Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Penerobosan orang-orang melarat

Pengarang: soedjatmoko jakarta: lp3es, 1983 resensi oleh: ignas kleden. (bk)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIMENSI MANUSIA DALAM PEMBANGUNAN Oleh: Soedjatmoko Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1983, 197 halaman. MENURUT kata pengantar Aswab Mahasin, buku Dimensi Manusia Dalam Pembangunan ini adalah jilid pertama dari kumpulan karangan Soedjatmoko, yang lengkapnya akan terbit dalam tiga jilid. Jilid kedua akan memuat karangan tentang kebudayaan, sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Jilid ketiga akan merupakan kumpulan karangan tentang politik, diplomasi, dan masalah-masalah internasional. Persoalannya sekarang: apakah mungkin dan boleh memberikan gambaran alam pkiran Soedjatmoko, hanya berdasarkan jilid pertama ini dan berdasarkan gambaran tersebut menyusun beberapa kritik tentang bangun pikiran pengarang dan metode yang terlihat di dalamnya? Mungkin benar, seperti yang dinyatakan dalam kata pengantar, Soedjatmoko tidak bisa dimasukkan ke dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Namun, hal ini tidak berkata banyak. Dilema yang dihadapi, khususnya oleh para ilmuwan sosial, sekarang ialah dilema antara pendekatan yang bersifat discipline-specific dan pendekatan problem oriented. Apakah yang lebih penting dilihat dari sudut tanggung jawab etis seorang ilmuwan sosial: setia dan berpegang teguh kepada metode disiplinnya yang ketat dan terbatas atau berusaha mendapatkan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang masalah yang dihadapi? Tampaknya ada keyakinan dan kesepakatan umum di antara ahli ilmu sosial sekarang bahwa metode sebuah disiplin ilmu sosial sering kali sangat terbatas. Misalnya, dalam pemiliihan variabel-variabelnya. Karena itu, diperlukan keluwesan untuk dialog antarmetode agar pengertian kita tentang suatu realitas atau gejala-sosial tidak terlampau fragmentaristis. Kita, misalnya, tak terlalu menghiraukan lagi apakah dalam menyelidiki gejala kemiskinan pada bangsa-bangsa Asia, Gunnar Myrdal berlaku sebagai seorang ekonom, sosiolog, atau antropolog. Kita pun tak merasa penting apakah dalam mengkritik asumsi dasar ekonomi klasik, Myrdal adalah seorang teoretikus ekonomi atau ahli sejarah filsafat. Pertanyaan pertama yang timbul tatkala membaca karangan Soedjatmoko adalah persoalan dasar manakah yang menjadi obyek pergulatan pemikirannya. Kata pengantar buku ini memberi jawaban: pembebasan manusia. Yaitu kebebasan bukan sebagai syarat untuk pertumbuhan dan perkembangan sepenuh-penuhnya seorang individu, seperti yang diajarkan kaum liberal, tapi kebebasan sebagai tugas sebagaimana yang diajarkan kaum eksistensialis. Yaitu tugas setiap orang untuk terus-menerus merumuskan diri dan membangun eksistensinya dengan pilihan bebas, tanpa didikte begitu saja oleh tiap jenis faktisitas (entah itu bernama latar belakang biografis, pengalaman pendidikan, kelas ekonomi, struktur politik, warisan sejarah atau pun ikatan ideologis). Dengan perkataan lain, manusia dengan subyektivitasnya yang bebas akan selalu diajukan oleh Soedjatmoko sebagai antitesis terhadap tiap jenis faktisitas yang menghalang manusia sebagai tesis yang tak bisa ditolak. Dan dalam memperlakukan subyektivitas manusia sebagai suatu kekuatan antitesis, Soedjatmoko adalah penganut dan penerap dialektik yang sempurna. Kalau Hegel telah membangun dialektik sejarahnya dengan bertumpu pada kekuatan roh mutlak yang menjelma dalam waktu, dan menjadikan individu atau kelompok manusia sebagai momen relatif penjelmaannya, maka dialektik Soedjatmoko bertumpu di atas subyektivitas seorang individu atau subyektivitas suatu kelompok sosial dalam Blut und Boden. Dengan cara ini, dia memberi bobot historis kepada metode dialektik yang digunakannya. Begitulah, dengan mengambil jilid pertama kumpulan karangannya sebagai contoh, saya berharap dapat menunjukkan bagaimana dialektik ini diterjemahkan ke dalam berbagai tema ilmu sosial -- khususnya tema-tema pembangunan. Contoh ini saya anggap cukup representatif karena dalam jilid ini digunakan begitu banyak asumsi tentang sejarah dan kebudayaan (pokok-pokok jilid 2) dan banyak informasi dan latar belakang perkembangan internasional (pokok-pokok jilid 3). Pembangunan adalah suatu tahapan sejarah yang harus dilalui untuk mencapai kehidupan lebih baik yang dijanjikan oleh revolusi kemerdekaan. Seperti revolusi kemerdekaan adalah penerobosan kenyataan sejarah orang-orang terjajah, maka pembangunan adalah penerobosan sejarah orang-orang miskin dan melarat. Dalam sejarah ada yang harus dilanjutkan tapi ada yang harus diakhiri. Sejarah dalam pengertian Soedjatmoko adalah dialektik antara kontinuitas dan diskontinuitas. Dengan demikian, pembangunan adalah proses yang jauh lebih dahsyat, dari sekadar pembangunan ekonomi saja -- walaupun pembangunan ekonomi merupakan suatu syaratnya yang penting. Kalau diingat bahwa pembangunan ekonomi adalah salah satu penjelmaan kebudayaan yang weltbejahend (yang menganggap kehidupan di dunia fana ini adalah suatu yang harus diterima sebagai real), maka pembangunan yan sama sekaligus berarti runtuhnya susunan masyarakat dan kebudayaan lama yang bersifat weltverneinend (yang menganggap bahwa kehidupan di dunia fana ini harus ditolak sebagai sesuatu yang irreal). Kebudayaan adalah dialektik antara integrasi dan desintegrasi. Adapun diskontinuitas sejarah dan desintegrasi kebudayaan adalah penjebolan kungkungan faktisitas oleh kebebasan subyektif manusia. Unsur subyektif inilah yang akan selalu muncul sebagai suatu antitesis yang permanen. Hal yang sama terlihat pula pada pembicaraannya tentang bangsa dan kepribadian bangsa. Suatu bangsa tumbuh karena pengalaman sejarah yang sama, pembawaan antropologis yang sama, atau warisan kebudayaan yang sama. Konstituen lainnya ialah cita-cita bangsa itu mengenai masa depannya dan kemauan subyektifnya untuk menangani masalah-masalahnya atas cara tertentu (misalnya, dengan memilih jalan B dan bukan jalan A), serta gambaran mengenai wujud masyarakat yang hendak dibangunnya. Maka, bangsa dan kepribadian bangsa adalah suatu wujud yang dinamis yang diproses dalam dialektik antara sejarah dan cita-cita sekelompok orang. Dalam kerangka itu pembangunan dapat dilihat sebagai kemauan subyektif suatu bangsa untuk mencapai martabatnya. Di sini martabat itu tidak dengan sendirinya akan terjamin oleh pertumbuhan ekonomi. Maka, terhadap teori-teori yang menjagokan investasi produktif sebagai esensi pertumbuhan ekonomi, Soedjatmoko mengajukan antitesis teori pembangunan ekonomi sebagai pergerakan rakyat. Pembangunan ekonomi tak banyak artinya tanpa menghancurkan struktur kemiskinan yang membelenggu banyak orang. Pembangunan ekonomi yang berhasil harus disertai perubahan struktural. Namun, terhadap teori-teori perubahan struktural yang menempuh jalan revolusioner, diajukannya teori demokratik untuk perubahan struktural, yang juga dicoba diterapkannya pada masalah orde ekonomi internasional. Salah satu masalah besar pembangunan ialah kependudukan. Maka, lahirlah teori-teori kependudukan yang sibuk menghitung dan memproyeksikan ratio pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, serta imbangan jumlah sumber daya dan jumlah penduduk. Hantu yang mengancam di sini adalah keterbatasan fisik (misalnya ruang hidup) yang ternyata tidak elastis lagi. Menghadapi kenyataan itu, Soedjatmoko mengajukan antitesis: pembinaan ruang batin (inner space) dengan bantuan agama dan kesenian. Dan scperti kita tahu, batin adalah ruang dengan elastisitas tak terbatas. Pada tingkat yang lebih teknis, seperti dalam masalah manajemen, Soedjatmoko tampil dengan dialektik yang sama. Terhadap teori-teori manajemen yang mengunggulkan analytical capability (dengan variabel-variabel: planning, programming, budgeting), dia mengajukan antitesis: manajemen sebagai kemampuan improvisasi berdasarkan suatu general sense of direction yang tentu saja sangat mengandalkan kemampuan subyektif seorang pemimpin. Dengan dialektik seperti itu, Soedjatmoko tidak mungkin akan termasuk ke dalam suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelompok teori ilmu sosial. Alasannya: setiap sistem pemikiran dan setiap teori ilmu sosial hanya akan diambilnya sebagai suatu tesis yang akan diperlawankannya dengan antitesis yang sama: subyektivitas manusia yang tak terkalahkan. Pertanyaan yang sangat fundamental untuk Soedjatmoko ialah: apakah dia akan mampu mengambil subyektivitas manusia itu tidak saja sebagai antitesis yang dapat ditembakkan kepada berbagai masalah sosial, tapi juga sebagai tesis tersendiri yang akan dikembangkan menjadi suatu sistem pemikiran yang bulat dan utuh. Membangun suatu sistem pemikiran yang bulat atas dasar subyektivitas manusia bebas akan memberi dua manfaat penting, baik bagi Soedjatmoko maupun bagi orang yang mempelajari buah pikirannya. Pertama, Soedjatmoko sendiri akan terhindar dari eklektisisme murah yang sering dilecehkannya. Saya tak bisa mengelakkan kesan eklektik seperti itu, misalnya, kalau berhadapan dengan teori demokratik untuk perubahan struktural yang ditawarkan oleh Soedjatmoko. Bukankah itu penggabungan yang sangat gampang dari resep-resep model sosialis yang memberikan teori perubahan struktural dan model kapitalis yang menurunkan teori perubahan secara demokratik? Kedua, dengan mengambil subyektivitas manusia sebagai tesis dasar untuk suatu sistem pemikiran, dialektik Soedjatmoko akan bertambah kuat kedudukannya. Karena, dalam suatu sistem yang bulat akan terlihat, misalnya, dengan syarat-syarat mana saja subyektivitas manusia itu mampu melakukan pembebasan diri terus-menerus dan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme yang mana pula? Hanya atas cara ini dialektik tersebut akan menjadi suatu dialektik manusia, yang dapat dipelajari secara ilmiah, dan bukannya hanya mengulang cerita Hegel tentang dialektik kuasi-alamiah yang berlangsung secara niscaya dan otomatis. Pada titik ini Soedjatmoko akan diuji apakah dialektiknya akan menjadi suatu metode yang historis dan bukan sekadar suatu metode moral. Mudah-mudahan kita pun tidak hanya akan terpaksa memilih di antara determinisme sejarah (kekuatan sejarah tertentu pasti menang) dan determinisme moral (subyektivitas manusia pasti menang). Sebab, yang lebih penting adalah mempelajari bagaimana manusia pernah menang atau dikalahkan. Catatan lain: penulis buku The Sleepwalkers, bukanlah Arthur Roestler, melainkan Arthur Koestler (halaman 43) penemu prinsip ketidakpastian (indeterminationsprinzip) bukanlah Eisenburg, melainkan Werner Heisenberg pemenang hadiah Nobel untuk fisika tahun 1932 (halaman 44) tokoh yang mewakili philosophical intuition dalam filsafat adalah Henri Bergson, dan bukannya Henri Serssoh (halaman 58). Ignas Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus