Sehubungan dengan penegasan Jaksa Agung AliSaid, bahwa buku Bumi
Manusia tak dinyatakan terlarang, Goenawan Mohamad menurunkan
tulisannya sekitar perkara itu.
NOVEL Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, tak dilarang oleh
Jaksa Agung. Seorang rekan menulis sepucuk surat dari luar
negeri, tempat ia sedang belajar "Alhamdulillah ."
Jangan salah faham. Rekan ini bukanlah seorang yang mencintai
Pramudya. Juga dia belum pernah membaca novel yang diramaikan
itu. Surat itu lengkapnya justru menyiratkan kenangan dari
belasan tahun yang lalu, yang mengusik perasaannya.
"Alhamdulillah," tulisnya, "Dulu mereka mau menghabisi kita.
Kini kita tanpa dendam sedikit pun menerima mereka."
Anda lihat: rekan saya itu masih berbicara tentang "kita" dan
"mereka". "Kita" artinya para penulis, yang di tahun 60-an
dimusuhi kaum komunis dan menurut Pramudya harus "dibabat".
"Mereka" artinya para penulis seperti Pramudya, yang di masa
"Demokrasi Terpimpin" berada di atas angin, menguasai media
massa dan dekat dengan kekuasaan--untuk menggasak siapa saja
yang dianggap "kontra-revolusi".
Surat rekan saya itu, pendek, membayangkan kembali permusuhan
tahun-tahun antara 1963-1965. Kenangan, rupanya, tak mati-mati.
****
PENGALAMAN masa silam sering hanya semacam kancing emas. Kita
menepuk dada kita di sana.
Tapi harus diakui: ada ketidaklengkapan dan juga ketidakadilan
bila kita memicingkan sebelah mata ke masa lewat. Apalagi, yang
dimaksudkan dengan "masa lewat" di sini adalah tahun-tahun
1963-1965 itu--belum lagi dua dasawarsa menghilang.
Betapa pun, sepanjang 17 tahun sejak itu anak-anak yang dulu
berumur 5 sampai 13 tahun kini sudah berumur 22 sampai 30 tahun.
Apa yang rnereka ketahui? Tak ada catatan tentang
persoalan-persoalan politik dan kebudayaan dari masa kecil
mereka. Maka dengan perbandingan penduduk yang begitu besar pada
golongan usia muda, kita terancam oleh amnesia sejarah. Saya
teringat sepucuk surat pembaca di harian Kompas.
Penulisnya, mungkin sekali anak muda, membaca buku Catatan
Subversif--rekaman dari masa ketika Mochtar Lubis ditahan (tanpa
proses pengadilan) oleh pemerintahan Bung Karno. Tak
mengherankan sebenarnya bahwa buku itu penuh kecaman kepada
pemerintahan Bung Karno. Yang mengherankan ialah bahwa si
penulis surat pembaca, yang mungkin tak tahu bahwa Bung Karno
pun berbuat sejumlah kesalahan, mengusulkan agar Catatan
Subversif dilarang saja oleh Kejaksaan Agung!
Hilangnya ingatan tentang masa silam, dalam kasus ini, telah
menampakkan gejalanya yang mencemaskan: kita hampir mengulangi
lagi kesalahan-kesalahan lama. Di masa lalu, sesuai dengan garis
kaum komunis dan nasionalis, novel 5. Takdir Alisyahbana dan
Idrus dilarang--dan mungkin inilah awal dari tindakan kekuasaan
atas sastra, yang rupanya mulai jadi kebiasaan.
Demikianlah pengungkapan masa silam bisa meneruskan
konflik-konflik yang seharusnya sudah reda. Tapi pun sebaliknya
pengungkapan itu juga bisa merupakan bahan, ke arah dasar baru
mengelola konflik yang masih tersisa.
****
SAYA telah bicara soal "permusuhan". Saya telah menyebut kata
"konflik". Apakah yang sebenarnya pernah terjadi--yang
menyangkut Pramudya dan lawan-lawannya di tahun itu?
Puncak permusuhan itu tercapai di tahun 1963. Di satu pihak
berdiri seniman pendukung Partai Komunis Indonesia, tergabung
dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Satu barisan dengan
mereka, meskipun tak satu wadah, ada pengarang dan seniman
"revolusioner" lain, terutama yang tergabung dalam LKN (Lembaga
Kebudayaan Nasional), organ PNI.
Di pihak lain, tersebar sejumlah seniman dan pengarang yang tak
bergabung ke mana pun Sebagian dari mereka kemudian, karena
terdesak untuk mengelompok, memasukilembaga kebudayaan yang
dilindungi NU, Lesbumi. Sebagian yang lain tetap ingin
independen - justru di suatu masa ketika sikap seperti itu
dimusuhi.
Di tahun 1963, kian didesak untuk menentukan sikap, sejumlah
seniman merumuskan apa yang mereka sebut sebuah Manifes
Kebudayaan. Banyak orang tak memahami Manifes ini, apalagi bila
tak bisa menyusupi bahasanya yang dirumuskan dengan mengingat
keterbatasan kemerdekaan berblcara dalam masa "Demokrasi
Terpimpin" itu.
Banyak orang juga salah faham. Kira-kira di tahun 1973 harian
Prancis Le Monde dalam suatu edisi khusus tentang Indonesia,
mengundang sejumlah sarjana Prancis yang dianggap "ahli"
kesusastraan Indonesia. Di sana ditulis bahwa bila Lekra
menghendaki "seni untuk rakyat", maka Manifes Kebudayaan
menghendaki "seni untuk seni".....Suatu simplisme yang
menyesatkan!
Manifes pada dasarnya tak berbicara tentang semua itu. Kini saya
punya beberapa kritik kepadanya, meskipun saya mencoba ikut
aktif dalam perumusannya. Tapi ada hal yang perlu dikemukakan di
sini Manifes menolak suatu kesenian yang didikte oleh partai
yang berkuasa. Ia menolak semboyan "Politik sebagai Panglima"
dalam konteks itu--meskipun ia tetap berpendirian bahwa
kesenian, dan khususnya kesusastraan, bukan cuma penonton dalam
proses perjuangan kemanusiaan.
Tapi tampaknya garis telah ditarik. Dan ternyata betapa lemahnya
para seniman yang menandatangani Manifes Kebudayaan itu. Media
massa tidak berpihak pada mereka. Bahkan hampir tiap hari, di
hampir tiap koran besar, dilontarkan tuduhan terhadap "Manikebu"
(begitulah Manifes disingkat, untuk mencemoohkannya), sebagai
sesuatu yang harus diganyang. Pengganyang yang paling lantang
antara lam Sitor Situmorang, tokoh LKN yang dekat dengan Istana.
Yang tergalak ialah Pramudya Ananta Toer. Lewat lembaran
kebudayaan Lentera dalam harian Bintang Timur, ia menyerukan
agar "musuh-musuh revolusi" itu "dibabat". Kata ini plastis,
tapi betapa ia mengungkapkan bahasa kekerasan.
Dan betapa ia bisa menang. 8 Mei 1964, Presiden Soekarno
melarang Manifes Kebudayaan. Di dekat Istana, para seniman
Manifes memang tak punya pengaruh apa-apa. Maka pembersihan pun
mulai. H.B. Jassin, salah seorang "Manikebuis", setelah
didemonstrasi mahasiswa-mahasiswa PKI dan PNI, harus berhenti
dari pekerjaannya. Wiratmo Soekito, perumus utama Manifes,
disingkirkan dari RRI tempat ia bekerja. Di perguruan tinggi
yang kini jadi IPB, Taufiq Ismail batal melanjutkan
pendidikannya ke luar negeri. Ia juga dibebaskan dari tugasnya
sebagai asisten dosen di bidang pengelolaan peternakan. Bahkan
ketika ia mengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah Katolik di
Bogor, para pemuda komunis mendatangi sekolah itu. Mereka
menuntut agar Taufiq dipecat.
"Setiap hari," kata Taufiq kemudian bercerita kepada saya,
"setiap saya membaca tulisan Bintang Timur dan merasakan teror
di kampus yang ditujukan kepada saya, bahkan kepada adik saya,
saya seperti merasa dalam situasi dibunuh, atau membunuh."
Kami, hampir tanpa kecuali, praktis tak bisa menerbitkan tulisan
kami, kecuali dengan pelbagai nama samaran. Para pelukis tak
bisa berpameran. Menjelang Manifes dilarang, bahkan gedung Balai
Budaya dilempari batu ketika almarhum Zaini menyelenggarakan
pameran. Pendeknya, pintu nyaris tertutup.
Karena itulah ketika pada pagi 1 Oktober 1965 saya mendengar
lewat RRI suatu perebutan kekuasaan terjadi--dan dapat menebak
dari mana sabit diayun--saya merasa sebuah akhir yang gelap
mendatangi. Umur saya waktu itu baru 24 tahun.
Tapi tiba-tiba peristiwa berkembang lain. Dan kegelapan yang
semula hampir menyambar saya, ternyata kemudian menyambar
Pramudya --beserta ratusan seniman komunis serta "revolusioner"
yang lain. Tentang diri saya sendiri, saya bersyukur. Tapi saya
telah melihat Pramudya dan lain-lain di Pulau Buru, di tahun
1969. Masa silam pun selapis demi selapis makin meyakinkan saya
nasib memang sering ganjil, tapi penderitaan manusia begitu
rupa. Terlalu sia-sia ia untuk dibikin terjadi sekali lagi.
Sebuah bangsa seperti kita harus menemukan jalan yang lebih
berperikemanusiaan untuk mengelola konflik-konfliknya. Itulah
alasan kita untuk menolak komunisme.
****
DAN barangkali itulah pertanyaan besar kita sekarang: bagaimana?
Kita tak bisa mengharapkan, bahwa bumi kita ini akan bebas dari
konflik. Hanya orang komunis yang paling bebal yang masih
percaya akan datangnya masvarakat yang sempurna. Maka jika
konflik akan selalu ada, besar atau kecil, dan ketidakpuasan
akan selalu terdengar, sengit atau lembut --bagaimanakah kita
harus mengelolanya?
Kita bisa membasmi semua yang kita anggap lawan. Kita bisa
menteror. Tapi kita berangkat tua. Kita punya anak. Setidaknya
saya tak ingin mencemplungkan anak-anak itu kedalam rangkaian
dendam, ketakutan dan kekerasan yang tak hinjung putus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini