Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRITIK bertubi pantas dilayangkan ke alamat Komisi Pemilihan Umum. Mereka begitu lamban menyelesaikan sejumlah pedoman teknis. Pengumuman daftar pemilih tetap ternyata tidak akurat. Publikasi daftar calon anggota legislatif tetap amburadul. Ada sederet nama calon yang sama di dua daerah pemilihan.
Sikap tidak profesional juga tampak dari cara Komisi mengoreksi jadwal. Tender 800 juta kertas suara (bayangkan besarnya jumlah ini), segel, dan tinta, yang seharusnya kelar akhir tahun lalu, akhirnya molor. Urusan logistik ini direvisi dan baru selesai pada Maret mendatang. Waktu ini jelas terlampau mepet dengan pemilihan anggota legislatif, yang sedianya dijadwalkan sebulan kemudian.
Belum lagi soal distribusi yang susahnya minta ampun. Di negeri beribu pulau ini, rakyat pemilih masih banyak yang bermukim di kabupaten dan kecamatan yang tak mudah dijangkau transportasi darat. Kalaupun pengiriman logistiknya butuh bantuan kapal laut atau helikopter milik polisi dan tentara, koordinasi akan makan waktu lebih lama—apalagi jika keadaan cuaca terus meneror.
Soal formulir dan bilik suara juga masih ribet. Stok lama, saat disimulasi, terlampau sempit untuk kertas suara yang berisi 38 partai plus 11 ribu calon anggota legislatif. Kotak suara yang ditangani Komisi di daerah sampai kini belum ada tanda-tanda segera diproses. Komisi masih sibuk berdebat tentang perlu-tidaknya meminta payung pengaman berupa keputusan presiden.
Konsep surat yang siap diajukan ke presiden itu akhirnya ditarik. Komisi siap melaksanakan pengadaan melalui tender. Keputusan yang benar, memang. Ini menghindarkan tudingan korupsi dan kesalahan prosedur, meski prakteknya tak mudah, lantaran sempitnya waktu tadi. Dilema ini harus mereka hadapi setelah gagal bekerja secara efektif.
Sebenarnya dulu ada cukup waktu untuk menggelar tender. Namun sayang sekali, sejak November tahun lalu, KPU tidak bisa memanfaatkan peluang itu. Seharusnya, ketika daftar calon tetap dan pemilih tetap sudah keluar, beberapa proses pengadaan logistik bisa dimulai. Minimal, Komisi di tingkat provinsi sudah bisa melakukan pengadaan logistik kotak suara dan bilik suara.
Pada saat-saat genting itu, mereka malah asyik bertugas ke daerah dan luar negeri. Ada yang terbang ke Belanda dan menengok pemilihan gubernur Jawa Timur. Yang lain menjadi penceramah sekaligus pulang kampung ke Bali. Tiga kolega lainnya sibuk menonton pemilihan umum di Amerika Serikat, yang tak memiliki kaitan langsung dengan pelaksanaan pemilihan umum di sini. Bahkan, kantor pernah kosong karena semua pejabat sibuk bersosialisasi.
Ketika kini waktu tak lagi seluas samudra, barulah KPU pontang-panting. Mereka tak punya cara lain kecuali memanfaatkan setiap detik yang tersisa. Pengadaan logistik Pemilu 2004 yang memiliki waktu 150 hari saja membuat KPU ketika itu kerepotan. Komisi periode sebelumnya sudah membikin pedoman teknis yang relatif sama, agak aneh kalau pengurus yang sekarang terkesan tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Walhasil, KPU masih punya segunung pekerjaan, termasuk persiapan menjelang pemilihan presiden. Perlu kerja keras dan perbaikan di semua tahapan pekerjaan sehingga semuanya terencana dengan cermat. Kalau pelaksanaan pemilu saja sudah babak-belur, mana pula bisa kita harapkan hasil yang baik. Untuk menyelesaikan tugas berat itu, KPU mesti sangat disiplin dengan jadwal, tak boleh berleha-leha, dan tak perlu sibuk menangkis kritik dengan mengaku siap diberhentikan. Demokrasi di Indonesia sebagian ditentukan oleh kerja Komisi Pemilihan Umum melaksanakan tiga pemilu tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo