Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Meta akan melonggarkan kebijakan moderasi konten. Salah satunya dengan menghentikan program pemeriksaan fakta independen.
Kebijakan Meta itu tampak lebih didorong oleh kepentingan politik dan menyelamatkan perusahaan dengan mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Trump.
Hal ini akan berdampak pada memburuknya kualitas ekosistem informasi.
LEWAT video berdurasi 5 menit 17 detik, bos perusahaan teknologi raksasa Meta, Mark Zuckerberg, pada 7 Januari 2025, mengumumkan melonggarkan kebijakan moderasi konten. Salah satunya dengan menghentikan program pemeriksaan fakta independen yang akan dimulai di Amerika Serikat, dan akan menggantikannya dengan "catatan komunitas" (community notes) yang meniru X—sebelumnya bernama Twitter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyebutkan pemeriksaan fakta bias secara politik, "dan telah menghancurkan lebih banyak kepercayaan daripada yang mereka ciptakan." Selain itu, Zuckerberg mengatakan akan mengembalikan kebebasan berbicara sebagaimana dulu saat ia merancang Facebook dan Instagram, memperbanyak konten politik, serta mencabut pembatasan pada topik seperti migrasi dan gender yang tidak sesuai dengan wacana umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan itu diambil tak lama setelah Meta menempatkan orang-orang yang dekat dengan Partai Republik dan Presiden AS terpilih, Donald Trump, ke dalam perusahaannya. Dia menunjuk Joe Kaplan—mantan Wakil Kepala Staf Presiden George Bush dan pelobi lama Meta untuk Partai Republik—sebagai Kepala Tim Kebijakan dan Komunikasi. Posisi ini sebelumnya dijabat Nick Clegg, Wakil Perdana Menteri Inggris sekaligus pemimpin Partai Demokrat Liberal dari negara itu.
Meta juga menunjuk CEO Ultimate Fighting Championship yang juga sekutu dekat Trump, Dana White, sebagai anggota dewan direksi. Perusahaan juga menyumbangkan US$ 1 juta untuk pelantikan Trump sebagai Presiden AS ke-47 pada 20 Januari 2025.
Alih-alih berorientasi melindungi hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan keamanan pengguna, kebijakan Meta itu tampak lebih didorong oleh kepentingan politik serta upaya menyelamatkan perusahaan dengan mengambil sikap lebih lunak terhadap Trump. Hal ini berisiko menjadikan Meta sebagai corong baru kepentingan politik pro-Trump, mengikuti jejak Elon Musk melalui X.
Trump pernah murka karena akunnya di Facebook dan Instagram ditangguhkan selama dua tahun, setelah mengunggah dukungan kekerasan di gedung Capitol AS. Trump juga telah berulang kali menuduh Zuckerberg berkomplot untuk melawannya pada pemilu 2016 dan 2020. Bahkan, dalam buku terbarunya, Save America, yang terbit pada September 2024, Trump menulis akan membuat Zuckerberg "menghabiskan sisa hidupnya di penjara" jika ia ikut campur tangan dalam pemilu 2024.
Sejak 2016, Meta mengembangkan kebijakan moderasi konten bekerja sama dengan 90 media dan organisasi independen di 60 negara, termasuk Tempo di Indonesia. Pemeriksa fakta independen tersebut memverifikasi unggahan di Meta, menyematkan artikel cek fakta pada konten hoaks atau tidak sesuai konteks, sehingga menjadi acuan dan mencegah pengguna lain membagikan misinformasi. Pemeriksa fakta independen tidak pernah menghapus atau menyensor konten pengguna karena keputusan akhir moderasi menjadi tanggung jawab Meta.
Organisasi pemeriksa fakta mitra Meta itu berada di bawah jaringan International Fact-Checking Network (IFCN) yang berbasis di Amerika Serikat. Anggota jaringan ini wajib mematuhi prinsip etik yang ketat dan menjalani evaluasi setiap tahun serta mempublikasikan sumber dana dan metodologi secara transparan. Selain itu, mereka dilarang bersifat partisan.
Meski cek fakta independen tidak sempurna, kerja-kerjanya tak pernah digerakkan untuk melayani kepentingan politik tertentu. Jurnalisme cek fakta membantu publik mendapatkan fakta dan kebenaran di tengah lautan misinformasi.
Dampak terhadap Ekosistem Informasi Global
Pelonggaran moderasi konten Meta akan berlaku secara global. Hal ini akan berdampak pada memburuknya kualitas ekosistem informasi. Sebelumnya, Meta telah banyak dikritik karena moderasi konten yang lemah dan tidak menghormati hak asasi manusia.
Dengan kebijakan baru, pengguna Meta, yang mencapai lebih dari tiga miliar di dunia dan 200 juta lebih di Indonesia, akan makin terpapar misinformasi di tengah perkembangan kecerdasan buatan. Meta akan jauh lebih toxic akibat menyebarnya konten-konten kebencian, homofobia, dan seksisme. Keputusan tersebut juga akan menguntungkan rezim otoriter dan anti-demokrasi di luar Amerika yang kerap menggunakan media sosial untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
International Federation Journalist (IFJ) menyebutkan platform besar yang tidak mengutamakan kebenaran seperti itu meningkatkan tekanan pada media berita yang sudah terkepung. Hal ini juga akan membuka jalan bagi misinformasi dan ujaran kebencian yang meluas. Dampaknya, kepercayaan publik terhadap media berita sebagai sumber informasi yang kredibel akan terkikis.
Community notes yang akan ditiru Meta, sebelumnya dikenalkan oleh X pada 2022. Dengan pendekatan crowdsource ini, pengguna yang telah mendaftar di X sebagai kontributor dapat menambahkan catatan pada unggahan apa pun yang dianggap menyesatkan, hoaks, atau kurang konteks. Jika catatan tentang sebuah konten dinilai bermanfaat oleh sejumlah kontributor lain dari berbagai sudut pandang, community notes itu dapat dilihat oleh publik.
Pendekatan community notes mungkin bermanfaat untuk mengatasi misinformasi yang ringan dan penipuan. Masalahnya, tidak ada transparansi bagaimana X memastikan para kontributor memiliki keragaman sudut pandang dan berapa jumlah persetujuan agar community notes dapat dipublikasikan.
Berikutnya, karena community notes bersifat sukarela, tantangannya menyangkut konsistensi, literasi digital, dan keahlian pengguna. Sementara itu, informasi palsu hadir setiap saat dengan tingkat kesulitan dan kecanggihan yang berbeda-beda.
Tantangan yang paling kompleks adalah soal obyektivitas dan independensi. Di era post-truth, ketika masyarakat kian terpolarisasi, masih kuatnya patriarki dan homofobia pada masyarakat, serta besarnya kemampuan pihak tertentu untuk menggerakkan pemengaruh dan pendengung, fitur semacam community notes hanya akan menjadi arena perdebatan baru. Sebab, kelompok yang bertentangan akan saling mempertahankan pandangan politik tertentu atau dipenuhi oleh sudut pandang yang diskriminatif pada perempuan, kelompok LGBTQ, dan kelompok minoritas rentan lain.
Logically Facts, organisasi pemeriksa fakta asal Irlandia yang menyelidiki efektivitas community notes, menemukan bahwa catatan publik tidak banyak muncul di X selama pemilu India dan Inggris. Hal itu terjadi akibat adanya perbedaan pendapat di antara kontributornya dalam menilai konten-konten politik yang ditengarai mengandung misinformasi.
Di Indonesia, penulis mengamati, saat banyak akun yang mengedarkan konten bahwa Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah menghapus nama mantan presiden Jokowi sebagai finalis tokoh terkorup, tidak satu pun community notes yang muncul untuk menjelaskan informasi tersebut. Padahal organisasi pemeriksa fakta telah menerbitkan informasi bahwa konten tersebut keliru.
Direktur Media Wise dari Poynter Institute, Alex Mahadevan, saat Konferensi Global Fact di Korea Selatan 2023, mengungkapkan hanya 8,5 persen community notes yang terbit dari sekitar 122 ribu catatan yang dibuat oleh pengguna. Temuan lain, community notes kerap terlambat muncul, padahal media profesional telah mempublikasikan hasil cek faktanya.
Meski tampak bersifat bottom-up, dengan hanya mengandalkan community notes, bisa dikatakan perusahaan platform media sosial sedang melepas tanggung jawab utama mereka untuk melakukan moderasi konten dan menyerahkannya kembali kepada pengguna. Bagi perusahaan yang berorientasi profit, pendekatan semacam itu memang jauh lebih murah dan aman secara politik.
Sebaliknya, berinvestasi untuk memperkuat moderasi yang mengkombinasikan penguatan komunitas, penggunaan teknologi canggih, penambahan jumlah moderator manusia yang terlatih, dan pelibatan peninjau independen seperti organisasi pemeriksa fakta, selalu dianggap mahal dan berisiko.
Jelas, ketimbang melindungi pengguna dari konten berbahaya, Zuckerberg dan Meta lebih mementingkan pertimbangan bisnis serta politik. Meski begitu, keputusan baru Meta tentu saja bukan akhir dari jurnalisme cek fakta. Sebaliknya, kehadiran pemeriksa fakta independen menjadi jauh lebih dibutuhkan. ●
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia (Kondisi). Kondisi beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami serta mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo