Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA pemerintah tidak segera membenahi transportasi laut, moto ”di laut kita jaya” sebaiknya diganti saja dengan ”di laut kita celaka”. Sebagai negara maritim, penanganan lalu lintas laut kita benar-benar payah. Kapal motor Teratai Prima berpenumpang 250 orang tenggelam dua pekan lalu di perairan Majene, Sulawesi Barat. Sampai sekarang baru 35 penumpang diselamatkan, 14 tewas, sisanya belum ketahuan nasibnya. Belum lagi usaha pencarian selesai, pekan lalu kapal motor Risma Jaya dihantam gelombang dan karam di perairan Asmat, Papua. Tiga dokter hilang ditelan laut. Hampir bersamaan, kapal motor Jaya Ekspress tenggelam di Selat Bangka dan kehilangan delapan dari 12 anak buah kapal. Masih ada tiga kecelakaan laut lain sejak awal Januari. Artinya, urusan perjalanan laut menuntut perhatian penuh.
Pemerintah harus meninjau kembali semua aturan perjalanan laut. Pengawasan maksimum atas jumlah penumpang, kondisi kapal, juga keadaan cuaca, perlu dijalankan. Barangkali pembenahan ini lebih penting dilakukan, ketimbang secara defensif menyatakan karamnya Teratai Prima merupakan akibat nakhoda nekat menantang cuaca buruk walaupun sudah diperingatkan.
Pernyataan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal yang kepagian itu memberikan kesan kesalahan hanya terletak pada satu orang, sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi masih pada titik awal penyelidikan. Teratai diberitakan dalam kondisi bagus. Jumlah penumpang dan berat muatan pun tak melebihi kapasitas. Badan Meteorologi dan Geofisika, juga syahbandar pelabuhan Makassar, konon sudah pula memberikan peringatan tentang cuaca yang buruk. Justru perlu diselidiki, mengapa nakhoda tetap berkukuh berlayar. Mungkin saja ia dalam ”tekanan” pihak lain ketika memutuskan terus berangkat. Sebuah investigasi akan menjawabnya, dan sebelum ada hasil final, Menteri Jusman sebaiknya menahan diri.
Indonesia adalah negara maritim dengan jumlah perjalanan laut sangat besar. Semua SOP (standard operating procedure) transportasi laut harus dipastikan ada dan dijalankan dengan baik. Jika Badan Meteorologi menyatakan cuaca buruk, tak boleh ada kapal yang nekat berlayar. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menyatakan syahbandar berhak melarang sebuah kapal bertolak dengan alasan cuaca buruk, tak boleh ditawar-tawar. Komite Nasional Keselamatan Transportasi juga harus meneliti perlengkapan navigasi dan keselamatan penumpang. Dalam hal tenggelamnya Teratai, ternyata hanya 35 orang selamat dari 250 penumpang.
Pada masa mendatang, mungkin perlu studi banding yang serius—sekali lagi serius: yang artinya bukan jalan-jalan atau shopping bersama keluarga—ke beberapa negara kepulauan seperti Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Indonesia perlu mempelajari cara negara itu mengatur perhubungan laut. Dalam menangani cuaca buruk, misalnya, Indonesia bisa belajar dari Hong Kong, yang terkenal dengan puting beliungnya.
Perlu juga dipikirkan ihwal peremajaan kapal motor. Lebih dari 87 persen kapal yang sekarang beroperasi di perairan Indonesia sudah berusia di atas 30 tahun. Pemerintah bisa memberikan insentif, misalnya kredit dengan bunga ringan, bagi pemilik kapal yang meremajakan kapalnya. Pemotongan pajak barangkali bisa juga ditawarkan.
Tanpa itu semua, korban tenggelam diperkirakan terus bertambah. Dengan pedih kita harus mengakui, di air kita sama sekali tak berjaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo