Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjalanan seekor kambing

Menjelang hari raya idul adha, merupakan panen besar bagi pedagang kambing. beternak kambing ada yang sambilan, ada juga yang menjadi bisnisnya. (pan)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI hari di Pasar Tanah Abang, Jakarta, menjelang IduL Adha. Puluhan kambing turun dari truk dengan mulut mendengus -- lalu satu-satu mengembik. Beberapa ekor di antaranya langsung melahap sampah jalanan. Tapi ada pula yang sempat menghampiri betina di sampingnya -- mengudainya. Pasar kambing Tanah Abang di hari-hari biasa terletak di bagian belakang pasar, tersembunyi dari jalan raya. Namun, sejak awal bulan ini untuk menyongsong Lebaran Haji, bursa hewan itu pindah ke depan, di pinggir jalan raya, bersatu dengan pedagang kaki lima yang lain. "Satu hari saya bisa menjual 150 ekor kambing. Kalau hari biasa, paling banyak 15 ekor kata Rahmat M. Ijon, 32 tahun, salah seorang makelar kambing di sana, yang biasa mengumpulkan hewan-hewan itu dari beberapa pasar di Gunung Kidul dan Magelang, Jawa Tengah. Kambing umumnya masih menjadi peternakan rakyat. Di desa, orang memelihara kambing untuk dijadikan semacam tabungan satu atau dua ekor. Menjelang hari raya di saat harga kambing naik, tabungan itu dipecah. Kambing diserahkan kepada tengkulak yang datang ke desa. Atau dijual sendiri kepada tetangga yang hendak berkurban. Tentu saja ada peternak yang tidak sekadar memelihara kambing sebagai pekerjaan sambilan. Misalnya Sawi, 35 tahun, di Desa Perak, Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Ayah tiga anak ini, mengaku sudah 20 tahun beternak kambing jenis kacangdn - berbulu tipis dan tidak ada bulu berwarna putih. Jenis kacangan ini cepat laku dan bisa lebih mahal. Tahun lalu, Sawi bermodalkan 15 ekor kambing betina dan 2 pejantan unggul. "Sekarang sudah berkembang jadi 70 ekor, yang 10 ekor dijadikan modal," katanya. Ia menjual sendiri kambingnya ke Surabaya karena tidak percaya pada tengkulak yang datang. Menurut Sawi, untuk mengembangbiakkan kambing lebih cepat, "setiap hari pejantannya saya beri jamu kuat. "Jamu itu terdiri dari telur dan madu dicampur merica. Kalau pejantan diberi jamu itu, "wah biasanya lupa pada rumput, sambil mengembik-ngembik ia mendekati kawan betinanya, digilir satu-satu," kata peternak berpendidikan SD itu sambil tertawa. Kambing yang berumur lebih dari setahun, digauli sekali saja langsung bunting. "Kalau sudah bunting, jarang beranak satu, paling sedikit kembar," katanya. Sistem kandang peternakan Sawi juga sederhana. Pekarangan rumahnya dipagari kuat-kuat, kambing-kambing dilepas, bercampur jadi satu di pekarangan itu. Makanan hewan-hewan itu adalah daun lamtoro. Satu-satunya penyebab kematian ternaknya, kata Sawi, jika kambing itu meloncati pagar dan ditubruk mobil. Pekarangan rumah Sawi, yang dijadikan kandang, memang terletak di pinggir jalan raya yang ramai. Peternakan kambing yang tergolong modern ada di lereng Bukit Menoreh, Kecamatan Kaligesing, Purworejo Jawa Tengah. Tetapi peternakan ini bukan untuk bisnis kambing. "Proyek ini bertujuan melestarikan kambing jenis etawa yang hampir punah," kata Drh. Kusmono, Kepala Dinas Peternakan Jawa Tengah. Proyek pemerintah ini dimulai tahun 1982 dengan modal 100 ekor kambing, di antaranya 5 ekor pejantan. Kini sudah berkembang menjadi 183 ekor, 150 ekor tetap di peternakan milik pemerintah itu, sisanya disebarkan kepada penduduk untuk dikembangkan. Jenis etawa yang dilestarikan ini sudah blasteran, sehingga sering disebut etawa Kaligesing. Menurut Sugito, mantri hewan di Kaligesing, di zaman penjajahan Belanda dulu didatangkan kambing ras etawa dari India dan dikawinkan dengan ras Jawa. Hasilnya etawa Kaligesing. Kambing ini dikenal besar dan gemuk, Tingginya 70 cm. Makanannya rumput gajah dan setaria yang khusus ditanam di sana. Kambing ini pun masih diberi tambahan vitamin, yakni consentrat. "Kami membutuhkan consentrat sekitar 3 ton setiap bulan," kata Supriyanto, pemuda lulusan Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang, yang bekerja di proyek Kaligesing. Jenis ras etawa Kaligesing ini banyak dicari orang untuk kurban. Karena itu, Pasar Hewan di Desa Pendem, Purworejo, selalu ramai setiap pasaran yang berlangsung 5 hari sekali. Truk berjejer di pinggir jalan depan pasar itu. "Kambing etawa harganya sampai Rp 100.000 seekor, banyak dicari orang-orang kaya," kata Prawiro Hardjono, pedagang kambing yang sehari-hari lurah Desa Kaligono, Purworejo. Prawiro Hardjono, tengkulak kambing yang selalu memanfaakan panen Lebaran Haji ini, sejak tiga bulan lalu berkeliling ke desa-desa mengumpulkan kambingnya. Kambing itu selain dipelihara di rumahnya, juga disebar di 5 desa terdekat, dipelihara orang-orang upahan sambil menunggu datangnya hari raya. "Saya menerima pesanan ratusan kambing dari seorang pedagang kambing asal Banten," ucap Prawiro. Juga ia menerima pesanan dari Semarang. Ketika ditemui pekan lalu di Pasar Pendem, Prawiro membawa 125 ekor kambing. Ia masih menyimpan 200 ekor kambing di luar pesanan tadi yang baru akan dijual dua hari menjelang Idul Adha. "Supaya harganya semakin tinggi," kata lurah ini, yang mengaku sudah bisa membeli satu hektar sawah, rumah yang cukup bagus, dan mobil Kijang hasil jual beli kambing selama ini. Di bagian utara Jawa Tengah, pasar hewan yang terkenal jadi pusat kambing adalah Pasar Jati, Kudus. Sudah sejak 2 minggu sebelum Idul Adha pasar seluas 2 hektar itu tak mampu menampung kambing, sehingga melimpah ke jalan raya dan memacetkan lalu lintas. Pedagang datang dari berbagai daerah. Ada yang lengkap dengan truk. Kalau tengkulak kambing di pasar hewan mengumpulkan jauh hari ke desa-desa, makelar seperti Rahmat Ijon di Tanah Abang cukup mendatangi pasar hewan di Gunung Kidul dan sekitar Magelang. Dengan truk yang mampu memuat 180 ekor, kambing itu menempuh perjalanan panjang menuju Jakarta. Harganya pun jadi tinggi. Seekor kambing ukuran-sedang laku di Tanah Abang Rp 70.000, padahal di Magelang bisa diperoleh dengan Rp 40.000. Dan Ijon pantas mengaku, omset bisnis kambingnya sehari sampai Rp 5 juta menjelang Idul Adha ini. Di hari-hari biasa, omset itu hanya Rp 3 juta setiap 5 hari -- mengikuti hari pasaran di Jawa Tengah. Ijon, yang juga menerima pesanan dari beberapa panitia Idul Qurban, biasa pula menerima titipan. Pembeli sudah membayar kontan, tetapi kambing dititipkan dulu di tempat Ijon. Untuk itu, ia memberikan harga khusus. "Risikonya, kalau kambing itu sakit atau cacat, saya ganti kambing baru. Kan tak boleh berkurban dengan kambing sakit," katanya. Bursa kambing menjelang Idul Adha memang lebih banyak menguntungkan pedagang kambing ketimbang peternaknya. Karena alasan itu, peternak seperti Sawi di Jombang mengangkut sendiri kambingnya ke Surabaya. Ia cukup melepaskan kambingnya di kawasan Menur -- bukan pasar hewan seperti yang ia lakukan sejak lima tahun belakangan. "Keuntungannya lebih banyak dan saya ingin naik haji dari usaha ini," kata Sawi sambil mengawasi 60 ekor kambingnya di suatu subuh pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus