INILAH hari-hari antara perang dan damai. Mereka yang di Teluk bersiap perang, sementara dunia mencoba mencari jalan damai. AS (dan sekutunya) terus mengirim tentara dan perlengkapan perang, dan merencanakan memvaksinasi tentaranya, sebagai upaya menangkal senjata kimia. Yordania sudah mempersiapkan tentaranya di perbatasan dengan Israel -- kalau-kalau perang pecah dan Israel ternyata melibatkan diri. Turki, sebagai anggota NATO, minta bantuan pesawat untuk mempertahankan diri -- pekan ini Jerman mengirimkan 18 jet tempur Alpha, dan Belgia menerbangkan 18 Mirage-5-nya ke Turki. Baghdad pun sudah melatih warganya bila ada serangan udara. Tentara Irak di Kuwait pun sudah diperkuat. Dan dari Yordania, orang-orang Palestina di Negeri Raja Hussein itu terus menyatakan bersedia bertempur di sisi Saddam. Bagi mereka, perang lebih baik daripada damai. Sementara itu, sejumlah pihak mengadakan pertemuan, mencoba mencari jalan diplomasi buat krisis Teluk -- di Libya, di Pakistan, misalnya. Puncak upaya ini berlangsung Rabu pekan ini di Jenewa, pertemuan dua pihak yang langsung jadi peran utama krisis Teluk: AS (Menteri Luar Negeri James Baker) dan Irak (Menlu Tareq Aziz). Tapi, di awal pekan, banyak sudah yang ragu, adakah pertemuan Jenewa itu membuahkan sesuatu untuk jalan damai. Soalnya, Saddam kembali memperlihatkan sikap yang oleh Barat disebut "tak fleksibel". Ahad lalu, dalam pidato memperingati ulang tahun ke-70 angkatan bersenjata Irak, ia kembali menekankan pentingnya mengaitkan penyelesaian Kuwait dengan masalah pendudukan Israel atas tanah air bangsa Palestina. Saddam menyatakan, Irak akan berperang demi membela bangsa Palestina, dan bahwa kegagalan untuk mengaitkan krisis Teluk dengan masalah Palestina hanya akan memecah belah persatuan Arab. Irak, menurut Saddam, takkan meninggalkan Kuwait karena itu adalah wilayahnya yang dulu direbut penjajah. Bahkan Menlu Tareq Aziz hari itu mengatakan, batas waktu 15 Januari hanya ada dalam angan-angan George Bush. Jadi, perang pasti meletus? Masih ada sementara orang yang yakin, krisis Teluk sebenarnya sedang mendekati penyelesaian. Sikap Saddam yang kedengarannya kaku itu pada hakikatnya tak lebih hanya taktik untuk memperkuat kedudukannya dalam menghadapi pertemuan Jenewa. Semua pihak, termasuk Saddam, pada dasarnya menyadari besarnya risiko perang. Perang itu, bila benar meletus, diduga bukan perang lokal. Mungkin secara fisik hanya terjadi di kawasan Teluk. Tapi inilah perang yang oleh banyak pihak diduga akan melibatkan emosi umat Islam dari seluruh dunia. Perang ini akan mengguncangkan dunia, dan punya dampak luar biasa terhadap lingkungan ( sejumlah ahli Jepang, Uni Soviet, dan AS kini sedang meneliti seberapa jauh iklim akan berubah akibat perang di Teluk itu). Perang di kawasan tambang minyak itu tentu akan membuat sumber minyak, di Irak dan Kuwait terutama, dimakan api. Kemungkinan besar juga sumber minyak di Saudi. Padahal, menurut para ahli, kebakaran di sumber minyak tak mudah dipadamkan. Dibutuhkan waktu bukan cuma hari atau minggu, tapi bulan. Yakni, enam sampai sembilan bulan sesudah perang usai baru kebakaran itu bisa dipadamkan. Yang juga bisa mendatangkan bencana, bila perang mendatangkan hujan asam di kawasan Timur Tengah. Ini akan membuat lahan subur yang tak luas di sini jadi gersang. Satu ancaman kekurangan bahan pangan bisa sangat serius (lihat Lingkungan). Lalu, mengapa Saddam bersikeras mengaitkan Kuwait dengan masalah Palestina, yang menyulitkan dia untuk mundur tanpa kehilangan muka? Karena hanya itulah satu-satunya isu yang akan mempertahankannya dan mendukungnya sebagai tokoh yang belum melupakan nasib bangsa Palestina dan pemimpin Arab. Argumentasi yang diajukan Saddam dan didukung kuat dalam masyarakat Arab adalah pendapat bahwa Barat, terutama Amerika, telah bertindak tak adil dan mempraktekkan "moralitas ganda". Ada yang mencoba membela Israel. Yang terjadi atas Kuwait dan wilayah-wilayah yang diduduki Israel adalah berbeda, katanya. Yang dilakukan Irak adalah pencaplokan, sedangkan Israel merebut Gaza dan sebagainya itu dalam sebuah perang. Itu sebabnya Resolusi PBB mengutuk Irak, tapi tak menghukum Israel (hanya meminta masalah konflik wilayah yang diduduki diselesaikan secara damai). Tapi bukankah kemacetan sekarang ini bisa juga dilihat sebagai perang? Saddam, yang oleh Israel disebut sebagai pemimpin yang luas wawasan dan penuh perhitungan, mengulur-ulur waktu agar AS terus mengeluarkan uang guna membiayai pasukannya. Ia berharap, ini akan menimbulkan protes keras di dalam negeri AS, dan bisa menjatuhkan Bush. Babak baru, dengan kemungkinan baru, bisa saja terjadi, setelah itu. Tapi Bush mestinya menyadari taktik itu. Karenanya, dalam satu bulan terakhir ini ia sibuk berkampanye agar Kongres, yang dikuasai oleh Partai Demokrat yang beroposisi, mengerti akan posisinya dan karenanya mendukung langkah-langkah kebijaksanaan yang ditempuhnya. Ia sadar, kalau terpaksa berperang, front belakang harus bersatu mendukungnya. Untuk sementara keadaan menguntungkan Bush. Poll yang dilakukan oleh majalah Time beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa dukungan terhadap Bush naik daripada poll sebelumnya. Sementara itu, pihak AS pun menganggap kemacetan juga akan merugikan Irak. Dalam sebuah brifing pada para anggota Kongres yang berkunjung ke front, Jenderal H. Norman Schwarzkopf, panglima tentara Amerika di Teluk, mengatakan bahwa yang dilakukan Amerika adalah membuat tentara Irak siaga penuh terus-menerus. Dengan demikian, senjata dan mesin perang mereka akan aus, dan karena adanya blokade dunia, Irak sulit mendapat suku cadang. Dalam kondisi seperti itu, bila perang harus pecah, korban bisa ditekan sekecil mungkin. "Duduk kepanasan di bawah terik matahari gurun pasir untuk satu musim panas lagi adalah pilihan lebih baik ketimbang mati dalam perang," kata Schwarzkopf, setengah bergurau, pada wartawan Los Angeles Times. Tapi tampaknya ada hal lain yang mesti diperhitungkan. Yakni bergeraknya oposisi Irak yang melarikan diri ke luar negeri (lihat Guncangan Lain dari Saddam). Dikhawatirkan, pertemuan 21 faksi oposisi di Beirut sehari menjelang Natal lalu -- menghasilkan deklarasi 12 pasal yang mengikhtisarkan "jalan demokrasi" di negeri mereka -- memojokkan Saddam untuk mengambil jalan perang. Sebab, para pemimpin oposisi yang terdiri dari kaum separatis Kurdi, mullah Syiah, pelarian politik, dan bekas diplomat, mengatakan jalan satu-satunya untuk mencegah perang adalah dengan menyingkirkan Saddam. Maka, bila pemecahan diplomasi bisa disepakati, Saddam tetap terancam. Dalam posisi seperti itu, bukankah bagi seorang diktator seperti Saddam pilihan hancur bersama lebih baik daripada sengsara sendiri? Faktor lain pendorong perang adalah pendapat umum di Yordania. Sekitar 50% penduduk negara itu adalah orang Palestina yang menginginkan kembali ke tanah leluhur mereka di Tepi Barat. Jadi, kebencian mereka kepada Israel dan pelindungnya, Amerika, sangat kuat. Suatu ledakan kemarahan di Yordania akan menyebabkan letupan perang yang bisa melibatkan Israel. Keter- libatan Israel adalah hal yang paling dinanti-nantikan Saddam, karena kalau itu terjadi, koalisi Amerika dengan sekutu Arabnya akan berantakan. Sejak pagi Israel sudah mengancam akan menyerbu Yordania apabila terjadi suatu perubahan politik atau konflik bersenjata di negeri yang dibanjiri pengungsi dari Irak dan Kuwait itu. Negeri kecil itu terjepit secara geografis oleh Irak dan Israel. Dengan mempertimbangkan tekanan dari dalam dan dari luar, nampaknya tak ada alternatif lain bagi Saddam daripada memukul genderang perang. Buat dia, maju penuh risiko, mundur pun sama saja. Dan bukankah Saddam Hussein telah maju terlalu jauh? Ia sudah menentang opini dunia dengan menyerbu dan kemudian menganeksasi Kuwait. Ia sudah mengatakan masalah Palestina harus dikaitkan dengan jalan keluar di Kuwait. Kedua hal itu ditentang secara keras oleh Amerika dan sekutu-sekutu Arabnya. Pada pertemuan di Jenewa, bisa saja Baker mengatakan, "Sekarang keluar dulu dari Kuwait, masalah-masalah lain kita bicarakan kemudian." Lalu Baker, seperti direncanakan, akan menunjukkan foto-foto kekuatan militer yang mengepung Irak. Harapannya, Tareq Aziz akan jadi kecut, dan mendesak Saddam agar tak terus berkeras kepala. Tapi bagaimana bila Aziz menganggap itu cuma gertakan Amerika? Lagi pula, adakah cara mundur buat Saddam tanpa harus mencabut janjinya berperang demi Palestina? Seandainya itu ia lakukan, bukankah ia akan dimusuhi oleh seluruh bangsa Palestina (dan mungkin juga Arab)? Dilihat dari berbagai segi, kelihatannya pecahnya perang lebih kuat daripada jalan damai yang selama ini terbayang. Ataukah suatu keajaiban akan muncul di Jenewa suatu hal yang akan melegakan dunia? A. Dahana TABEL ----------------------------------------------------------- - Tentara - Kapal Perang ----------------------------------------------------------- AS 430.000 AS 55 Dewan Negara Teluk 150.000 Dewan Negara Teluk 36 Inggris 35.000 Inggris 16 Mesir 20.000 Prancis 14 Syria 19.000 Itali 6 Prancis 10.000 Belgia 3 Pakistan 7.000 Kanada 3 Bangladesh 2.000 Belanda 3 Maroko 1.700 Spanyol 3 Senegal 500 Australia 2 Nigeria 480 Argentina 2 Ceko Slowakia 200 Uni Soviet 2 Honduras 150 Denmark 1 Argentina 100 Yunani 1 . Norwegia 1 . Portugal 1 ----------------------------------------------------------- Jumlah 676.130 149 ----------------------------------------------------------- - Irak - Irak Tentara 510.000 Frigat 1 Cadangan 480.000 Perusak 8 Milisi 850.000 Kapal Torpedo 6 ------------------------------------------------------------ - Pesawat - Tank AS 1.300 AS 2.000 Dewan Negara Dewan NegaraNegara Teluk 330 Negara Teluk 800 Inggris 48 Mesir 400 Prancis 36 Syria 270 Kanada 18 Inggris 163 Mali 8 Prancis 40 ------------------------------------------------------------ Jumlah 1.740 Jumlah 3.673 ------------------------------------------------------------ - Irak 500 - Irak 4.000 ------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini