Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAKANGAN ini makin ramai saja pertanyaan di sekitar pekerjaan pokok para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Misalnya ketika Komisi Hukum Dewan diberitakan turun mencampuri urusan pembebasan dua peti kemas yang ditahan petugas Bea dan Cukai. Jika kabar ini benar, tindakan itu sesungguhnya layak disayangkan. Mereka seharusnya tidak mengurusi hal ”remeh-temeh” dan sebaiknya lebih berkonsentrasi pada tugas utama yang semakin menggunung.
Tersebutlah pada awal Januari lalu, dua peti kemas mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dalam dokumen disebutkan, kedua kontainer yang diimpor PT Anugrah Karya Utama itu berisi perangkat keras (hardware). Setelah diperiksa, isinya ternyata ribuan permainan elektronik PlayStation, ponsel cerdas BlackBerry, dan wine atawa anggur. Mencermati ketidaksesuaian dokumen dengan isi kontainer sebenarnya, Bea-Cukai menahan kedua peti kemas itu.
Pada 10 Januari, sejumlah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mendatangi Tanjung Priok. Bukan untuk studi banding, melainkan—konon—meminta pembebasan kedua peti kemas itu. Permintaan ini mengandung sejumlah keanehan. Pertama, anggota DPR sama sekali tidak memiliki wewenang meminta Bea-Cukai meloloskan barang selundupan. Kalaupun mereka mencium bau busuk unsur kejahatan, seharusnya hal itu tidak diselesaikan di lapangan, tapi dalam rapat dengar pendapat dengan pejabat yang lebih tinggi, seperti Menteri Keuangan—yang membawahkan Bea-Cukai.
Masalah ini memang sempat dibahas dalam rapat antara Dewan dan Komite Pengawas Perpajakan, yang meminta penahanan dua kontainer bermasalah itu. Tapi, lucunya, rapat itu justru semakin membuat kita curiga ada sesuatu di balik cawe-cawenya anggota Dewan. Pemimpin Komite, yang juga mantan Direktur Jenderal Bea-Cukai, Anwar Suprijadi, malah ”diserang”. Ia dianggap tidak berwenang menahan kedua peti kemas itu. Bahkan, di luar forum, ada anggota Dewan yang menuduh Anwar mengalami post power syndrome. Aneh bin ajaib, karena Dewan seharusnya mendukung langkah Anwar yang jeli mengendus penyelundupan.
Ketidakwajaran kedua adalah soal turun tangannya anggota DPR mengurusi hal-hal yang bukan ”kelas”-nya. Selain bertugas membuat undang-undang, Dewan memang berkepentingan mengawasi kerja pemerintah. Tapi pengawasan yang dimaksud tentu bukan hal kecil-mercil seperti itu. Sudah ada aparatur hukum yang digaji untuk mengurusi pelanggaran semisal itu. Kalau kerja aparatur hukum itu tidak memenuhi harapan, Dewan boleh melakukan evaluasi.
Turun tangannya anggota Dewan ke tingkat seperti itu tidak hanya mengaburkan jabaran pekerjaan mereka yang sesungguhnya, tapi juga membuat mereka ”turun kelas”. Dewan seharusnya mengontrol kinerja pemerintah secara umum, memastikan pemerintahan berjalan di atas rel yang benar. Mitra kerja mereka adalah para menteri, bukan petugas Bea dan Cukai di pelabuhan.
Apalagi hal ini terjadi justru pada saat Dewan kewalahan menghadapi tugas utamanya membuat undang-undang. Dari 70 undang-undang yang harus diselesaikan tahun lalu, Dewan hanya mampu mengesahkan enam undang-undang. Jauh dari target. Padahal sejumlah undang-undang tersebut amat dibutuhkan negeri ini, termasuk Undang-Undang Kerukunan Antarumat Beragama. Akhirnya, tetap menggantung sebuah pertanyaan: sebesar apa kepentingan para anggota Dewan terhadap dua kontainer berisi barang tak beres itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo