Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Toko Oxford Ke Senayan

Kasus anggota FKP-DPR R. Sumadi Sutaji yang ketahuan mengutil di Toserba Peter Robinson, London & diberitakan luas oleh koran & radio BBC London dijelaskan dalam pertemuan pers. FKP merencanakan pembalasan.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU selesai masa reses 21 Oktober lalu, para pimpinan Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) telah dihadang suatu kesibukan khusus. Hari itu juga mereka, dipimpin oleh Ketua F-KP G. Sugiharto, telah berapat, esoknya melakukan hearing dengan salah seorang anggota di balik pintu tertutup, dan mengadakan pertemuan pers dua hari setelah itu. Bisa dimengerti. Salah seorang anggota F-KP, R. Sumadi Sutaji dari Komisi IV, telah dicemarkan nama baiknya, seperti dimuat dalam sementara koran Inggris. Tiga suratkabar London: Daily Telegraph, Daily Mirror dan Evening Standard dalamterbitan 9 Oktober telah memuat berita kecil mengenai seorang anggota parlemen Indonesia, bernama SS tdah dijatuhi hukuman denda gara-gara ketangkap basah telah mengutil shop-lifting) di dua toko serba ada. Itu antara lain telah diungkapkan dalam buku harian polisi metropolitan London di Seymour Street, London W1, di mana SS diperiksa. SS dalam buku harian itu mengaku lahir pada 22 Agustus 1928, pekerjaan anggota parlemen Rl, alamat Hotel Penta, Cromwell Road, London SW7. Versi buku harian kepolisian London itu selanjutnya menerangkan, SS telah ditangkap oleh Ny. L. King, mata-mata toserba Peter Robinson di Oxford Street N. 214, sekitar pukul 5 sore pada 7 Oktober. Dalam pemeriksaan diungkapkan sesaat sebelum mengutil di Peter Robinson, SS dituduh telah mengutil di Dickins and Jones di Regent Street No. 224, London W1. Kedua toserba besar itu terletak berhadapan, dipisah jalan ramai yang lebar, sekitar 40 meter. Ny. King, demikian buku harian itu, kemudian menyerahkan SS kepada Nona Latto, anggota Polwan No, 132 dari satuan polisi Marlebourne. SS dibawa ke kantor polisi di Seymour Street itu. Setelah diperiksa kurang lebih dua jam tertuduh dibebaskan, tapi esoknya diharuskan menghadap ke Malborough Magistrate. Di pengadilan sumir di London itu SS dijatuhi hukuman denda œ 300 ditambah œ 40, untuk ongkos perkara-seluruhnya bernilai di atas setengah juta rupiah. Sedang barang-barang yang dituduh telah dikutil oleh SS hanya seharga œ 29,03 (Rp 45.000), antara lain berupa sehelai blus dan sebuah tas tangan. Alarm SS, anggota DPR yang dulu administratur PNP IX di Sumatera Utara, berada di London dari 5-8 Oktober, setelah memenuhi undangan untuk menghadiri pelelangan tembakau Indonesia di Bremen, bersama dua anggota DPR lain Drs. Warno Harjo (ketua rombongan) dan Situmorang SH. SS sendiri, demikian pula Warno Harjo, baru mengetabui namanya disebut-sebut dalam koran Inggris setelah berada di Paris. Pihak KBRI di London yang terkejut mendengar berita itu, buru-buru menelepon pihak KBRI di Paris, yang kemudian menanyakan kepada rombongan tiga orang tadi. Tapi sesampai di Jakarta soalnya menjadi lebih jelas lagi. SS yang datang agak terlambat dalam konperensi pers yang diadakan oleh pimpinan F-KP itu, nampak kalem. Ketika datang gilirannya, dia menerangkan bahwa kunjungannya ke London itu bersifat tidak resmi, dan dilakukan atas prakarsa rombongan sendiri. Menurut SS, Dubes RI di Inggris Saleh Basarah ketika itu mempunyai kesibukan menerima beberapa Menteri. Itulah sebabnya, kata SS, mereka sepakat untuk mengadakan acara bebas dan pribadi. "Saya sendiri menggunakan kesempatan itu untuk berbelanja,"- katanya. Mereka berpencar, dan berjanji akan bertemu lagi pada pukul 3 sore di depan toserba Peter Robinson. Teleks Deplu Menurut SS, ia memasuki toko Dickins and Jones untuk membeli dua helai tekstil. Lalu menyeberang ke toserba Peter Robinson. Di situ dia membeli blus dan sebuah tas untuk diisi sikat gigi, masing-masing seharga œ 17 dan œ 3. Kemudian dia juga membeli bahan untuk baju seharga œ 8. "Blus dan baihan baju itu saya lepaskan dari gantungan, supaya tidak repot membawa ke kasir," katanya. Ketika antri di muka kasir, demikian SS, dia terperanjat karena jam tangannya sudah menunjuk angka 15:30. "Waktu itu antrian masih panjang," katanya. "Maka dengan menenteng belanjaan di tangan kiri, dan menggenggam uang di tangan kanan, saya keluar dari antrian dan menuju pintu keluar untuk menjenguk kawan-kawan." Menurut SS, ketika itu udara di luar sekitar 10o C, hingga kabut menutupi pandangan keluar dari kaca pertama. Maka ia pun bermaksud untuk meiongok dari balik pintu kaca kedua. Belum sempat melongok keluar, berada di tengah dua pintu kaca yang tebal itu, tiba-tiba terdengar bunyi alarm. Dalam sekejap muncul detektif wanita itu, lalu mengajak SS ke ruang keamanan. "Berkali-kali saya mencoba untuk menerangkan maksud saya, sembari menunjukkan uang yang saya genggam itu, tapi wanita itu tak mau mengerti," katanya. Ia mengaku bahasa Inggrisnya mungkin tak dipahami oleh mata-mata wanita itu. Sebaliknya ia juga merasa tak memahami apa saja yang diucapkan Ny. King. Dari situ dimulailah peristiwa naas yang mengakibatkan SS masuk peng adilan di London. Kepolisian London ketika itu memang mendatangkan seorang penterjemah, seorang wanita keturunan Belanda yang mengaku lahir di Medan. Sedang SS sendiri sebenarnya meminta penterjemah dari Kedubes RI. SS waktu itu mengaku membawa US$ 3.000 dalam dompetnya. Dan melaluipenterjemah itu, ia disarankan agar membayar saja denda. "Supaya perkaranya cepat selesai," kata SS mengutip wanita Belanda itu. Tapi mengapa SS mau menandatangani proses verbal? Menurut SS, semula ia memang menolaknya dan meminta kepada polisi untuk dihubungkan dengan pihak Kedubes RI. "Tapi polisi mengatakan lewat penterjemah, itu tidak perlu, karena hanya akan membuat masalahnya berlarut-larut, " katanya. Maka setelah menimbang-nimbang soal waktu dan biaya, ia memutuskan untuk toh menandatanganinya. Apa kata Ketua F-KP Sugiharto? Dia menyesalkan Radio BBC London ikut menyiarkan berita itu. "Banyak orang mengetahui, di waktu Orla saudara Sutaji ini termasuk yang paling giat menumpas G-30-S/PKI di Sumatera Utara," kata Sugiharto. "Dan kita tahu siapa-siapa yang duduk di BBC seksi Indonesia itu." Siapa? Baik Sugiharto maupun Sutaji tidak menerangkan lebih jauh. Tapi dari pembantu TEMPO di London diperoleh keterangan yang bekerja di BBC seksi Indonesia itu semuanya tak ada yang berindikasi G-30-S/PKI. Yang ada, antara lain adalah bekas pegawai USIS dan bekas dosen universitas di Sum-Ut, lalu Abdullah Alamudi, bekas wartawan Harian Pedoman, Agus Suyono, dulu pegawai USIS di Surabaya dan wartawan Radio Australia (ABC) di Jakarta. Seorang wartawan dan penyiar BBC Ny. Inke Maris, menurut SS sendiri, telah ditemuinya sewaktu bera da di London. Pihak KBRI di London sendiri menerangkan kepada pembantu TEMPO, baru mengetahui soal tersebut setelah menerima teleks dari Deplu, Jakarta, yang mendengar berita itu dari siaran tengah malam BBC Scksi Indonesia (jam 6:15 WIB). Dan kemudian membaca dari koran-koran di London. Pihak KBRI merasa samasekali tak diberitahu soal ini. Juga tidak kepada anggota staf KBRI di London yang mengantarkan rombongan itu ke lapangan terbang. Pihak F-KP sendiri menerangkan sedang mempelajari sistem peradilan di Inggris. Dan, seperti kata Sugiharto, F-KP "akan mengambil tindakan balasan yang lebih keras daripada sekedar protes." Ia beranggapan, dalam menangani kasus salah seorang anak buahnya, itu pemerintah Inggris kurang menunjukkan rasa bersahabat. Separuhnya Wanita Departemen LN Inggris sampai akhir pekan lalu nampaknya belum menerima suatu surat protes apa pun dari F-KP. Namun seorang pejabat humas kepolisian metropolitan London berkata: "Kenyataan tetap tidak akan berubah." Dia tertangkap basah dengan barang-barang di tangannya, diadili,Ia mengaku bersalah, didapati bersalah dan|dia didenda." Tapi polisi London itu menambahkan, kalau SS mau naik banding atas keputusan pengadilan sumir di London, itu adalah haknya. 'Dia berwenang untuk berbuat demikian," katanya. Protes tertulis dari F-KP, sampai Senin kemarin, diketahui baru akan dialamatkan kepada Ketua DPR-RI Daryatmo. Menjawab pertanyaan pers, Daryatmo tidak serta merta membela SS. Keputusan pengadilan di London yang dikirim oleh pihak Kedubes, telah diterimanya 16 Oktober. "Yang terkena bukan saja yang bersangkutan, tapi juga DPR-RI," katanya. Bahkan menurut Daryatmo, boleh saja SS itu diperiksakan kepada seorang psikiater. Keterangan yang terakhir itulah yang membuat F-KP menyesalkan ucapan Ketua DPR. "Ucapan demikian akan memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa Sutaji itu menderita sakit jiwa," kata Sekretaris F-KP Sarwono Kusumaatmadja yang lagi menyiapkan surat protes itu. Ada betulnya. Soal mengutil--sebagaimana dituduhkan oleh pihak-pihak resmi di London kepada SS -- bukan barang baru di sana. Menurut organisasi pedagang eceran di Inggris, tahun lalu mereka menderita kerugian 700 juta poundsterling akibat pengutilan saja. Ini berarti lebih dari œ 2 juta poundsterling untuk setiap hari kerja. Mereka memperkirakan angka ini akan meningkat sampai sekitar œ 1 milyar tahun ini. Menurut statistik persatuan pedagang eceran itu, pada 1978 ada sejumlah 75.101 orang--hampir separuhnya wanita--telah dijatuhi hukuman denda karena ketahuan telah mengutil. Selama tahun itu, Selfridges, sebuah toserba terkenal tak jauh dari Peter Robinson, mengaku rugi seperempat juta pound dari pengutilan yang dilakukan di lantai dua toserba itu -- yakni departemen mode.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus