Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kartu kredit platinum baru tergeletak di meja kerja Wara, di kantornya, beberapa pekan lalu. Merasa tidak mengajukan permohonan, pria 41 tahun itu buru-buru menelepon bank penerbit kartu tersebut, Citibank. Suara merdu di seberang mengatakan, kartu platinum itu sengaja dikirim sebagai pengganti kartu Cash Back. Manajer sebuah perusahaan swasta di Jakarta Selatan itu memang pemegang kartu kredit jenis Cash Back terbitan Citibank. Ia juga memiliki kartu jenis Choice.
Kendati bingung kartunya diganti, Wara tidak banyak protes. Pada September 2011, CIMB Niaga juga mengirimkan kartu kredit kepadanya. "Padahal mengisi aplikasi pun tidak," kata dia kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Kini di dompetnya berjajar lima kartu kredit. Satu lagi kartu Gold dari Standard Chartered.
Kemewahan bagi perorangan untuk memiliki banyak kartu kredit itu akan segera berakhir. Pada 6 Januari lalu, bank sentral mengeluarkan aturan yang memperketat sistem pembayaran non-tunai ini.
Beleid baru tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012, untuk merevisi aturan serupa yang dibuat pada 2009 tentang penyelenggaraan kegiatan pembayaran dengan menggunakan kartu. Kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk kartu baru, tapi juga kartu yang telah terbit. Bank Indonesia memberikan masa transisi dua tahun bagi bank untuk menata ulang kartu yang telah beredar.
Ketua Tim Pengawas Sistem Pembayaran Bank Indonesia Puji Atmoko menjelaskan, ketentuan baru ini lebih banyak menerapkan manajemen risiko penyaluran pinjaman melalui kartu kredit. Dalam hal ini, bank sentral menetapkan sejumlah pembatasan. Misalnya, usia pemegang kartu minimal 21 tahun atau sudah menikah.
Puji menegaskan, batasan usia ini sangat penting sebagai ukuran kedewasaan atau kematangan seseorang. Bank sentral mengacu pada aturan perdata bahwa usia dewasa adalah 21 tahun. Pada usia tersebut, diasumsikan seseorang paham bahwa menggesek kartu kredit berarti telah meminjam atau berutang.
Kartu kredit berbeda dengan kartu debit atau kartu ATM, kata Puji, yang tidak memerlukan batasan minimum usia pemegang kartu. Setiap transaksi menggunakan kartu ini bukan terhitung sebagai utang. Kegiatan pembayaran menggunakan ATM secara otomatis akan mengurangi saldo simpanan. "Makanya, anak 10 atau 12 tahun boleh memilikinya."
Regulator juga menggunakan ukuran pendapatan sebagai salah satu filter. Hanya orang yang gajinya Rp 3 juta ke atas yang boleh memiliki kartu kredit. Batas minimum Rp 3 juta itu didasarkan pada rata-rata upah minimum provinsi Rp 1 juta per bulan dan pendapatan per kapita sekitar Rp 3 juta per bulan. Calon nasabah diwajibkan menunjukkan struk gaji atau bukti setoran pajak untuk memenuhi syarat ini.
Plafon pinjaman pun dibatasi sebesar tiga kali gaji saja bagi nasabah berpendapatan kurang dari Rp 10 juta. Sebaliknya, bila pendapatan melampaui Rp 10 juta, batas maksimum kredit ditentukan berdasarkan analisis risiko bank. Puji menjelaskan, pagu utang harus dibaca secara industri. Artinya, seseorang yang berpendapatan Rp 5 juta boleh mendapatkan pinjaman dari dua penerbit kartu kredit dengan jumlah total Rp 15 juta.
Bagi nasabah berpendapatan kurang dari Rp 10 juta, Bank Indonesia cuma mengizinkan memiliki kartu dari dua penerbit. Sebaliknya, bagi yang gajinya lebih dari itu, bisa mengantongi kartu dari lebih dari dua penerbit.
Menurut aturan baru itu, Wara, yang berpangkat manajer dengan penghasilan sekitar Rp 12 juta, sah menyimpan lima kartu kredit dari tiga penerbit di dompetnya. Tapi soal plafon, tengok saja, betapa bank jorjoran memberikan pagu kredit.
Dari Citibank Platinum saja, Wara mengungkapkan, ia bisa meminjam sekitar Rp 25 juta. Standard Chartered Gold memberikan batas kredit hingga Rp 23 juta. Belum dari Citibank Choice (sekitar Rp 5 juta), dan kartu kredit CIMB Niaga. Padahal total plafon kredit tidak boleh melampaui tiga kali gaji. "Ketiga penerbit kartu harus berbagi. Kalau plafon sudah habis, ya enggak bisa diberi lagi," kata Puji.
Bank Indonesia tak mengubah batas minimum pembayaran kredit, yakni 10 persen dari total tagihan. Puji menjelaskan, angka 10 persen ini dinilai paling pas. Pada 2004, minimal cicilan cuma 5 persen. Nilai minimum pembayaran yang terlalu kecil hanya dipakai untuk membayar bunga tanpa mengurangi pokok. Ini gawat karena sisa tagihan bisa menggelembung. Dalam banyak kejadian, nasabah terjerat utang karena bank mengenakan bunga atas sisa tagihan.
Nah, untuk urusan "bunga berbunga" ini, bank sentral membuat aturan tegas. Bunga kartu kredit akan ditetapkan melalui surat edaran Bank Indonesia maksimal 3 persen. BI juga melarang penerapan biaya dan denda sebagai komponen penghitungan bunga. "Kata lainnya bunga berbunga. Itu tidak boleh," kata Puji.
Kendati menerima pembatasan kartu kredit, Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menilai Bank Indonesia tidak perlu mengatur bunga maksimum kartu kredit. "Bunga 3 persen itu sudah cukup tinggi," kata dia, pekan lalu. Menurut Sigit, pembatasan calon pemegang kartu kredit sudah memaksa bank lebih selektif dan berhati-hati. "Efeknya, bank lebih memperketat pemberian kartu."
Seorang bankir yang meminta namanya tidak disebut mengatakan bahwa pembatasan bunga dan larangan praktek bunga berbunga akan menurunkan pendapatan bank dari kartu kredit. Toh, tak ada kalangan perbankan yang terang-terangan memprotes aturan itu.
Mona Rangkuty, Asset and Product Head Citi Indonesia, mengatakan bahwa beberapa butir beleid baru itu akan menjadi tantangan bagi perbankan. Tapi secara prinsip Citibank memahami dan akan mendukung rencana Bank Indonesia. Peraturan tersebut untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian, perlindungan konsumen, dan manajemen risiko pemberian kredit. "Di setiap negara," kata dia, "Citigroup selalu mematuhi peraturan yang berlaku."
Adapun Direktur Kredit Konsumsi Bank Mandiri Mansyur S. Nasution mengatakan, para pemangku kepentingan bisnis kartu kredit telah memberikan masukan untuk menyempurnakan aturan tersebut. Ia mengharap penerapan regulasi yang jelas dan tegas dalam bisnis kartu kredit akan menekan keluhan dari pengguna jasa.
Bank Indonesia mencatat, pengaduan nasabah ke bank sentral sepanjang 2011 didominasi isu sengketa penyaluran dana (48 persen) dan sistem pembayaran (40 persen). Sengketa persoalan kartu kredit merupakan isu utama dalam sistem pembayaran.
Bank Mandiri berjanji akan konsisten meningkatkan edukasi kepada pengguna kartu untuk mendorong pertumbuhan bisnis kartu kredit yang sehat dan transparan. "Agar sistem pembayaran aman dan efisien," ujar Mansyur.
Bank Indonesia, menurut Puji, melalui beleid baru ini bermaksud mengembalikan fungsi kartu kredit sebagai alat pembayaran. Saat ini penggunaan kartu kredit begitu beragam. Ada yang menggunakan untuk membayar cicilan kredit mobil. Malah ada pelanggan yang menggesek di gerai untuk mengambil tunai. Istilahnya gestun alias gesek tunai. Praktek ini terang-terangan dilakukan di banyak toko elektronik dan gerai emas di Jakarta. Tak sampai lima menit, dana akan keluar sesuai dengan permintaan. Tapi dikenai charge 3 persen.
Puji geleng-geleng kepala melihat praktek mengangsur utang dengan utang ini. "Dengan gali lubang tutup lubang, persoalan tidak akan selesai," ujarnya. Karena itu, kata dia, perlu batasan dan rambu yang jelas.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Husna Zahir sepakat perlunya edukasi kepada masyarakat bahwa kartu kredit bukan penopang gaya hidup, melainkan alat transaksi. Bank penerbit harus memberikan pemahaman tentang konsekuensi yang akan ditanggung konsumen atas transaksi yang terjadi.
Penawaran kartu kredit yang marak di pusat-pusat belanja, Husna menambahkan, harus lebih selektif. Hal ini penting agar konsumen tidak terjerat utang, dan bank tidak tersandung NPL alias kredit seret. "Jangan mempermudah persetujuan aplikasi," Husna menegaskan.
Retno Sulistyowati, Dina Berina
Jumlah kartu kredit
Transaksi kartu kredit (Rp juta)
2007 Tunai: 3.299.610
Belanja: 69.304.597
2008 Tunai: 3.800.977
Belanja: 103.468.544
2009 Tunai: 4.040.297
Belanja: 132.651.567
2010 Tunai: 4.521.434
Belanja: 158.687.057
2011 Tunai: 4.082.627
Belanja: 161.516.969
Kredit seret (NPL) per November 2011 tercatat 4,51 persen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo