JAKUBOWSKI, orang Polandia yang miskin itu, dijatuhi hukuman mati. Mahkamah memastikan bahwa ia telah membunuh anak tirinya. Malam pertengahan Pebruari 1926 itu seperti ditelan udara dingin: malam terakhirnya menjelang maut. Di selnya, Jakubowski hanya ditemani seorang pastor Jerman yang bisa berbahasa Polandia. Mereka berdoa bersama. Ketika orang datang mengambilnya, ia berkata, "Tuan Pastor, apakah saya tidak perlu bertanya sekali lagi kepada Tuan'Jaksa Agung mengapa saya dijatuhi hukuman mati?" Jawab pastor itu: "Menurut saya tidak perlu, Tuan Jakubowski ini tidak memberikan kesan yang baik Mereka telah demikian sering kali berkata kepada Tuan, bahwa Tuan akan menjalani hukuman mati karena membunuh. jika Tuan mengajukan lagi pertanyaan itu kepada Jaksa Agung, nanti kelihatannya kurang ajar." Jakubowski menurut. "Kalau demikian saya takkan bertanya." Buruh tani itu memang tak pernah bertanya lagi. Hanya pada detik-detik terakhirnya seorang saksi mata bercerita bagaimana Jakubowski menghadapi kapak pemancung. "la berdiri di dekat balok, dikelilingi tiga orang pembantu algojo. Wajahnya mengarah kepada kami, para saksi. Tapi ia tampak tidak melihat kami. Ia memandang ke kejauhan, mungkin ke surga, dengan pandangan yang demikian menyedihkan .... Pandangan itu menakutkan secara tak terperikan." Lalu Jakubowski meletakkan kepalanya di balok. Lalu algojo mengayun kapak. Lalu terdengar bunyi kertak. Lalu selesailah sudah. Yang tampak kemudian hanya batang tubuh yang berdarah, tak berkepala lagi. Sang saksi, yang mengisahkan pengalamannya dengan gementar, kemudian menyimpulkan: Ia tak akan bisa melupakan pandangan mata terakhir Josef Jakubowski. "Itu bukan pandangan seorang yang bersalah," katanya kepada istrinya. Saksi itu, seorang warga negara Jerman baik-baik, mungkin seorang yang teramat sentimentil. Dari mana ia tahu bahwa Josef si pendatang Polandia itu, bukan pemhunuh ? Jaksa Agung Muller di Neustrelie berkata, Jakubowski seorang yang "licin dan lihai." Ia pernah dihukum penjara sebulan karena mencuri. Ia seorang "yang tidak mempunyai keberatan batin untuk melakukan pembunuhan." Maka, jadi kewajiban jaksa untuk menyingkirkan makhluk semacam itu. Jaksa dibayar negara, dan negara memang berfungsi untuk menetralkan para pengusik. Tertib harus ada, dan dengan demikian kepatuhan. Untuk itu, tekanan perlu. Untuk itu, negara harus punya monopoli dalam penggunaan kekuatan yang paling keras. Suatu hak, yang oleh Max Weber disebut sebagai "kekerasan yang absah", harus diterima. Josef Jakubowski pun dihukum mati. Ketika ia kepingin bertanya pada saat terakhirnya, la takut dituduh kurang ajar. Begitu kukuhnya rasa hormat orang-orang kepada institusi negara. Mungkin, karena itulah khalayak ramai yang menonton orang yang dihukum mati umumnya tak pernah memihak kepada Jiwa yang naas itu. Mereka mungkin memang mcnyenangi hal-hal yang ganas, yang membuat Jantung berdebar - seperti adu ayam dengan taji berpisau atau adu banteng dengan pedang terhunus. Tapi, di sampmg itu, melihat tertib ditegakkan, mereka merasa kepentingan mereka dilindungi. Tak heran bila di Inggris, misalnya, pada abad ke-18, setiap tahun dipertontonkan delapan kali eksekusi hukuman gantung. Kadang-kadang sampai 19 orang ditewaskan serentak di depan umum - di Tyburn, sebelah utara Hyde Park, agak ke luar Kota London. Di Prancis, tontonan yang mirip dilakukan biasanya di Place de Greve. Di tempat lain, tempatnya bisa lebih bebas. Pada abad ke-19, di Teheran, Iran, tubuh-tubuh orang yang dihukum mati dibiarkan bergeletakan sepanjang jalan menuju ke istana raia. Di Cina. samtai denan awal abad ke-20, pemacungan kepala bisa diIakukan di tempatyang ramai di kota..tentu saja dengan sedikit tong-jring-tong-jring. Negara, dengan kata lain, telah menjadi semacam algojo bagi masyarakat. Dan tak jarang ia diberi tepuk tangan - sampai pada taraf orang lupa bahwa kesalahan bisa terjadi. Dalam biografi Lenin, yang ditulis David Shub untuk Penguin pada tahun 1948, ada sebuah anekdot. Di suatu rapat, Lenin menulis memo kepada Felix Dzerzhinsky, kepala dinas rahasianya yang patuh: "Berapa orang kontrarevolusioner jahat dalam penjara kita?" Dzerzhinsky menjawab: "Sekitar 1500." Lenin membaca balasan itu, lalu membuat tanda silang di sebelah angka, kemudian mengembalikannya kepada Dzerzhinsky. Menurut sekretaris Lenin, Fotyicva, Lenin memang biasa membuat tanda silang untuk hal-hal yang sudah dibacanya. Tapi Dzerzhinsky menafsirkannya lain. Diam diam ia meninggalkan rapat. Malam itu ke 1500 orang tahanan itu ia habisi. Benarkah mereka bersalah? Seperti dalam kasus Jakubowski, pertanyaan itu terkubur dalam sejarah. Hermann Mostar, yang menceritakan kisah Jakubowski dalam Peradilan yang Sesat dengan menarik, mencoba membela orang malang itu. Tapi ia tahu: "Dan setelah itu terlambat sudah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini