yang bertahap-tahap itu akan menyebabkan garam menjadi amat mahal setiba di tangan konsumen. Sebelum Indonesia di abad ke-20, Prancis di abad ke18 itu telah terjangkiti penyakit "ekonomi biaya tinggi". Dalam sistem semacam itu, yang kaya ialah para financiers. Rumah mereka mentereng, dinding-dindingnya dihiasi lukisan mahal, gadis-gadis mereka jadi incaran bangsawan yang kepingin mendapatkan cipratan harta yang bisa ditukar dengan sedikit gelar ningrat. Seorang sejarawan melukiskan bagaimana janda seorang farmeur yang punya salon paling cemerlang di Paris hidup "dikelilingi sepasukan besar kucing Angora, yang setiap ekornya menyahut bila dipanggil namanya dan kepalanya berhiaskan pita sutera". Tetapi rakyat, yang tak bisa dipelihara seperti kucing, membenci mereka dengan sengit. Pada tahun 1782, seorang penulis terkenal menyatakan bagaimana sulitnya ia menahan hati bila ia kebetulan berjalan melewati Hotel des Fermes, tempat para "pengisap darah" itu berkantor. Tiap kali ia memintas di sana, ia serasa ingin "membalik mesin neraka yang besar itu, yang telah mencekik dan mengisap keluar darah tiap warga negara". Tidak mengherankan bila ketika Revolusi pecah, kaum "penuai pajak" inilah yang dideretkan di bawah pisau guillotine lebih dulu. "Gemetarlah, kalian yang telah mengisap darah orang-orang miskin yang malang," seru Marat, sang pemimpin Revolusi yang penuh teror itu. Seandainya mereka punya kesempatan, seandainya keadaan bisa lain, kepala mereka mungkin tak harus putus dan terlontar ke keranjang jerami. Tetapi Prancis telah gagal diselamatkan. Beberapa sejarawan pernah menulis, seandainya Prancis seperti Inggris, yang mengandalkan birokrasi yang relatif bersih dalam memungut pajak, dan bukan kepada para "penuai" fiskal yang swasta dan serakah itu, Negeri Louis XVI akan punya akhir yang lebih enak. Kita tak tahu, sebab sejarah tak bisa ditulis dengan kata "seandainya". Tapi barangkali dalam kekisruhan yang kita alami sekarang di sekitar pengertian "deregulasi" dan " debirokratisasi", pengalaman Prancis dua abad yang lalu tak terasa teramat jauh. Yang penting nampaknya bukanlah ada atau tidaknya regulasi dalam menjalankan perekonomian. Lebih penting lagi ialah jelasnya aturan-aturan, keadilannya, dan konsistensinya. Tanpa konsistensi, yang terasa ialah kebimbangan dan mungkin kesewenang-wenangan. Hampir 20 tahun sebelum Louis XVI dipotong lehernya oleh kaum revolusioner, Menteri Turgot mencoba mengadakan "deregulasi". Ia gagal. Ada yang mengatakan ia terlalu terburu-buru, ada yang mengatakan bahwa deregulasinya menciptakan banyak musuh yang kepentingannya terancam. Tapi ia memang tak banyak waktu. Ia bilang, ia datang dari keluarga yang berumur pendek, dan ia tahu ia hidup dalam sebuah sistem yang juga berumur pendek. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus