Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kenaikan PPN Ditanggung Kelas Menengah-Bawah

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen jadi jalan pintas menaikkan rasio penerimaan. Apa saja dampaknya?

26 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen menjadi jalan pintas meningkatkan penerimaan pajak yang stagnan dalam satu dekade terakhir.

  • Optimalisasi penerimaan PPN seharusnya dilakukan tanpa menaikkan tarif untuk mencegah ketimpangan makin tinggi.

  • Kenaikan PPN adalah kompensasi untuk masyarakat kelas atas.

PEMERINTAH memutuskan melanjutkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per Januari 2025, setelah menaikkannya menjadi 11 persen per April 2022. Kenaikan berturut-turut ini mengakhiri tarif PPN 10 persen yang berlaku sejak 1983.

Tarif PPN 12 persen akan berlaku untuk jenis barang dan jasa yang selama ini dikenai pajak pertambahan nilai. Pengecualian kenaikan tarif PPN hanya berlaku untuk tiga jenis barang: tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng curah MinyaKita, yang tarif PPN-nya tetap 11 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen terlihat menjadi "jalan pintas" untuk meningkatkan penerimaan perpajakan yang stagnan dalam satu dekade terakhir. Rasio pajak pada 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari produk domestik bruto (PDB), yang bahkan lebih rendah daripada rasio di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2015, yang sebesar 10,76 persen dari PDB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah tarif PPN naik menjadi 11 persen pada 2022, rasio penerimaan pajak ini memang meningkat, dari 3,25 persen terhadap PDB pada 2021 menjadi 3,51 persen pada 2022 dan 3,62 persen pada 2023. Namun kinerja penerimaan pajak penghasilan (PPh) justru menurun.

Penerimaan PPh yang sebelumnya meningkat dari 4,10 persen terhadap PDB pada 2021 menjadi 5,10 persen pada 2022, justru stagnan di angka 5,03 persen pada 2023. Bahkan, pada tahun ini, rasio penerimaan PPH terhadap PDB diproyeksikan turun menjadi hanya 4,70 persen. 

Tendensi menguatnya pangsa penerimaan PPN dalam penerimaan perpajakan berisiko memperburuk kesenjangan karena PPN lebih bersifat regresif dibanding PPh. Artinya, orang miskin menanggung beban pajak lebih besar ketimbang orang kaya.

PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal, terlepas berapa pun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu, setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang makin tinggi.

Berdasarkan estimasi pengeluaran rumah tangga pada 2023 dengan tarif PPN 11 persen, Next Policy mengkaji bahwa konsumen menanggung beban PPN hingga Rp 294,2 triliun. Jumlah itu setara dengan pendapatan PPN dalam negeri.

Dari simulasi kami, beban PPN yang ditanggung konsumen miskin mencapai 5,56 persen dari pengeluaran mereka, sedangkan beban PPN yang ditanggung konsumen kelas atas hanya 6,54 persen dari pengeluaran mereka. Dengan demikian, konsumen termiskin menanggung beban PPN yang tidak banyak berbeda dengan konsumen terkaya. Hal ini menunjukkan semua konsumen menanggung PPN dengan beban yang hampir sama. 

Dengan tingginya kesenjangan ekonomi kita saat ini, optimalisasi penerimaan pajak seharusnya dilakukan tanpa menaikkan tarif PPN. Untuk meningkatkan kinerja pendapatan PPN, pemerintah seharusnya lebih berfokus pada pemberantasan kejahatan perpajakan, seperti tidak menyetorkan pajak yang dipotong, menggelapkan omzet penjualan, dan restitusi fiktif. 

Kondisinya makin ironis karena saat pemerintah menaikkan tarif demi mengejar kenaikan target pendapatan PPN, target pendapatan PPN barang mewah (PPnBM) justru makin turun. 

Dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 dan Perpres Nomor 201 Tahun 2024, terlihat pemerintah berusaha menaikkan target kenaikan pendapatan PPN dan PPnBM, yang pada 2024 diperkirakan hanya bertambah Rp 61,5 triliun. Melalui kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, diharapkan pendapatan pada 2025 akan meningkat menjadi Rp 133,8 triliun. 

Sebagian besar kenaikan target pendapatan PPN 2025 ini berasal dari PPN dalam negeri, yang diperkirakan sebesar Rp 115,7 triliun. Pada 2024, kenaikan target pendapatan PPN dalam negeri ini hanya Rp 31,0 triliun. Hal ini menunjukkan sebagian besar target kenaikan pendapatan PPN dan PPnBM berasal dari PPN dalam negeri. 

Alih-alih meningkat, target pendapatan PPnBM dalam negeri setelah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen justru turun Rp 9,8 triliun. Secara implisit, hal ini menunjukkan target kenaikan pendapatan PPN dalam negeri yang tinggi merupakan upaya pemerintah mengkompensasi penurunan target pendapatan PPnBM dalam negeri.

Sebagai mekanisme kompensasi atas kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, pemerintah meluncurkan “paket stimulus untuk kesejahteraan”: bantuan beras selama dua bulan untuk 16 juta keluarga, diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya hingga 2.200 VA selama dua bulan, serta perpanjangan PPh final 0,5 persen untuk usaha mikro, kecil, dan menengah sampai 2025. 

Kompensasi yang terbatas dan jangka pendek seperti itu tentu tidak akan sepadan serta tak memadai untuk mengkompensasi kenaikan tarif PPN yang bersifat permanen. Ironisnya, pemerintah malah memberikan kompensasi yang lebih signifikan bagi masyarakat kelas atas melalui insentif PPN sebesar Rp 15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp 5 miliar. 

Kelas Menengah Melemah

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen jelas akan melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat yang kondisinya makin rapuh. Bahkan pada kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi.

Pada 2022, setelah tarif PPN naik dari 10 menjadi 11 persen, jumlah penduduk kelas menengah makin berkurang. Dari 56,2 juta orang (20,68 persen) pada Maret 2021, jumlahnya menyusut menjadi 52,1 juta orang (18,83 persen) pada Maret 2023. Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang makin lemah. Adapun jumlah penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang (51,27 persen) pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang (53,41 persen) pada Maret 2023. 

Dari estimasi beban PPN hingga Rp 294,2 triliun pada 2023, beban terbesar ditanggung oleh kelas menengah. Kami mengestimasi sekitar 40,8 persen atau Rp 120,2 triliun dari beban tersebut ditanggung oleh kelas menengah yang jumlahnya hanya 18,8 persen dari populasi penduduk. 

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 dipastikan akan makin menekan daya beli masyarakat yang sudah melemah, terutama pada kelas menengah dan kelas bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat juga berkontribusi terhadap pelambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022. 

Setelah tumbuh 3,69 persen pada 2021, perekonomian Indonesia setelah masa pandemi memang pulih dan mampu tumbuh hingga 5,31 persen pada 2022. Namun, setelah itu, pertumbuhan terlihat tertahan. Pada 2023, pertumbuhan melemah menjadi hanya 5,05 persen, bahkan pertumbuhan pada 2024—yang mendapat dorongan besar dari pemilu dan pilkada—diperkirakan hanya di kisaran 5,0 persen.

Kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan. Dampak kenaikan tarif PPN tidak bisa dipandang remeh karena berlaku masif pada mayoritas barang dan jasa sehingga secara psikologis akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga barang secara umum. Bahkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12 persen ketika dianggap pemerintah “tergolong mewah”. 

Imbas tergerusnya daya beli masyarakat akibat tekanan kenaikan tarif PPN tidak akan ringan. Musababnya, banyak barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok, tapi secara empiris telah menjadi "kebutuhan pokok" masyarakat. Misalnya, pakaian, sabun, pulsa Internet, dan layanan transaksi dengan uang elektronik.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 selayaknya dibatalkan karena tambahan kenaikan penerimaan dari kenaikan tarif PPN ini berpotensi tidak sepadan dengan ongkos yang harus kita tanggung. Dampaknya, dari makin lemahnya daya beli masyarakat, terutama kelas bawah dan kelas menengah; lonjakan inflasi; hingga risiko peningkatan kesenjangan.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yusuf Wibisono

Yusuf Wibisono

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus