TANGGAL 14 September 1977, 34 petani ditangkap pihak keamanan,
dijebloskan ke penjara Provinsi Davao del Norte, Filipina.
Tanggal 21 Agustus 1983, peluru menembus kepala Benigno Aquino
di lapangan udara Manila. Dan Filipina muncul sebagai negara
percontohan yang nyaris sempurna tentang eksperimen westernisasi
di Asia Tenggara.
Masyarakat yang pada 1521 -- ketika "ditemukan" Ferdinan
Magellan -- terdiri dari barangay-barangay (masyarakat politik
kekeluargaan yang otonom) tersebar di sepanjang sungai, dengan
sistem kehidupan amat sederhana itu, tiba-tiba lahir sebagai
yang paling mendekati corak Barat di kawasan Afrika ataupun
Asia.
Tahun 1903 saja, 25% rakyatnya telah mencapai tingkat melek
huruf, dan kemudian secara drastis meningkat menjadi 83% di
tahun 1970. Padahal Ghana pada 1950 baru mencapai 22,5%, Mesir
19,9%, India 19,3%, dan Indonesia 17,5%. Dalam dunia pendidikan,
Filipina masuk kelompok ketiga tertinggi di antara 105 negara.
Karena itu tidak mengherankan kalau dalam 10 tahun, 1956-1966,
lebih dari setengah juta kaum profesional dicetak di
sekolah-sekolah Filipina.
Sementara itu perkembangan sosial-politiknya juga menunjukkan
gejala yang sama. Sejak awal abad ke-19, organisasi-organisasi
buruh, pengusaha, serta profesional telah berkembang biak.
Tahun 1930-1940 organisasi petani sudah sangat aktif. Dan selama
Gerakan Reformasi (1872-1895), formula politik demokrasi liberal
telah didiskusikan oleh Jose Rizal, Graciano Lopez Jaena,
Marcelo H. del Pilar, founding fathers Filipina -- yang kemudian
di masa pendudukan Amerika (1898-1946) menjadi semakin mapan.
Dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi dan industri, apa yang
telah dicapai di tahun 1960 saja telah jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Kamboja, Etiopia, Indonesia, Pakistan,
ataupun Muangthai.
Toh Jose W. Diakno menyebut masyarakat ini mengandung beban
paradoksis di dalamnya. Ia satu negara tapi bukan satu bangsa.
Benar independen, tapi tidak punya kedaulatan. Ia memang
memiliki konstitusi demokrasi yang menyajikan persamaan
kebebasan bagi semua, tapi hanya sebagian kecil yang betul-betul
menikmatinya. Sementara itu para pemilik tanah luas berhadapan
dengan masyarakat miskin.
Filipina muncul sebagai bangsa mengambang. Jika dewasa ini
kritik kaum intelektualnya berkembang di sekitar 'bangsa tanpa
identitas', maka prosesnya telah dimulai sejak dahulu.
Sampai-sampai tidak ada -- demikian Constantino -- cerita atau
roman Filipina yang mengacu pada konteks lokal.
Dan muncullah lapisan kepemimpinan politik yang sebagian besar,
bahkan semuanya, berasal dari kelas menengah ke atas. Mereka
yang menjadi presiden sejak 1935 sampai 1971 -- kecuali
Magsaysay -- adalah pengacara, lulusan universitas terbaik di
negeri itu, University of the Philippines dan University of
Santo Thomas. Dari kedua universitas ini pula terekrut sebagian
besar anggota Senat dan Kongres. Walau asal-usul elitisme
politik ini relatif homogen, mereka bukan pula satu kesatuan
kohesif, melainkan kekuatan terpecah-belah, tidak terorganisasi,
serta kurang disiplin.
Itu semua diimbangi oleh realitas ekonomi yang timpang, semakin
teguhnya kekuatan kelompok menengah, yang punya pengaruh
terhadap proses pembuatan kebijaksanaan nasional, semakin
mekarnya kekuatan oposisi, semakin dibutuhkannya investasi asin
untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, serta -- demi membendung
pengaruh komunis -- semakin kuatnya interes militerisme Amerika.
Dan lahirlah gelombang itu. Saling sikat di tengah ketegangan
sesama elite di tahun 1970-an telah menimbulkan kecemasan akan
ketidakstabilan ekonomi dan politik. Bagi Filipina, yang dalam
dirinya terkandung kuatnya pengaruh Amenka dan besarnya
investasi asing, proses-proses ini dalam perspektif mereka hanya
akan menimbulkan dua hal. Mekarnya gerakan subversif komunis dan
mandeknya pembangunan ekonomi & industri.
Dengan asumsi-asumsi inilah Marcos, 1972, mengumumkan
Undang-undang Darurat Perang. Di bawah undang-undang ini
fragmentasi kekuatan politik lenyap, sebaliknya muncul elite
yang kohesif dalam jumlah lebih kecil. Tugasnya sebagai pengawal
kestabilan telah mengundang kaum militer meninggalkan barak,
bergabung menjadi bagian elite politik. Dari sini dimulailah
kolaborasi 'sipilmiliter' atau militerisasi politik di Filipina.
Jelas, kehadiran elite baru ini tidak untuk merombak struktur
sosial yang pincang. Latar belakang yang tetap homogen mendorong
mereka mengaitkan diri ke dalam struktur kapitalisme
internasional & kepentingan militerisme Amerika.
Setidak-tidaknya kenyataan ini bisa dilihat dari strategi
pembangunan pertanian yang sangat menekankan pentingnya jenis
pertanian ekspor daripada pangan.
Bukan saja tampak pada konsentrasi pemilikan tanah lebih besar
yang diperhitungkan bagi tanaman ekspor. Tapi juga tingkat
kenaikan ekspor hasil bumi, seperti kelapa, gula, nanas, pisang,
dan tembakau, melebihi tingkat kenaikan sektor bahan pangan.
Padahal konsumsi kalori per hari per orang di sini yang terendah
di kawasan Asia.
Eduardo Tadem mengatakan, pengaruh Amerika Serikat jelas sekali:
secara giat mempromosikan sistem pertanian kapitalis. Sementara
itu perusahaan transnasional AS dan asing lain yang
berkecimpung dalam arobisnis telah bertahun-tahun membina diri
di pedalaman. Di bidang industri nanas, pisang, karet, kayu
balok, dan kelapa, partisipasi asing telah jauh berkembang dan
beberapa industri di atas telah berada di bawah kontrol mereka.
Dan selama sembilan tahun Undang-Undang Darurat Marcos, paradoks
yang dikandung masyarakatnya semakin kuat. Ekspor makin
digalakkan, dan insentif penanaman modal asing diperbesar. Untuk
ini upah buruh harus lebih murah: selama sembilan tahun itu upah
riil turun 30%. Pendapatan petani lebih buruk lagi: turun 53,4%.
Untuk menjaga kontinuitas saling menguntungkan antara
pihak-pihak dalam dan luar, Juga karena logika militerisasi yang
memerlukan lebih banyak senjata dan tentara, Amerika dalam tahun
1980 memberikan bantuan militer sebesar US$ 500 juta. Sebagai
imbalannya, Amerika berhak memegang kontrol operasi militer
negeri itu. Kesemua bentuk bantuan militer, investasi asing
besar-besaran, serta kemunculan kelompok elite politik baru
Filipina saling berkait.
Maka demi keamanan negara dan sistem, segala bentuk kekuatan
yang menandingi kekuasaan yang mapan harus ditiadakan. Sebab ia
bisa menimbulkan berbagai konflik. Ditangkapnya 34 orang petani,
dengan tuduhan melanggar Inpres No. 772, yang dikenal sebagai UU
Anti-Penghuni Liar, dan dibunuhnya Aquino, tokoh potensial
pengganti Marcos, hanyalah contoh kecil-besar yang merefleksikan
proses-proses itu. Termasuk ke dalamnya, sehubungan dengan
Aquino, keinginan militerisasi yang lebih tuntas: kekuasaan
Marcos, yang sudah hampir berakhir, tak diharapkan jatuh
"kembali" ke tangan sipil dengan kepulangan 'orang buangan' itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini