Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dampak Pemberontakan di Suriah terhadap Palestina

Kejatuhan rezim Bashar Al-Assad di Suriah bakal mengganggu upaya perdamaian Israel-Palestina. Bagaimana korelasinya?

11 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagi Rusia, Suriah merupakan negara strategis karena menampung pangkalan angkatan laut Rusia di Tarsus.

  • Dengan kejatuhan rezim Assad, Hizbullah akan kian lemah akibat perang skala penuh dengan Israel.

  • Sangat mungkin ada tangan Amerika Serikat, Ukraina, Turki, dan Israel dalam serangan kilat pemberontak ke Damaskus.

DINASTI Bashar Al-Assad di Suriah yang berkuasa sejak 1971 tumbang hanya dalam waktu 11 hari (27 November-7 Desember 2024). Faksi-faksi pemberontak pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dulu berafiliasi dengan Al-Qaidah, kini telah menguasai kota-kota penting, termasuk Ibu Kota Damaskus.

Kejatuhan rezim Assad berdampak besar terhadap situasi geopolitik regional di Timur Tengah, termasuk Israel dan Palestina. Tak lama setelah pecah Arab Spring di Suriah pada 2011, penyokong militer rezim Assad, seperti Rusia, Iran, dan Hizbullah, kehilangan pijakan di Suriah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

​Bagi Rusia, Suriah merupakan negara strategis karena menampung pangkalan angkatan laut Rusia di Tarsus—satu-satunya pangkalan militer Rusia di Laut Tengah. Dengan munculnya rezim baru di Suriah, nasib infrastruktur dan aset militer Rusia di sana menjadi tidak jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serupa dengan Rusia, Iran punya kepentingan geopolitik di kawasan karena Suriah berperan strategis dalam menghadapi Israel melalui proksi-proksinya. Melalui Suriah, Iran memasok senjata ke Hizbullah di Lebanon, mengerahkan pasukan serta proksinya di Irak untuk membantu rezim Assad. 

Di Suriah, Iran juga membangun hubungan erat dengan Hamas dan Jihad Islami. Dengan kejatuhan rezim Assad, Hizbullah akan kian lemah akibat perang skala penuh dengan Israel dan hilangnya akses bantuan Iran yang disalurkan melalui Suriah.

Keruntuhan rezim Assad tak bisa dilepaskan dari perang Rusia-Ukraina, perang Hizbullah-Israel, persiapan militer Iran menghadapi serangan Israel, serta peran pemerintahan Turki pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Eskalasi perang di Ukraina memaksa Rusia menarik pulang personel dan persenjataan mereka dari Suriah. Perang dengan Israel juga memaksa personel dan persenjataan Hizbullah ditarik pulang ke Lebanon.

Pada akhir Oktober, Israel mengerahkan 100 pesawat tempur untuk menyerang sistem pertahanan udara, pangkalan rudal, dan pabrik drone Iran. Sejak Arab Spring di Suriah, Israel lebih dari 200 kali menyerang situs-situs militer Iran dan Hizbullah di sana. Sedangkan sumber energi Suriah di wilayah timur dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF)—didominasi warga Kurdi yang didukung Amerika Serikat. Semua ini membuat rezim Assad kehabisan tenaga menghadapi pemberontak.

Sangat mungkin ada tangan AS, Ukraina, Turki, dan Israel dalam serangan kilat pemberontak ke Damaskus. Keempatnya juga punya kepentingan berbeda. Sudah lama AS memusuhi rezim Assad yang anti-Israel dan Barat.

Kehadiran militer AS di Suriah sejak 2014, selain berperan meruntuhkan ISIS, bertujuan menciptakan wilayah otonomi bagi warga Kurdi yang menguasai sepertiga wilayah Suriah. Ukraina berkepentingan menyalakan api di Suriah setelah terjadi gencatan senjata rezim Assad dan pemberontak sejak 2020 guna menyedot kekuatan Rusia ke Suriah.

Sejak awal Arab Spring, Turki—juga AS, Eropa, dan Arab Saudi—memberikan dukungan moral, politik, dan persenjataan kepada pemberontak. Turki mendukung Tentara Nasional Suriah (SNA) ikut serta dalam serangan baru-baru ini. HTS, SNA, dan berbagai faksi membentuk pemerintahan sementara di Provinsi Idlib. Setelah rezim Assad berhasil mengambil alih kota-kota penting Suriah, terhentinya proses perdamaian rezim Assad-pemberontak, serta pulihnya keanggotaan Suriah di Liga Arab, Turki mengungkit kekuatan pemberontak guna memaksa rezim Suriah kembali ke meja perundingan. 

Para pemberontak membawa agenda Erdogan yang mengakomodasi kepentingan keamanan dan pengaruh Turki di kawasan. Agar HTS—yang dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh Inggris dan AS—bisa diterima Barat, Erdogan meminta HTS melepaskan afiliasinya dengan Al-Qaidah. Ia juga meminta HTS menghormati komunitas agama minoritas dan mendirikan negara demokrasi. Sementara itu, Israel ingin melemahkan pengaruh Iran di kawasan melalui proksi-proksinya, terutama Hizbullah dan Hamas. 

Lebih jauh, Israel hendak melemahkan Suriah agar posisi tawarnya vis a vis Suriah—terkait dengan penyelesaian isu Dataran Tinggi Golan milik Suriah yang dicaplok Israel pada 1967—menguat. Maka kita menyaksikan, segera setelah Damaskus direbut HTS, Israel memanfaatkan momentum ini dengan menerabas daerah penyangga demiliterisasi di Golan, yang berarti Israel melanggar kesepakatan dengan Suriah pada 1974. Israel bahkan melancarkan serangan besar ke situs-situs militer di seluruh Suriah.

Kejatuhan rezim Assad berdampak langsung terhadap kekuatan Hizbullah, juga Hamas. Posisi Israel juga bakal kian kuat, terutama saat presiden terpilih AS, Donald Trump, resmi menghuni Gedung Putih pada 20 Januari 2025. 

Awal Desember ini, Trump mengancam Hamas dan pendukungnya dengan menyatakan akan menjadikan wilayah Timur Tengah seperti neraka jika sandera Yahudi di Gaza belum dibebaskan saat ia dilantik. Sementara itu, penghancuran Gaza dan kekerasan serta perampasan tanah di Tepi Barat terus berlangsung. Dus, prospek penyelesaian perang Gaza yang berujung pada pembentukan negara Palestina tampak suram.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Smith Alhadar

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus