PAGI hari di Pasar Tanah Abang, Jakarta, menjelang IduL Adha.
Puluhan kambing turun dari truk dengan mulut mendengus -- lalu
satu-satu mengembik. Beberapa ekor di antaranya langsung
melahap sampah jalanan. Tapi ada pula yang sempat menghampiri
betina di sampingnya -- mengudainya.
Pasar kambing Tanah Abang di hari-hari biasa terletak di bagian
belakang pasar, tersembunyi dari jalan raya. Namun, sejak awal
bulan ini untuk menyongsong Lebaran Haji, bursa hewan itu
pindah ke depan, di pinggir jalan raya, bersatu dengan pedagang
kaki lima yang lain. "Satu hari saya bisa menjual 150 ekor
kambing. Kalau hari biasa, paling banyak 15 ekor kata Rahmat M.
Ijon, 32 tahun, salah seorang makelar kambing di sana, yang
biasa mengumpulkan hewan-hewan itu dari beberapa pasar di Gunung
Kidul dan Magelang, Jawa Tengah.
Kambing umumnya masih menjadi peternakan rakyat. Di desa, orang
memelihara kambing untuk dijadikan semacam tabungan satu atau
dua ekor. Menjelang hari raya di saat harga kambing naik,
tabungan itu dipecah. Kambing diserahkan kepada tengkulak yang
datang ke desa. Atau dijual sendiri kepada tetangga yang hendak
berkurban.
Tentu saja ada peternak yang tidak sekadar memelihara kambing
sebagai pekerjaan sambilan. Misalnya Sawi, 35 tahun, di Desa
Perak, Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Ayah tiga anak ini,
mengaku sudah 20 tahun beternak kambing jenis kacangdn - berbulu
tipis dan tidak ada bulu berwarna putih. Jenis kacangan ini
cepat laku dan bisa lebih mahal.
Tahun lalu, Sawi bermodalkan 15 ekor kambing betina dan 2
pejantan unggul. "Sekarang sudah berkembang jadi 70 ekor, yang
10 ekor dijadikan modal," katanya. Ia menjual sendiri kambingnya
ke Surabaya karena tidak percaya pada tengkulak yang datang.
Menurut Sawi, untuk mengembangbiakkan kambing lebih cepat,
"setiap hari pejantannya saya beri jamu kuat. "Jamu itu terdiri
dari telur dan madu dicampur merica. Kalau pejantan diberi jamu
itu, "wah biasanya lupa pada rumput, sambil mengembik-ngembik ia
mendekati kawan betinanya, digilir satu-satu," kata peternak
berpendidikan SD itu sambil tertawa. Kambing yang berumur lebih
dari setahun, digauli sekali saja langsung bunting. "Kalau sudah
bunting, jarang beranak satu, paling sedikit kembar," katanya.
Sistem kandang peternakan Sawi juga sederhana. Pekarangan
rumahnya dipagari kuat-kuat, kambing-kambing dilepas, bercampur
jadi satu di pekarangan itu. Makanan hewan-hewan itu adalah daun
lamtoro. Satu-satunya penyebab kematian ternaknya, kata Sawi,
jika kambing itu meloncati pagar dan ditubruk mobil. Pekarangan
rumah Sawi, yang dijadikan kandang, memang terletak di pinggir
jalan raya yang ramai.
Peternakan kambing yang tergolong modern ada di lereng Bukit
Menoreh, Kecamatan Kaligesing, Purworejo Jawa Tengah. Tetapi
peternakan ini bukan untuk bisnis kambing. "Proyek ini bertujuan
melestarikan kambing jenis etawa yang hampir punah," kata Drh.
Kusmono, Kepala Dinas Peternakan Jawa Tengah. Proyek pemerintah
ini dimulai tahun 1982 dengan modal 100 ekor kambing, di
antaranya 5 ekor pejantan.
Kini sudah berkembang menjadi 183 ekor, 150 ekor tetap di
peternakan milik pemerintah itu, sisanya disebarkan kepada
penduduk untuk dikembangkan.
Jenis etawa yang dilestarikan ini sudah blasteran, sehingga
sering disebut etawa Kaligesing. Menurut Sugito, mantri hewan di
Kaligesing, di zaman penjajahan Belanda dulu didatangkan kambing
ras etawa dari India dan dikawinkan dengan ras Jawa. Hasilnya
etawa Kaligesing. Kambing ini dikenal besar dan gemuk, Tingginya
70 cm. Makanannya rumput gajah dan setaria yang khusus ditanam
di sana. Kambing ini pun masih diberi tambahan vitamin, yakni
consentrat. "Kami membutuhkan consentrat sekitar 3 ton setiap
bulan," kata Supriyanto, pemuda lulusan Sekolah Peternakan
Menengah Atas Malang, yang bekerja di proyek Kaligesing.
Jenis ras etawa Kaligesing ini banyak dicari orang untuk kurban.
Karena itu, Pasar Hewan di Desa Pendem, Purworejo, selalu ramai
setiap pasaran yang berlangsung 5 hari sekali. Truk berjejer di
pinggir jalan depan pasar itu. "Kambing etawa harganya sampai Rp
100.000 seekor, banyak dicari orang-orang kaya," kata Prawiro
Hardjono, pedagang kambing yang sehari-hari lurah Desa Kaligono,
Purworejo.
Prawiro Hardjono, tengkulak kambing yang selalu memanfaakan
panen Lebaran Haji ini, sejak tiga bulan lalu berkeliling ke
desa-desa mengumpulkan kambingnya. Kambing itu selain dipelihara
di rumahnya, juga disebar di 5 desa terdekat, dipelihara
orang-orang upahan sambil menunggu datangnya hari raya. "Saya
menerima pesanan ratusan kambing dari seorang pedagang kambing
asal Banten," ucap Prawiro. Juga ia menerima pesanan dari
Semarang. Ketika ditemui pekan lalu di Pasar Pendem, Prawiro
membawa 125 ekor kambing. Ia masih menyimpan 200 ekor kambing di
luar pesanan tadi yang baru akan dijual dua hari menjelang Idul
Adha. "Supaya harganya semakin tinggi," kata lurah ini, yang
mengaku sudah bisa membeli satu hektar sawah, rumah yang cukup
bagus, dan mobil Kijang hasil jual beli kambing selama ini.
Di bagian utara Jawa Tengah, pasar hewan yang terkenal jadi
pusat kambing adalah Pasar Jati, Kudus. Sudah sejak 2 minggu
sebelum Idul Adha pasar seluas 2 hektar itu tak mampu menampung
kambing, sehingga melimpah ke jalan raya dan memacetkan lalu
lintas. Pedagang datang dari berbagai daerah. Ada yang lengkap
dengan truk.
Kalau tengkulak kambing di pasar hewan mengumpulkan jauh hari ke
desa-desa, makelar seperti Rahmat Ijon di Tanah Abang cukup
mendatangi pasar hewan di Gunung Kidul dan sekitar Magelang.
Dengan truk yang mampu memuat 180 ekor, kambing itu menempuh
perjalanan panjang menuju Jakarta. Harganya pun jadi tinggi.
Seekor kambing ukuran-sedang laku di Tanah Abang Rp 70.000,
padahal di Magelang bisa diperoleh dengan Rp 40.000. Dan Ijon
pantas mengaku, omset bisnis kambingnya sehari sampai Rp 5 juta
menjelang Idul Adha ini. Di hari-hari biasa, omset itu hanya Rp
3 juta setiap 5 hari -- mengikuti hari pasaran di Jawa Tengah.
Ijon, yang juga menerima pesanan dari beberapa panitia Idul
Qurban, biasa pula menerima titipan. Pembeli sudah membayar
kontan, tetapi kambing dititipkan dulu di tempat Ijon. Untuk
itu, ia memberikan harga khusus. "Risikonya, kalau kambing itu
sakit atau cacat, saya ganti kambing baru. Kan tak boleh
berkurban dengan kambing sakit," katanya.
Bursa kambing menjelang Idul Adha memang lebih banyak
menguntungkan pedagang kambing ketimbang peternaknya. Karena
alasan itu, peternak seperti Sawi di Jombang mengangkut sendiri
kambingnya ke Surabaya. Ia cukup melepaskan kambingnya di
kawasan Menur -- bukan pasar hewan seperti yang ia lakukan sejak
lima tahun belakangan. "Keuntungannya lebih banyak dan saya
ingin naik haji dari usaha ini," kata Sawi sambil mengawasi 60
ekor kambingnya di suatu subuh pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini