Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan luar negeri Prabowo Subianto berjalan tanpa arah.
Pemulangan narapidana mati tak didukung aturan pemindahan narapidana antarnegara.
Penunjukan Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri yang minim pengalaman makin menambah keraguan diplomasi luar negeri.
DIJULUKI “presiden kebijakan luar negeri” oleh Susilo Bambang Yudhoyono karena dianggap paham geopolitik, Presiden Prabowo Subianto justru tergelincir dalam beberapa keputusan politik luar negeri. Pendekatannya yang ingin menyenangkan semua pihak, ditambah pemilihan Menteri Luar Negeri yang minim pengalaman, membuat diplomasi pemerintahan baru ini tampak tanpa arah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kebijakan yang memicu kontroversi adalah sikap Prabowo terhadap konflik Laut Cina Selatan. Dalam pertemuan dengan Presiden Cina Xi Jinping pada 9 November 2024, Prabowo menyarankan solusi penyelesaian sengketa melalui kerja sama di wilayah tumpang-tindih. Pendekatan ini bertentangan dengan sikap konsisten Indonesia yang mendukung hukum internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap Prabowo tersebut seperti memberikan pengakuan terhadap klaim Cina atas sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang mencakup sebagian besar Laut Cina Selatan. Klaim ini telah lama menjadi sumber ketegangan antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina. Kritik mengalir deras, baik dari dalam negeri maupun tetangga regional, yang menganggap Indonesia melemahkan posisinya sebagai negara netral yang mendukung supremasi hukum.
Ironisnya, hanya tiga hari berselang, saat bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington, DC, Prabowo mengeluarkan pernyataan berbeda. Kali ini ia kembali menegaskan dukungannya terhadap UNCLOS, seolah-olah menarik ucapan sebelumnya. Pergantian sikap ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Prabowo memahami kompleksitas geopolitik Laut Cina Selatan atau sekadar bermain peran “superman” demi meraih citra baik di mata semua pihak?
Blunder lain terjadi pada kebijakan pemindahan narapidana narkotik ke negara asal mereka, termasuk Mary Jane Veloso ke Filipina. Kebijakan ini dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Meski niatnya mencerminkan perhatian pada isu kemanusiaan—sesuatu yang berbeda dari kebijakan Presiden Joko Widodo yang cenderung mendukung hukuman mati—langkah Prabowo itu cukup gegabah. Hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur pemindahan narapidana antarnegara.
Ketiadaan aturan ini menjadi alasan Indonesia menolak permintaan Australia memulangkan Schapelle Corby pada 2005. Dengan membuka pintu untuk pemindahan seperti dalam kasus Mary Jane, Prabowo berisiko mengesankan bahwa Indonesia “terlalu mudah” dilobi. Bahkan negara lain, seperti Iran, kini mulai mengajukan permohonan serupa. Ini memunculkan dilema: bagaimana nasib warga Indonesia yang menjadi terpidana mati di luar negeri?
Masalah ini diperparah oleh penunjukan Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri. Banyak yang mempertanyakan kapabilitasnya dibanding diplomat-diplomat karier yang lebih berpengalaman. Di bawah Sugiono, kebijakan luar negeri Indonesia tampak centang perenang dan kehilangan arah.
Jika pola ini terus berlanjut, Prabowo berisiko membuat Indonesia kehilangan kredibilitas di mata dunia. Keinginan menyenangkan semua pihak tanpa memahami seni diplomasi hanya akan menjadikan Indonesia macan Asia yang ompong—sekadar retorika belaka. ●