Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENENTUAN calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia kini menjadi sangat politis. Tarik-ulur berbagai kepentingan terjadi. Dan patut disesalkan keadaan ini justru dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melibatkan banyak kelompok, termasuk koalisi partai politik pendukungnya.
Sejumlah perwira polisi pun tergoda bermain politik. Mereka yang merasa memiliki peluang terutama berkaitan dengan jenjang kepangkatan mereka seperti berlomba mendekati para politikus. Suasana ”kolutif” begini sesungguhnya sudah terjadi sejak pemilihan calon Kepala Polri tak lagi hanya ditentukan presiden, tapi juga melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Tak perlu heran bila politikus pun kerap menyorongkan kepentingannya ke para calon Kapolri.
Dalam pemilihan kali ini, ingar-bingar berawal tatkala Presiden jauh-jauh hari mengumumkan rencana penggantian Jenderal Bambang Hendarso Danuri bersama Jaksa Agung Hendarman Supandji. Presiden mengingatkan para perwira polisi agar tidak melakukan manuver politik. Tapi peringatan itu justru seperti mengibaskan bendera ”start” pertandingan merebut perhatian DPR.
Proses penuh intrik ini jelas tak membantu usaha memperbaiki citra kepolisian yang sekarang berada di titik nadir. Sejumlah skandal mengguncang Trunojoyo, markas besar kepolisian di Jakarta. Selain diduga terlibat kriminalisasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dikenal luas dengan sebutan kasus ”cicak versus buaya” kepolisian terbelit skandal jual-beli perkara pajak oleh Gayus Tambunan. Persepsi publik pun menempatkan kepolisian sebagai salah satu lembaga korup negeri ini.
Dalam kondisi ”gawat darurat” seperti saat ini, semestinya kepolisian dipimpin orang luar institusi itu. Calon nonpolisi mestinya lebih berani melakukan reformasi substansial, termasuk menyingkirkan perwira-perwira yang korup. Tapi gagasan impian itu baru bisa diwujudkan setelah pemerintah dan DPR melakukan amendemen Undang-Undang Kepolisian.
Apa boleh buat, jika harus memilih calon Kapolri dari dalam, hendaklah dipilih yang paling sedikit kadar ketidakbersihannya. Dengan kriteria ”masa darurat” ini sebenarnya tak terlampau pelik memilih calon dari dalam. Sebagai kriteria tambahan, mestinya dipilih calon yang paling tebal komitmennya untuk memperbaiki kepolisian, juga tak bersemangat membela korps secara membabi-buta.
Presiden pun tak perlu melibatkan koalisi pendukungnya untuk memilih calon. Verifikasi hanya perlu datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, plus aktivis antikorupsi. Katrol-mengatrol pangkat juga tak dibutuhkan dengan kriteria tadi. Percepatan kenaikan pangkat hanya bisa dilakukan jika sang perwira menunjukkan kinerja yang spektakuler, dan dia merupakan satu-satunya calon yang diperkirakan mampu memperbaiki kepolisian.
Calon Kapolri juga harus disokong dengan sistem yang baik. Sistem ini perlu dipastikan mampu menutup celah penyalahgunaan wewenang, menghilangkan kesempatan jual-beli perkara, juga politisasi jabatan. Anggaran juga perlu ditambah agar kepolisian tak mencari sponsor dari cukong-cukong ketika menjalankan tugas. Dana Rp 20 juta per tahun untuk penyelidikan di setiap tingkat kecamatan bagi kepolisian tentu harus ditingkatkan.
Dengan calon dari dalam yang relatif ”paling baik”, ditopang sistem kerja yang baik dan anggaran cukup, publik berharap ada perbaikan signifikan di kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo