Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERANGAN berdarah Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, menunjukkan aksi pelaku kejahatan sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Penyerangan pada Rabu dinihari pekan lalu itu, yang diduga dilakukan sedikitnya 12 orang bersenjata, merupakan peristiwa yang sangat langka.
Sudah beberapa kali terjadi kantor polisi diserbu massa dan bahkan dibakar-seperti di Munu, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, awal September lalu. Kantor polisi dirusak massa juga bukan berita lagi yang terakhir berlangsung di Jalan Raya Serang Bitung, Tangerang, Jumat pekan lalu. Tapi menyerang dan membunuh polisi di kantornya baru kali ini terjadi lagi, setelah pada 1981 Markas Polsek Cicendo, Bandung, diserang 14 orang bersenjata dan empat polisi terbunuh.
Tak ada tanda-tanda perampokan di kantor polisi Hamparan Perak itu. Tak ada barang yang dijarah. Penyerang yang datang dengan enam sepeda motor kelihatan betul sangat terlatih dan menguasai keadaan. Ini jelas bukan peristiwa kriminal biasa. Maka bisa dimengerti bila penanganannya pun luar biasa. Polisi menggalang kerja sama dengan satuan antiteror militer-kerja sama yang juga jarang terjadi sejak kepolisian berpisah dari Tentara Nasional Indonesia 11 tahun yang lalu.
Kepolisian di wilayah itu mesti menjalankan siaga satu, apalagi bila benar peristiwa Deli Serdang merupakan serangan balasan dari kelompok yang merampok Bank CIMB Niaga Medan, Agustus lalu. Kelompok yang membobol bank hingga Rp 400 juta itu membawa senjata AK-47, M16, SS1, dan pistol FN. Seperti di Hamparan Perak, mereka juga melakukan aksinya dengan menembak mati seorang polisi.
Dalam situasi genting itu, datangnya pasukan khusus kepolisian, yakni Detasemen Khusus Antiteror dikenal dengan sebutan Densus 88-ke Medan memang merupakan kebutuhan. Dengan keterampilan yang spesial, dalam waktu singkat Densus 88 menjaring sejumlah tersangka. Keadaan seakan sepenuhnya berada dalam kendali kepolisian. Itu sebabnya, agak mengejutkan bila kawanan penjahat sebulan kemudian menebarkan ancaman baru dengan menyerang kantor polisi Hamparan Perak.
Kepolisian meyakini peristiwa CIMB Niaga dan Hamparan Perak ada kaitannya. Apalagi lagi-lagi menurut keterangan kepolisian-ada kesamaan senjata yang dipakai perampok Bank CIMB Niaga Medan dan penyerang Markas Polsek Hamparan Perak.
Dalam kehebohan serang menyerang ini, sempat pula terdengar tak adanya koordinasi antara kepolisian setempat dan Densus 88. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Jenderal Oegroseno menyatakan tak tahu-menahu adanya operasi penangkapan tersangka perampok CIMB Niaga. Betapapun tinggi tingkat kerahasiaan operasi Medan, tak sepatutnya kepala kepolisian di daerah tersebut tidak diberi tahu.
Kepolisian tak bisa bertindak lain kecuali secepatnya merapikan koordinasi ini. Kekompakan sangat dibutuhkan, lebih-lebih mengingat dua kejadian di Sumatera Utara menelan korban aparat keamanan. Operasi perburuan teroris tak bisa dilakukan maksimal apabila tak ada satu "bahasa" di markas kepolisian.
Peristiwa CIMB Niaga dan Hamparan Perak itu membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, jika benar kelompok pelaku perampokan CIMB Niaga ada kaitannya dengan terorisme, sudah terjadi pergeseran target sasaran serangan. Semula mereka biasa menyerang simbol-simbol kepentingan Amerika dan sekutunya dengan mengebom kedutaan asing, bar, kafe, atau hotel yang mereka anggap berkaitan dengan "musuh besar" itu. Tapi pelaku kini sudah berani menargetkan markas kepolisian. Penyebab pergeseran ini perlu dipelajari.
Kedua, peran pasukan khusus seperti Densus 88 memang sangat diperlukan. Namun pasukan khusus ini tetap perlu dikontrol. Koordinasi dengan kepolisian setempat seyogianya merupakan bentuk kontrol itu. Friksi internal di balik tiadanya koordinasi harus segera disetrika. Masing-masing pihak hendaknya segera menindas ego sektoral, agar operasi bisa lebih maksimal.
Ketiga, kelompok yang beraksi di Medan dan Hamparan Perak ditengarai sebagai narapidana terorisme yang telah bebas dari penjara. Para pelaku teror mengaku dipimpin Abu Tholut alias Mustofa, yang pernah ditangkap pada 2003 untuk kepemilikan senjata ilegal. Ini menunjukkan bahwa sistem penjara gagal menjinakkan para terpidana terorisme. Bahkan bukan hal yang baru bahwa narapidana teroris malah merekrut anggota baru di penjara. Dari hotel prodeo itu mereka malah menggalang kekuatan dengan jaringan di luar penjara dan merencanakan aksi teror baru. Program rehabilitasi para narapidana terorisme mesti jauh lebih ketat dan efektif.
Tiga pekerjaan besar ini sebaiknya tidak ditunda-tunda. Masyarakat perlu jaminan rasa aman. Yang terpenting, kita tak mau menyaksikan negara ini kalah oleh para teroris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo