Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali ini kisah cinta yang paling dalam dan mencemaskan, dimulai dengan tujuh kepala manusia yang ditemukan di tepi jalan di dekat Médéa, Aljazair, 90 kilometer dari ibu kota. Di antaranya dibungkus plastik dan tergantung di pohon-pohon. Akhir Mei 1996.
Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan dari bukit Tibhirine. Tak diketahui di mana tubuh mereka.
Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang bersenjata memasuki Notre Dame de l'Atlas, sebuah biara Trappis. Mereka bangunkan penghuninya, lalu dengan paksa mereka angkut orang-orang tua itu dalam sebuah konvoi mobil yang segera pergi. Dari sembilan biarawan, hanya dua yang luput.
Kemudian diketahui, para rahib warga negara Prancis itu diculik "Grup Islam Bersenjata" sebagai sandera. Grup itu menuntut agar pemimpin mereka yang ditangkap pasukan pemerintah Aljazair dibebaskan. Kalau tidak, para sandera akan mati.
Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan itu pun disembelih, 21 Mei 1996.
Perang akhirnya juga memusnahkan para rahib Trappis di Tibhirine yang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun bertetangga itu: Perang Saudara Aljazair sejak 1991, ketika kaum "Islamis" melawan pemerintah yang menindas mereka dengan gerilya yang garang dan ganas. Kebrutalan kedua pihak akhirnya menjalar; grup-grup "Islamis" itu sendiri malah baku bunuh. Pembantaian kian sering. Sampai dengan tahun 2000, 150 ribu orang tewas.
Mengapa, dalam ketakutan, para rohaniwan itu tak mau meninggalkan bukit itu, bahkan menolak perlindungan pasukan pemerintah?
Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, The Monks of Tibhirine: Faith, Love, and Terror in Algeria. Dalam satu wawancara Kiser menawarkan sebuah jawab: kisah para padri itu adalah "sebuah kisah cinta". Kata "cinta", love, dalam bahasa Indonesia bisa juga berarti "kasih", dan agaknya itulah kaitan dan getar hati yang dalam yang membuat kesembilan rahib itu tak pergi dari Tibhirine.
Film Des hommes et des dieux, yang disutradarai Xavier Beauvois ( 2010), dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari terakhir di biara itu. Tanpa menyimpulkan. Tapi satu adegan kecil agaknya menjelaskan. Biarawan tua Luc Dochier, yang jadi dokter bagi dusun kecil itu, tampak duduk di bawah pohon di samping seorang anak perempuan yang curhat kepadanya karena sedang jatuh cinta.
"Apakah Romo pernah jatuh cinta juga?" tanya remaja itu. Pernah, beberapa kali, jawab sang pastor, "Sampai akhirnya aku menemukan cinta yang lebih besar."
"Cinta yang lebih besar" itu tentu saja cinta kepada Tuhan. Juga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak mudah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan merapat dan bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda, dan tak terduga. Juga kasih itu tak mudah karena mampu mengubah seseorang hingga bersedia, seperti tulis Luc kemudian, menempuh "kemiskinan, kegagalan, dan kematian".
Di Tibhirine kegagalan dan kematian tegak di ambang pintu hari-hari itu. Dunia kesembilan orang itu ditodong: bisakah mereka, dengan kasih, menyelamatkan kegembiraan memanen ladang, menyapa tetangga, mempercayai orang lain, melagukan kidung syukur untuk sang Pencipta? Bukankah justru untuk itu mereka harus meninggalkan Tibhirine, membangun tempat lain?
Bimbang mencekam. "Kita di sini bukan untuk bunuh diri kolektif," kata seorang padri yang ingin pergi, meskipun kemudian ia tinggal—dan mati.
Suatu malam, menjelang Natal, sepasukan gerilyawan menggedor pintu Notre Dame de l'Atlas. Komandannya, Ali Fayyatia, meminta agar para rahib itu memberi mereka obat atau mengobati temannya yang luka. Kepala biara, Christian de Chergé, menolak: persediaan obat terbatas dan orang dusun membutuhkannya.
Suasana tegang. Tapi di saat itu Christian menunjukkan harapannya kepada muslim yang memegang bedil di depannya itu. Dikutipnya ayat Quran, bahwa yang dekat di hati muslim adalah mereka yang menyatakan diri Nasrani—dan dalam Surah Al-Maidah memang disebut contoh orang Kristen yang baik itu: "para pendeta dan rahib".
Sejenak Ali tercengang mendengar seorang pastor mengutip Quran, tapi segera ia menyelesaikan ayat itu: "Karena sesungguhnya mereka tak menyombongkan diri." Dan Christian pun menyambung: "Kami bersahabat dengan penduduk dusun ini."
Komandan gerilya itu pun menyalami Christian, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin ia tahu, mungkin tidak, biara itu sudah di sana sejak 1938 dan Islam dihormati.
Di satu makan malam bersama Christian mengatakan, kejadian menjelang Natal itu—Ali datang dengan senjata, Ali pergi dengan salam—baginya meneguhkan kembali makna hidup dan kelahiran Kristus. Maka ketika Ali tertangkap tewas, mungkin disiksa, dan Christian melihat jenazahnya di pos militer, ia mendoakannya dengan intens sampai ia diusir opsir penjaga.
Kasih memang tak mudah dipahami. Ada semacam wasiat yang ditemukan di meja Christian (di mana terdapat juga Quran). Bila satu hari ia jadi korban terorisme, demikian di sana tertulis, jangan terlalu gampang menyamakan Islam dengan fundamentalisme penganutnya yang ekstremis. Sebab, "Aljazair dan Islam lain; mereka satu tubuh, satu sukma."
Saya tak tahu bagaimana di hari-hari itu iman yang begitu dalam bisa membuka hati begitu luas. Mungkin karena wajah-wajah ramah di Tibhirine, bukit hening, dan ladang yang akrab. Mungkin juga "sukacita rahasia" di hati Christian dalam meneguhkan la communion, memulihkan la ressemblance ("persamaan"), dan "bermain dengan perbedaan".
Di akhir wasiatnya, padri yang kemudian disembelih itu menulis, dalam huruf Arab, "Insya Allah."
Ada harapan yang bisa dicemooh tapi tak takut gagal.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo