SEKITAR 10 kasus penyelewengan uang negara akan diserahkan ke Kejaksaan Agung, akhir bulan ini. Satu di antaranya manipulasi uang proyek pemetaan dari udara atas lahan transmigrasi di Riau yang bernilai Rp I milyar. Modus operandinya cukup lihai, hingga secara administratif sulit dibuktikan. "Yang terbongkal baru di Riau, tapi siapa tahu cara seperti itu juga dilakukar di daerah lain," kata seorang pejabat tinggi di Departemer Keuangan . Kasus ini terungkap secara kebetulan. Dari hasil pemeriksaan pertama yang dilakukan inspektur dari Departemen Keuangan, semuanya tampak beres, baik teknik maupun administratif. Tapi ketika surat perjanjian kerja (SPK) dan hasil pemotretan udara diperiksa kembali, muncullah kejanggalan itu. Semula, dalam surat perjanjian kerja disebutkan bahwa kontraktor wajib menyelesaikan foto udara untuk setiap lokasi yang telah ditentukan. Artinya, untuk setiap lokasi, pemotretannya harus dilakukan sendiri-sendiri Ternyata, dari pemeriksaan log book pesawat yang dipakai untuk pemotretan itu, ketahuan bahwa jam terbang yang dipakai lebih sedikit dari yang seharusnya. Rupanya, pemotretan dilakukan sekali jalan terhadap lokasi-lokasi yang kebanyakan memang berdekatan. Dengan begitu, para kontraktor memperoleh keuntungan berlipat. "Setelah dihitung-hitung, negara di rugikan sekitar Rp 1 milyar," kata sumber itu Iagi. Menurut Risman Maris, direktur Bina Program Departemen Transmigrasi, penunjukan siapa yang dinilai mampu mengerjakan pemotretan dari udara itu antara lain disarankan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) sebagai penasihat ahli. Selama ini, ada delapan perusahaan swasta yang ditunjuk Departemen Transmigrasi untuk tugas khusus pemotretan dari udara. Semua, kecuali perguruan tinggi, harus bersaing melalui tender agar dapat proyek pemetaan itu. "ITB sering kebagian pekerjaan ini, begitu pula perencanaannya. Hal itu juga sebagai latihan bagi para mahasiswa," kata sebuah sumber di Departemen Transmigrasi. Selain mahasiswa beberapa jurusan di ITB, mahasiswa perguruan tinggi lain juga kebagian. Misalnya, untuk meneliti kesuburan tanah ditunjuk para mahasiswa IPB dan Fakultas Pertanian Unpad. Bahkan, pada 1980, sudah dirintis kerja sama Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) ITB dengan Departemen PU. Ketika itu, penyiapan lahan transmigrasi masih ditangani PU Kerja sama itu melahirkan Satuan Tugas (Satgas) Perencanaan Teknis Permukiman Transmigrasi FTSP ITB. Satgas itu segera mensurvei lahan-lahan permukiman transmigrasi di sembilan provinsi: Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatcra Selatan, seluruh Kalimantan, dan Lampung. Selain memotret dari udara, juga mengamati kemiringan lahan, menyusun rencana jaringan jalan, pemetaan lahan pertanian, dan sebagainya. Menurut Johnny Patta- bekas ketua Himpunan Mahasiswa Plano logi yang kemudian menjadi koordinator perencana Satgas (1982/1983) - waktu itu dibutuhkan sekitar 200 orang dengan kualifikasi minimal sarjana muda. Johnny berhasil merekrut 100 orang. "Belakangan, saya dengar, ada tim yang tidak mensurvei seluruh lapangan, tak bekerja sungguh-sungguh," katanya. Beberapa kasus mulai terungkap, misalnya di proyek Subulus Salam, Aceh, pada awal 1983. Lokasi yang sudah didiami transmigran sejak Mei 1982 itu ternyata banyak berlahan gambut. Akibatnya, hasil tani dari 500 kepala keluarga transmigrasi di sana tidak berhasil. "Padahal, dalam Rencana Teknis Satuan Permukiman (RTSP), yang digunakan sebagai landasan pembangunan permukiman, tak disebut-sebut sedikit pun adanya gambut," ujar Agus Sutantio, mahasiswa planologi yang waktu itu ditugasi mengecek kasus ini. Agus bahkan menemukan lahan gambut setebal sampai 2 meter. "Akibatnya, para transmigran itu harus dimukimkan lagi," katanya. Menurut petugas setempat yang melaporkan kepada Agus, lokasl ini hanya disurvei selama tiga hari saja. Dan puncak keributan pun mencuat ketika inspektur Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (kini disebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) turun memeriksa laporan keuangan. "Saya hanya diberi waktu satu bulan." kata Johnny. Barangkali karena terdesak oleh waktu, laporan pun disusun sekenanya. Menurut Johnny Patta, peta yang terdapat dalam laporan jauh berbeda dengan keadaan lapangan. Sementara itu, tercantum pula nama-nama tenaga pelaksana fiktif. Dari Jurusan Planologi saja ada 50-an nama yang menangani 60 lokasi, sekitar 36 nama tak ada orangnya. Atau, orangnya ada tapi tidak ikut Satgas dan tidak tahu namanya dicantumkan. Selain itu, ada sekitar sepuluh sarjana muda "dipromosikan" sebagai sarjana. "Yang benar-benar sarjana hanya lima orang," kata Johnny lagi. Titel sarjana ini penting karena menyangkut jumlah honor. Seorang sarjana yang ikut dalam proyek semacam ini akan memperoleh, antara lain, uang saku per hari Rp 21.000, uang makan, dan uang menginap. Sementara itu, setiap bulan masih akan ada tambahan Rp 1 juta untuk transpor lokal, Rp 100 ribu untuk perlengkapan pribadi, dan Rp 75 ribu untuk perlengkapan lapangan. Mereka rata-rata bekerja selama enam bulan. Johnny tidak tahu- persis jumlah nilai proyek. "Ketika saya tangani, periode 1982-1983, sekitar Rp 3,5 milyar," katanya. "Tapi Satgas ini hanya menggarap lahan kering. Ada Satgas lahan basah yang dananya lebih besar," tuturnya. Oleh sebab itu, Johnny memperkirakan, mungkin manipulasi lebih besar terjadi di Satgas lahan basah. "Selanjutnya, yang saya dengar mencapai Rp 4,6 milyar," katanany. Tapi keterangan Johnny mengenai insinyur palsu dan nama-nama fiktif, dibantah. Sumber TEMPO di ITB memang mengaku mendengar kasus tadi dan belakangan menerima surat dari Jurusan Planologi. Tapi saya sudah membantahnya. Masak saya membiarkan ada mahasiswa yang mengaku insinyur," katanya. Sumber lain mengungkapkan, untuk menjamin agar juru ukur tidak menyeleweng, misalnya, dipekerjakan hasil didikan ITB sendiri. "Sedang mahasiswa yang dipakai adalah yang mengambil skripsi pada saya. Jadi, mereka tak berani macam-macam," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini