Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SKANDAL di balik tiga kali penundaan tuntutan terhadap Bahasyim Assifie tidak boleh dibiarkan berlalu. Kendati akhirnya jaksa menuntut hukuman penjara 15 tahun bagi bekas Kepala Kantor Pelayanan Pajak itu, perlu dicatat tuntutan dibacakan setelah kongkalikong ini tercium. Jaksa Agung harus menindak jaksa yang terlibat kejahatan pencucian uang dan korupsi ini.
Perkara Bahasyim tak kurang penting dibandingkan dengan kasus Gayus Tambunan, paling tidak dalam hal jumlah uang yang tersangkut. Bahasyim ditangkap atas laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang tercengang melihat aliran dana yang masuk ke rekeningnya. Pejabat eselon dua Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian memilih ”berkarya” di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu diduga menyalahgunakan jabatan sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak di sejumlah wilayah Jakarta.
Bukti paling sahih adalah duit Rp 64 miliar yang disimpan dalam rekening istri dan anaknya. Bukti lain adalah sejumlah rumah miliknya di Jabotabek. Dia bahkan memiliki dua rumah di kawasan elite Menteng, yang harganya ditaksir puluhan miliar rupiah. Di Depok, dia memiliki lahan 12 hektare yang di atasnya juga bertengger rumah mewah bertingkat tiga. Aliran keluar-masuk uang dalam enam rekening milik istri dan kedua anaknya berjumlah sekitar Rp 963 miliar.
Seperti Gayus, Bahasyim memiliki kekayaan yang tak wajar bila diukur dari jabatan dan tingkat sosialnya. Hanya, sementara Gayus mengakui duit miliknya berasal dari setoran wajib pajak bermasalah, Bahasyim punya alasan lain. Dia berkeras hartanya berasal dari hasil bisnis dan pengembangan uang yang dilakukan fund manager-nya. Dibanding pengakuan Gayus, alasan ini terdengar lebih ”berkelas” dan seolah-olah masuk akal.
Menghadapi Bahasyim dengan uang besar yang dikuasainya, jangankan mempercepat penuntutan, jaksa terkesan ”bermain-main” dengan perkara ini. Negosiasi disangka berperan kuat membuat pembacaan tuntutan terhadap Bahasyim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditunda hingga tiga kali—sesuatu yang benar-benar langka.
Dari hasil investigasi, diketahui bahwa tuntutan terhadap Bahasyim sebelumnya dirancang hanya enam tahun. Bahasyim hanya akan dijerat dengan pasal gratifikasi dengan tuntutan hukuman lima tahun penjara. Yang lebih tak masuk akal, dalam tuntutan semula diperintahkan duit Rp 64 miliar di rekening keluarga Bahasyim yang diblokir dikembalikan kepada Bahasyim. Artinya, jaksa hakulyakin duit yang dikuasai Bahasyim bukanlah hasil korupsi.
Nilai negosiasi perkara ini disebut-sebut sekitar lima miliar rupiah. Serah-terima duit direncanakan akan dilakukan di sebuah restoran yang berjarak sepelemparan batu dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Komisi Pemberantasan Korupsi gagal menggerebek pertemuan itu karena ternyata transaksi tiba-tiba batal. Sangat mungkin rencana penggerebekan itu bocor. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu belajar dari kejadian ini. Aparat KPK, dari unsur polisi atau jaksa, mestilah dipastikan benar-benar bisa ”dipegang” dan tidak terlibat kepentingan apa pun.
Sejauh ini Bahasyim menyangkal berhubungan dengan jaksa. Sebaliknya, tak ada jaksa yang mengaku pernah berhubungan dengan Bahasyim. Tapi pada awalnya sikap kejaksaan dalam melihat kasus ini mengundang tanda tanya besar. Jaksa beranggapan Bahasyim tidak bisa dijerat dengan Undang-Undang Pencucian Uang. Alasannya, tak ada bukti bahwa uang Bahasyim didapat dari hasil kejahatan.
Dalam kasus ini jelas terlihat fungsi kontrol Kejaksaan Agung tidak jalan. Semestinya untuk perkara besar seperti ini Kejaksaan Agung mengawasi secara ketat kerja tim kasus Bahasyim di tingkat kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi. Patut disayangkan Kejaksaan Agung baru menganulir tuntutan itu setelah keganjilan tuntutan terhadap Bahasyim tercium publik. Tak aneh bila publik curiga, jangan-jangan tuntutan ringan terhadap Bahasyim ini sesungguhnya ”direstui” Kejaksaan Agung.
Kecurigaan publik bakal berkurang bila Kejaksaan Agung membongkar permainan dalam pembacaan tuntutan ini. Jaksa yang berhubungan dengan pihak Bahasyim mesti diganjar sanksi berat. Tidak hanya memeriksa tim jaksa kasus Bahasyim, Jaksa Agung harus mengusut Kepala Kejaksaan Tinggi DKI yang bertanggung jawab langsung atas tuntutan itu.
Majelis hakim diharapkan tidak hanya bergantung pada bukti dan saksi yang disodorkan jaksa dalam memutus kasus Bahasyim. Dengan kewenangannya, hakim bisa meminta Bahasyim membuktikan harta yang dikuasainya bukan hasil korupsi. Jika berpendapat Bahasyim berbohong, hakim bisa memerintahkan harta tersebut dirampas untuk negara. Bila itu terjadi, semua yang terlibat perkara ini wajib diperiksa dengan tuduhan penyuapan. Skandal rencana tuntutan ringan Bahasyim mesti dibuka seterang-terangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo