Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari Bumi Manusia

Novel bumi manusia karangan Pramudya Ananta Tour yang anggota lekra tak jadi dilarang Jaksa Agung. hal ini mengingatkan masa silam, ketika terjadi konflik antara seniman yang pro komunis dan anti komunis.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehubungan dengan penegasan Jaksa Agung AliSaid, bahwa buku Bumi Manusia tak dinyatakan terlarang, Goenawan Mohamad menurunkan tulisannya sekitar perkara itu. NOVEL Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, tak dilarang oleh Jaksa Agung. Seorang rekan menulis sepucuk surat dari luar negeri, tempat ia sedang belajar "Alhamdulillah ." Jangan salah faham. Rekan ini bukanlah seorang yang mencintai Pramudya. Juga dia belum pernah membaca novel yang diramaikan itu. Surat itu lengkapnya justru menyiratkan kenangan dari belasan tahun yang lalu, yang mengusik perasaannya. "Alhamdulillah," tulisnya, "Dulu mereka mau menghabisi kita. Kini kita tanpa dendam sedikit pun menerima mereka." Anda lihat: rekan saya itu masih berbicara tentang "kita" dan "mereka". "Kita" artinya para penulis, yang di tahun 60-an dimusuhi kaum komunis dan menurut Pramudya harus "dibabat". "Mereka" artinya para penulis seperti Pramudya, yang di masa "Demokrasi Terpimpin" berada di atas angin, menguasai media massa dan dekat dengan kekuasaan--untuk menggasak siapa saja yang dianggap "kontra-revolusi". Surat rekan saya itu, pendek, membayangkan kembali permusuhan tahun-tahun antara 1963-1965. Kenangan, rupanya, tak mati-mati. **** PENGALAMAN masa silam sering hanya semacam kancing emas. Kita menepuk dada kita di sana. Tapi harus diakui: ada ketidaklengkapan dan juga ketidakadilan bila kita memicingkan sebelah mata ke masa lewat. Apalagi, yang dimaksudkan dengan "masa lewat" di sini adalah tahun-tahun 1963-1965 itu--belum lagi dua dasawarsa menghilang. Betapa pun, sepanjang 17 tahun sejak itu anak-anak yang dulu berumur 5 sampai 13 tahun kini sudah berumur 22 sampai 30 tahun. Apa yang rnereka ketahui? Tak ada catatan tentang persoalan-persoalan politik dan kebudayaan dari masa kecil mereka. Maka dengan perbandingan penduduk yang begitu besar pada golongan usia muda, kita terancam oleh amnesia sejarah. Saya teringat sepucuk surat pembaca di harian Kompas. Penulisnya, mungkin sekali anak muda, membaca buku Catatan Subversif--rekaman dari masa ketika Mochtar Lubis ditahan (tanpa proses pengadilan) oleh pemerintahan Bung Karno. Tak mengherankan sebenarnya bahwa buku itu penuh kecaman kepada pemerintahan Bung Karno. Yang mengherankan ialah bahwa si penulis surat pembaca, yang mungkin tak tahu bahwa Bung Karno pun berbuat sejumlah kesalahan, mengusulkan agar Catatan Subversif dilarang saja oleh Kejaksaan Agung! Hilangnya ingatan tentang masa silam, dalam kasus ini, telah menampakkan gejalanya yang mencemaskan: kita hampir mengulangi lagi kesalahan-kesalahan lama. Di masa lalu, sesuai dengan garis kaum komunis dan nasionalis, novel 5. Takdir Alisyahbana dan Idrus dilarang--dan mungkin inilah awal dari tindakan kekuasaan atas sastra, yang rupanya mulai jadi kebiasaan. Demikianlah pengungkapan masa silam bisa meneruskan konflik-konflik yang seharusnya sudah reda. Tapi pun sebaliknya pengungkapan itu juga bisa merupakan bahan, ke arah dasar baru mengelola konflik yang masih tersisa. **** SAYA telah bicara soal "permusuhan". Saya telah menyebut kata "konflik". Apakah yang sebenarnya pernah terjadi--yang menyangkut Pramudya dan lawan-lawannya di tahun itu? Puncak permusuhan itu tercapai di tahun 1963. Di satu pihak berdiri seniman pendukung Partai Komunis Indonesia, tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Satu barisan dengan mereka, meskipun tak satu wadah, ada pengarang dan seniman "revolusioner" lain, terutama yang tergabung dalam LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), organ PNI. Di pihak lain, tersebar sejumlah seniman dan pengarang yang tak bergabung ke mana pun Sebagian dari mereka kemudian, karena terdesak untuk mengelompok, memasukilembaga kebudayaan yang dilindungi NU, Lesbumi. Sebagian yang lain tetap ingin independen - justru di suatu masa ketika sikap seperti itu dimusuhi. Di tahun 1963, kian didesak untuk menentukan sikap, sejumlah seniman merumuskan apa yang mereka sebut sebuah Manifes Kebudayaan. Banyak orang tak memahami Manifes ini, apalagi bila tak bisa menyusupi bahasanya yang dirumuskan dengan mengingat keterbatasan kemerdekaan berblcara dalam masa "Demokrasi Terpimpin" itu. Banyak orang juga salah faham. Kira-kira di tahun 1973 harian Prancis Le Monde dalam suatu edisi khusus tentang Indonesia, mengundang sejumlah sarjana Prancis yang dianggap "ahli" kesusastraan Indonesia. Di sana ditulis bahwa bila Lekra menghendaki "seni untuk rakyat", maka Manifes Kebudayaan menghendaki "seni untuk seni".....Suatu simplisme yang menyesatkan! Manifes pada dasarnya tak berbicara tentang semua itu. Kini saya punya beberapa kritik kepadanya, meskipun saya mencoba ikut aktif dalam perumusannya. Tapi ada hal yang perlu dikemukakan di sini Manifes menolak suatu kesenian yang didikte oleh partai yang berkuasa. Ia menolak semboyan "Politik sebagai Panglima" dalam konteks itu--meskipun ia tetap berpendirian bahwa kesenian, dan khususnya kesusastraan, bukan cuma penonton dalam proses perjuangan kemanusiaan. Tapi tampaknya garis telah ditarik. Dan ternyata betapa lemahnya para seniman yang menandatangani Manifes Kebudayaan itu. Media massa tidak berpihak pada mereka. Bahkan hampir tiap hari, di hampir tiap koran besar, dilontarkan tuduhan terhadap "Manikebu" (begitulah Manifes disingkat, untuk mencemoohkannya), sebagai sesuatu yang harus diganyang. Pengganyang yang paling lantang antara lam Sitor Situmorang, tokoh LKN yang dekat dengan Istana. Yang tergalak ialah Pramudya Ananta Toer. Lewat lembaran kebudayaan Lentera dalam harian Bintang Timur, ia menyerukan agar "musuh-musuh revolusi" itu "dibabat". Kata ini plastis, tapi betapa ia mengungkapkan bahasa kekerasan. Dan betapa ia bisa menang. 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Di dekat Istana, para seniman Manifes memang tak punya pengaruh apa-apa. Maka pembersihan pun mulai. H.B. Jassin, salah seorang "Manikebuis", setelah didemonstrasi mahasiswa-mahasiswa PKI dan PNI, harus berhenti dari pekerjaannya. Wiratmo Soekito, perumus utama Manifes, disingkirkan dari RRI tempat ia bekerja. Di perguruan tinggi yang kini jadi IPB, Taufiq Ismail batal melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Ia juga dibebaskan dari tugasnya sebagai asisten dosen di bidang pengelolaan peternakan. Bahkan ketika ia mengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah Katolik di Bogor, para pemuda komunis mendatangi sekolah itu. Mereka menuntut agar Taufiq dipecat. "Setiap hari," kata Taufiq kemudian bercerita kepada saya, "setiap saya membaca tulisan Bintang Timur dan merasakan teror di kampus yang ditujukan kepada saya, bahkan kepada adik saya, saya seperti merasa dalam situasi dibunuh, atau membunuh." Kami, hampir tanpa kecuali, praktis tak bisa menerbitkan tulisan kami, kecuali dengan pelbagai nama samaran. Para pelukis tak bisa berpameran. Menjelang Manifes dilarang, bahkan gedung Balai Budaya dilempari batu ketika almarhum Zaini menyelenggarakan pameran. Pendeknya, pintu nyaris tertutup. Karena itulah ketika pada pagi 1 Oktober 1965 saya mendengar lewat RRI suatu perebutan kekuasaan terjadi--dan dapat menebak dari mana sabit diayun--saya merasa sebuah akhir yang gelap mendatangi. Umur saya waktu itu baru 24 tahun. Tapi tiba-tiba peristiwa berkembang lain. Dan kegelapan yang semula hampir menyambar saya, ternyata kemudian menyambar Pramudya --beserta ratusan seniman komunis serta "revolusioner" yang lain. Tentang diri saya sendiri, saya bersyukur. Tapi saya telah melihat Pramudya dan lain-lain di Pulau Buru, di tahun 1969. Masa silam pun selapis demi selapis makin meyakinkan saya nasib memang sering ganjil, tapi penderitaan manusia begitu rupa. Terlalu sia-sia ia untuk dibikin terjadi sekali lagi. Sebuah bangsa seperti kita harus menemukan jalan yang lebih berperikemanusiaan untuk mengelola konflik-konfliknya. Itulah alasan kita untuk menolak komunisme. **** DAN barangkali itulah pertanyaan besar kita sekarang: bagaimana? Kita tak bisa mengharapkan, bahwa bumi kita ini akan bebas dari konflik. Hanya orang komunis yang paling bebal yang masih percaya akan datangnya masvarakat yang sempurna. Maka jika konflik akan selalu ada, besar atau kecil, dan ketidakpuasan akan selalu terdengar, sengit atau lembut --bagaimanakah kita harus mengelolanya? Kita bisa membasmi semua yang kita anggap lawan. Kita bisa menteror. Tapi kita berangkat tua. Kita punya anak. Setidaknya saya tak ingin mencemplungkan anak-anak itu kedalam rangkaian dendam, ketakutan dan kekerasan yang tak hinjung putus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus