YANG misterius di Indonesia ternyata bukan hanya petrus (penembakan misterius), tapi juga rancangan undang-undang. Dalam hampir sebulan terakhir ini, di Jakarta tersebar luas fotokopi "RUU tentang Pelarangan dan Penunjukan untuk Berdiam Sementara di suatu Tempat dalam Wilayah Indonesia". Siapa yang pertama kali menyebarkannya, walahualam. Tampaknya, karena isinya "menarik", fotokopi RUU ini laris. RUU ini misterius karena tidak jelas apakah rancangan setebal 14 halaman ini asli buatan pemerintah atau palsu. Bentuk, sistematika, dan susunan kata-katanya memang meyakinkan, mirip dengan RUU asli. "Ini menunjukkan bahwa RUU itu disusun oleh orang yang mengerti dan ahli menyusun konsep perundang-undangan," kata ketua DPP Peradin, Harjono Tjitrosoebono. Baru setelah fotokopi itu beredar lebih dari dua pekan, Albert Hasibuan, wakil ketua Komisi III DPR pada 11 Januari lalu untuk pertama kalinya secara terbuka mengungkapkan pada pers. "Saya tidak tahu siapa yang menyebarkan RUU ini dan apa motivasi mereka," kata Albert. Menurut anggota F-KP ini, RUU ini "tidak selaras dengan prinsip-prinsip yang selama ini ditegakkan Orde Baru". Ada tiga prinsip yang disebut Albert: hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Materi RUU itu memang menarik: dimaksudkan untuk mencabut UU Nomor 3 Pnps 1962 tentang Kewenangan Melakukan Penawanan/Pengusiran. Menurut RUU yang terdiri dari 20 pasal ini, seseorang "yang terdapat petunjuk-petunjuk akan membahayakan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 serta pembangunan nasional dapat dilarang untuk sementara berada di suatu tempat tertentu dalam wilayah Republik Indonesia. Kemudian, "akan ditunjuk suatu tempat baginya untuk berdiam sementara. Pelarangan dan penunjukan ini paling lama 10 tahun". Yang berwenang melakukan pelarangan dan penunjukan ini adalah presiden/ mandataris MPR. Atas usul menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pertahanan keamanan, presiden menetapkan orang-orang yang dikenai tindakan pelarangan atau penunjukan tadi, melalui suatu keputusan presiden. Pelaksanaannya akan dilakukan oleh jaksa agung, sedang tata caranya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Orang yang terkena penunjukan mendapat perlakuan dan pembinaan, "sesuai dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945", agar dapat mengikuti kehidupan dalam masyarakat bila masa penunjukan tadi selesai. Atas permintaan yang bersangkutan, jaksa agung dapat mempertimbangkan untuk mengizinkan membawa keluarganya dalam masa penunjukan. Tentang pembebasan, RUU ini menyebut: bila menurut penilaian jaksa agung kelakuan dan sikap mereka dianggap tidak membahayakan lagi, Jaksa agung mengusulkan kepada presiden agar mereka dibebaskan sebelum waktunya, baik dengan maupun tanpa syarat. Orang yang dibebaskan dengan bersyarat diawasi selama satu tahun. Selama itu, ia tidak diperkenankan melakukan kegiatan politik yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sehari setelah keterangan pers Albert Hasibuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengeluarkan siaran pers. Menurut YLBHI, RUU ini "dapat membawa keresahan dalam masyarakat,' karena sifat dan isinya tidak saja bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional, tapi juga mengancam runtuhnya dasar-dasar yang akan ditegakkan dalam era pembangunan hukum" Pelita IV. Isi RUU juga dianggap mencerminkan keinginan untuk memfungsikan hukum sebagai perangkat kekuasaan represif serta memperlihatkan ciri politik hukum kolonial. Kriteria kabur RUU tersebut di atas "akan memberikan dasar bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan antidemokrasi dan hak-hak asasi manusia," demikian YLBHI. Karena itu, YLBHI mendesak pemerintah segera mengambil prakarsa resmi untuk memberi penjelasan mcngenai RUI ini guna meredakan keresahan masyarakat. Ketua Dewan Pengurus YLBHI, T. Mulya Lubis, menilai RUU itu "sangat karet", karena siapa saja bisa terkena, tidak ada kriteria yang jelas. RUU ini dianggap mengebiri kekuasaan yudikatif. Mulya Lubis tidak mcnolak adanya hak-hak prerogatif presiden. "Namun, ketentuan pada RUU itu melanggar asas praduga tak bersalah," ujarnya. Artinya, sanksi yang dijatuhkan terhadap suatu perbuatan sebenarnya hanya bisa dilakukan oleh lembaga yudikatif, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai soal sanksi yang dijatuhkan Mulya Lubis menunjuk pasal 10 KUHP. Dalam pasal itu disebutkan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pertama, pidana pokok berupa pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan tutupan. Kedua, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. "Pengucilan? itu sama sekali tidak terdapat dalam hukum positif kita," kata Mulya Lubis. Walau menurut hukum di Indonesia tidak dikenal pidana pengucilan atau pengasingan, dalam praktek sehari-hari kita pernah mengenalnya. Di zaman penjajahan Belanda, banyak pejuang kemerdekaan yang diasingkan ke Boven Digul dan Pulau Banda, seperti Bung Hatta dan Sutan Syahrir. Bung Karno juga beberapa kali dibuang, antara lain ke Endeh (Flores) dan Bengkulu. Di antara berbagai tempat itu, Boven Digul- yang terletak di Tanah Merah, Irian Jaya - pada 1920 dan 1930-an dikenal sebagai sarang malaria yang merenggut banyak nyawa pejuang kita. Pada zaman Orde Baru, sekitar 10 ribu tahanan pria G 30 S/PKI golongan B sejak 1969 ditempatkan di Pulau Buru. Yang termasuk tahanan kategori B adalah mereka yang secara nyata dianggap terlibat secara tidak langsung dalam G 30 S/PKI, tapi tidak cukup bukti untuk membawa mereka ke pengadilan. Mereka ini tergolong tahanan nonyustisiil dan merupakan tahanan Kopkamtib. Secara bertahap, mulai l977, mereka dibebaskan dan pada Desembcr 1979 berakhirlah riwayat Buru sebagai pulau pengasingan. Beberapa ahli hukum menganggap materiisi RUU Pelarangan dan Penunjukan ini tidak berbeda dengan UU Nomor 3 Pnps 1962 yang digantikannya. Undang-undang ini semula cuma penetapan presiden. Ditetapkan pada 12 Desember 1962, Penetapan Presidan No. 3/1962 tentang Kewenangan Melakukan Penawanan/Pengusiran, sebenarnya belum pernah dilaksanakan secara efektif. Isinya cuma dua pasal. Pasal 1: berdasarkan petunjuk presiden atau Pemimpin Besar Revolusi, menteri atau jaksa agung berwenang untuk menunjuk siapa yang terdapat petunjuk akan mengganggu usaha mencapai tujuan revolusi ke suatu tempat tertentu sebagai tempat berdiam untuk sementara, atau melarang orang itu untuk sementara bertempat tinggal di suatu daerah. Sidang MPRS pada 1966 menghasilkan Ketetapan Nomor XIX yang memerintahkan peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Peninjauan ini rupanya seret sehingga Ketetapan MPRS Nomor XXXIX tahun 1968 kemudian memberikan perpanjangan waktu. Namun, kemudian, ternyata tidak semua perundangan itu ditinjau kembali. Undang undang Nomor 5 tahun 1969 menyatakan beberapa penetapan dan peraturan presiden sebagai undang-undang, termasuk diantaranya Pnps 3 tahun 1962 dan Pnps 11 tahun 1963 (yang kemudian dikenal sebagai UU Nomor 3 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi). Dan UU Nomor 3 Pnps 1962 inilah yang rupanya akan digantikan RUU Pelarangan dan Penunjukan itu. Benarkah RUU ini misterius? Menteri Kehakiman Ali Said akhir pekan lalu menolak memberi komentar mengenai RUU yang dihebohkan itu dengan alasan belum membacanya. "Bagaimana saya bisa memberi komentar kalau saya sendiri belum pernah melihatnya," katanya kepada Sinar Harapan. Ali Said mengakui, memang ada maksud pemerintah memperbaiki dan menyempurnakan UU Nomor 3 Pnps 1962. Tapi usaha itu sampai sekarang baru dalam tingkat penggarapan. "Jadi, samasekali belum final sampai ketingkat draft (rancangan) suatu RUU seperti fotokopi yang diberitakan telah beredar luas dalam masyarakat," ujarnya. Menjawab pertanyaan TEMPO, Menteri Muda/Sekretaris Kabinet Moerdiono mengakui telah membaca fotokopi RUU yang tersebar itu dan sedang mempelajarinya. Karena itu, saya belum bisa menjawab kepastian RUU tersebut," katanya. Moerdiono mengingatkan soal Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 yang mengatur tata cara mempersiapkan RUU dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Inti sari instruksi itu: setiap departemen atau lembaga dapat mcngambil prakarsa mempersiapkan RUU atau RPP sepanjang menyangkut bidang tugasnya. Prakarsa tadi dengan penjelasan pokoknya dilaporkan lebih dulu ke presiden. "Biasanya, para menteri atau pimpinan lembaga pemerintah itu memberikan pendapat mereka. Dari situ, rancangan itu kemudian digodok sekali lagi. Jadi, belum tentu suatu rancangan awal kalau sudah selesai akan persis seperti rancangan semula," ujar Moerdiono. Beberapa sumber TEMPO memastikan RUU itu asli. RUU itu ada dan disusun salah satu departemen," kata sumber tadi. Konon, RUU ini sudah disiapkan "sekitar tiga tahun kata sebuah Menurut sumber. Menurut sumber itu, RUU ini terutama ditujukan kepada tahanan eks Pulau Buru. Maksudnya, untuk mengawasi dan membatasi gerak mereka. "Karena tidak ada ketentuan hukum yang dapat melakukan hal itu, terpaksa dirancang RUU ini," katanya. Kabarnya, RUU ini telah selesai digarap panitia antar departemen yang menyusunnya, dan kini sampai tahap disampaikan pada para menteri dan pimpinan Iembaga pemerintah. Entah bagaimana, tahu-tahu RUU ini bocor keluar dan di"isu"-kan sebagai RUU Misterius. Siapa penyebar fotokopi RUU ini? Menurut suatu sumber, ada dua kemungkinan. Pertama- para penyusun RUU ini, dengan tujuan mengukur opini masyarakat. "Bila masyarakat tidak menanggapi, RUU ini bisa diteruskan. Bila tantangan cukup keras, RUU ini bisa dipetieskan," ujarnya. Kedua, RUU bisa jadi disebarkan pihak penyusun yang tidak setuju dengan hasil RUU ini dengan tujuan menyadarkan masyarakat akan bahaya RUU ini. Ada juga pendapat yang lebih ekstrem: "RUU ini dibuat untuk menjerumuskan presiden. Masak presiden nanti, kalau RUU itu diterima sebagai undang-undang, setiap kali harus mengeluarkan keputusan presiden untuk menetapkan orang yang terkena tindakan pelarangan dan penunjukan tadi," kata seorang pengamat politik. Mana versi yang betul? Lebih baik kita semua menunggu penjelasan pemerintah yang kabarnya kini sedang digodok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini