Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Darurat

Darurat

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Darurat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di manakah politik berhenti? Di sebuah kebun dan rumah di Turki. Di sebuah ekor cerita yang digubah Voltaire, Candide, ketika tokoh novel pendek yang kocak ini bertemu dengan seorang orang tua yang hidup tenteram, dengan tanah yang tenteram.

Di akhir kisahnya yang seru, Candide, anak haram seorang baron di Westphalia, menjalani trek yang panjang di dunia abad ke-18: Paris, Peru, Portugal, Venezia, Konstantinopel…. Hartanya habis. Ia tak begitu pandai mengelola uang—dan ia ditipu habis-habisan nakhoda Belanda.

Sesampai di Lisbon, ia mengalami hantaman tsunami yang meluluhlantakkan kota itu. Ia saksikan Gereja menghukum bakar hidup-hidup mereka yang dianggap berdosa, kemudian menghukum gantung gurunya, Pangloss, yang tak jelas salahnya. Kekasihnya jadi korban pemerkosaan dan kekerasan serdadu, dan teman-temannya jadi budak belian….

Apa yang bisa ia pelajari dari semua itu?

Dari gurunya, yang disebut “filosof paling hebat di seantero Imperium Suci Romawi”, Candide mendengarkan petuah optimisme yang yakin akan kehendak Tuhan yang selalu baik, juga ketika malapetaka terjadi. Dari Martin, seorang filosof tua yang ikut bersamanya sampai Turki, yang ia dengar sebaliknya. Martin percaya Tuhan telah menyerahkan dunia ini ke tangan satu makhluk jahat.

Di antara optimisme terus-menerus dan pesimisme yang berkelanjutan, Candide bertanya kepada seorang darwis, apa yang harus dilakukannya bila hidup begitu mengerikan. Jawaban yang ia dengar: “Tutup mulutmu.”

Candide seperti batu tulis membiarkan dirinya ditulisi apa saja. Ia tak membantah, tak pula mengiyakan.

Syahdan, di tempat tinggal rombongannya di dusun Turki itu, terdengar kabar dua orang pejabat tinggi dan seorang pembesar agama, mufti kesultanan, dihukum mati dengan dicekik. Beberapa orang lain disalibkan.

Ingin mendapat penjelasan lebih lanjut, Candide, Martin, dan Pangloss (yang ternyata tak mati) datang ke tetangga mereka, seorang petani tua yang bahagia, menanyakan siapa nama pejabat yang dihukum cekik hari itu.

 “Saya tak tahu,” jawab orang itu. “Saya tak pernah tahu nama-nama mufti dan pejabat tinggi. Saya buta tentang kejadian yang Tuan ceritakan. Mereka yang mencampuri urusan pemerintahan kadang-kadang mati dengan nestapa—dan memang pantas begitu. Tapi saya tak pernah merepotkan diri memikirkan apa yang dilakukan orang di Konstantinopel. Saya sudah puas dengan mengirim ke sana, untuk dijual, buah-buahan kebun yang saya olah.”

“Tuan tentu punya perkebunan,” kata Candide.

“Tidak. Saya hanya punya beberapa hektare; saya dan anak-anak saya mengolahnya. Dengan kerja itu, kami terjauh dari tiga keburukan: capek, sikap keji, dan merasa kekurangan.”

Mendengar ini Candide terkesan. Ia pun menganjurkan kepada teman-temannya: “Mari kita olah kebun kita.”

Kalimat ini jadi termasyhur. Agaknya bagi Voltaire, kearifan bukanlah mengetahui apa arti hidup dan mengapa ada nasib buruk, sebab tak akan ada jawaban yang memuaskan. Yang penting: melakukan sesuatu yang praktis, dengan tangan dan kaki, bukan dengan mulut dan otak.

Kita tak tahu, apakah dengan pragmatisme itu Candide bisa hidup tenang. Voltaire menutup bukunya seakan-akan mengelak dari kemungkinan bahwa jangan-jangan politik tak berhenti di pintu kebun. Petani tua yang berhasil mengolah kebunnya itu bisa acuh tak acuh kepada kekuasaan, cuek tentang yang terjadi di tingkat atas, tapi dengan itu ia mengabaikan bahwa hidup—juga di dusun Turki di abad ke-18—sebenarnya berada dalam tatanan yang darurat. Sultan bisa saja suatu ketika menyuruh pejabat dan tentara menyita kebun yang selama ini dianggapnya tempat yang mantap dan tenteram.

Yang sering dilupakan, Candide (yang judul lengkapnya “Candide, atau Optimisme”) bukan cuma buku yang mencemooh anggapan bahwa Tuhan senantiasa berniat baik kepada kita. Candide sebuah cerita tentang kedaruratan hidup. 

Ada satu bagian dari novel ini yang menggambarkannya dengan pas: di Venezia, Candide bertemu dengan enam orang yang kebetulan duduk bersama—dan mereka semua mantan raja. Mereka suatu masa pernah berkuasa, tapi kemudian dimakzulkan atau gagal, dan entah kenapa mereka semua datang ke Venezia buat nonton Karnaval.

Dalam kedaruratan itu, desain Tuhan diam-diam atau terus terang dianggap tak ada. Orang membentuk tatanannya sendiri. Di sana-sini, tatanan itu dibungkus dalil-dalil abadi, dengan ideologi atau agama, untuk memproyeksikan diri sebagai sesuatu yang sudah ditentukan secara permanen. Tapi sejarah—dan pertemuan Candide di Venezia—tak mendukung apa yang “permanen” itu.

Plato menyusun daftar syarat (axiomata) untuk berkuasa. Syarat ketujuh adalah “pilihan dewa-dewa ”—sesuatu yang sebenarnya tak bisa diketahui. Ranciere menafsirkan ini sebagai tarikan undian, le tirage au sort: siapa saja mungkin beroleh, di sebuah kebetulan. Dalam keadaan itu, persaingan atau perebutan terjadi, dan politik bergerak. Juga ketika Candide sibuk mengolah kebunnya—yang esok mungkin direnggutkan.

Jadi, di mana politik berhenti? Tak pernah. Tak berarti bahwa politik adalah segala-galanya. Kisah Candide, alhamdulillah, tak terbangun dari satu thema.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus