Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Umbar BBM Subsidi

Usul pembatasan konsumsi bahan bakar bersubsidi ruwet, tak efektif, dan mengundang akal-akalan. Seharusnya lebih berani dan tegas.

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH harga yang harus dibayar jika perkara energi diatur dengan napas pendek. Saban kali muncul riak gelombang, pemerintah kalang-kabut. Solusinya tambal-sulam, tanpa pola jelas, apalagi visi. Bukti nyata yang kini kita saksikan adalah maju-mundur upaya pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi.

Ketika beban subsidi membengkak, pemerintah berteriak risau. Sampai Agustus kemarin, realisasi konsumsi bahan bakar bersubsidi tahun ini sudah mencapai lebih dari 70 persen. Padahal masih ada lebih dari sepertiga tahun yang tersisa. Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pagu konsumsi bahan bakar bersubsidi tahun ini adalah 36,5 juta kiloliter. Tapi, dengan melajunya konsumsi, Pertamina yakin konsumsi bahan bakar bersubsidi tahun ini melonjak hingga 40,1 juta kiloliter.

Setiap kenaikan konsumsi 1 juta kiloliter setara dengan tambahan beban subsidi Rp 1,9 triliun. Maka ongkos subsidi yang harus ditanggung pemerintah boleh jadi membengkak Rp 6,8 triliun. Ini belum menghitung kemungkinan harga minyak dunia melambung. Bayangkan seandainya pos subsidi ini digunakan untuk keperluan yang lebih fundamental, misalnya investasi membangun transportasi massal.

Prakarsa menahan laju konsumsi bahan bakar minyak bukannya tak ada. Beragam usul diajukan pemerintah. Yang terdekat adalah klusterisasi, yakni penjualan solar dan bensin bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tertentu. Ada pula program mengubah ukuran pipa selang di SPBU. Ujung pipa selang Premium dibuat berukuran lebih besar dari mulut penampung bahan bakar di mobil. Mobil yang tidak kompatibel dengan ukuran selang dipaksa berganti Pertamax.

Ada lagi rencana lain: mobil pribadi dan mobil keluaran setelah 2005 dilarang menggunakan Premium. Premium dan solar bersubsidi hanya boleh buat mobil yang ditempeli stiker khusus. Segala macam usul itu memang sahih belaka. Persoalannya, tak satu pun jadi kenyataan. Sedikit saja angin penolakan bertiup, apalagi dari Senayan, pemerintah langsung surut. Program klusterisasi mestinya dilaksanakan pada September 2010. Tapi sampai kini program itu masih sebatas bahan kongko.

Maju-mundur urusan bahan bakar bersubsidi ini menunjukkan kurang seriusnya pemerintah. Tidak ada upaya serius untuk meyakinkan masyarakat bahwa bukan zamannya lagi boros bahan bakar, apalagi mengumbar subsidi. Pemerintah tidak memiliki peta besar dan tahap­an yang hendak dilalui. Absennya visi ini bisa dibaca dari usulan program yang ruwet dan mengundang akal-akalan.

Mustahil melarang mobil keluaran 2005 ke atas menggunakan Premium. Faktanya, petugas SPBU tak mungkin menolak antrean pembeli. Mobil baru, mewah pula, juga tanpa sungkan berbaris antre mengisi Premium bersubsidi. Disparitas harga memang lumayan. Premium dan solar bersubsidi berharga Rp 4.500 per liter. Bandingkan dengan Pertamax yang Rp 6.200 per liter dan Solar Dex (nonsubsidi) yang Rp 7.000 per liter. Tempelan stiker pada mobil juga sasaran manipulasi, gampang dipalsukan.

Seharusnya pemerintah punya nyali: cabut saja subsidi Premium. Solar subsidi masih bisa diterapkan dengan amat selektif, misalnya untuk bus umum dan perahu­ nelayan kecil. Tak perlu ragu. Toh, pemerintah punya pengalaman membatasi minyak tanah. Meskipun harus­ di­akui, konversi kompor minyak tanah ke kompor gas men­catat rapor merah dengan ratusan kasus ledakan tabung gas melon.

Ketika persediaan energi fosil makin tipis, strategi keta­hanan energi yang visioner bersifat mutlak. Pembatasan bahan bakar bersubsidi tak lagi bisa ditawar. Bukan ha­nya untuk menyelamatkan anggaran negara, melainkan untuk memperkuat ketahanan energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus