NYONYA Suharti mengaku keturumn tukang jual ayam kampung di Yogyakarta. Setelah menikah 20 tahun silam dengan Syahlan P.H., seorang hryawaD Pemda DIY yang gemar masak-memasak, ia menurunkan satu trah ayam goreng: Nyonya Suharti. Ayam goreng yang terkenal di Yogyakarta itu, pada Idulfitri ini, mulai berlebaran pertama di Jakarta, di Jalan Pemuda. Dan, menurut yang empunya, msih akan ditelurkan tiga cabang lagi di sini. Restoran pertama, tak jauh dari kampus UI Rawamangun, diperkirakan menelan investasi lebih dari Rp 500 juta. Yaitu untuk sebuah gedung ukuran 300-an m2, berlantai ubin teraso, dilengkapi 50 meja makan dengan masing-masing empat kursi. "Kami beli sendiri, tidak berpatungan dengan siapa-siapa," tutur Syahlan. Namun, ia mengakui memanfaatkan KIK dan KIKP dari BNI '46. Syahlan yakin, usaha keluarganya, yang sudah berlangsung sejak 1972 di Yogyakarta, akan berkembang juga di Jakarta. "Di sini banyak penggede. Hampir semua pejabat tinggi di sini sering makan di restoran kami di Yogya," tutur pimpinan restoran, yang menjual ayam goreng Rp 5.000 per ekor itu. Suharti, 39, sebenarnya masih terhitung keluarga dengan para pengusaha ayam goreng Mbok Berek - yang terkenal di kota-kota di Jawa, seperti yang dikelola Nyonya Umi, di Jakarta. Suharti sendiri pernah jadi juru masak di warung kakaknya, Mbok Mangundimedjo, di Desa Candisari. Menikah dengan Syahlan, ia ingin jalan sendiri. "Kami menawarkan kerja sama dan minta modal, tapi malah diejek," tutur Syahlan. Sejak itulah timbul niat mereka menyaingi usaha keluarga yang lain. Sejak 1968, mereka menabung Rp 1.000 sehari. Waktu itu Syahlan masih kerja di kantor. Pulang kerja, ia ke pasar membeli ayam kampung, lalu menyiangi. Tugas istrinya memasak dan membawa kepada para langganan di pasar. Akhirnya, 1972, tabungan mereka mencapai Rp 800.000. Setelah membeli tanah 800 m2 seharga Rp 200.000, dekat bandar udara Adisucipto, mereka mendirikan restoran dengan nama Mbok Berek juga. Daya tarik dibikin. Antara lain, "Ruang makan kami beri hiasan ukir-ukiran, pakai lampu hias, dan halaman parkir mobil yang mudah," ujar Syahlan. Lebih dari itu, mereka juga mencari resep baru yang membuat langganan tidak bosan, sekalipun telah melahap seekor ayam kampung. Resep itu kemudian mereka temukan. Untuk membedakannya dengan cita rasa Mbok Berek, mereka memperkenalkan "resep Ny. Suharti". Apa itu? Itu rahasia perusahaan, tentu. "Dalam enam bulan, kami bisa berhasil, sehingga saingan kami hanya mampu memotong paling 5 ekor sehari," tutur Syahlan, menepuk dada. Mereka kemudian membuka usaha pemondokan putri di kota pelajar, Yogya, 1976. Bahkan kini Suharti, yang tak tamat SD itu, sudah merencanakan usaha hotel di atas tanah seluas 10.000 m2 dekat bandar udara Adisucipto. Suaminya, lulusan STM, juga bisa menyumbangkan hobinya memelihara perkutut sampai belasan ekor yang harganya bisa jutaan per ekor. Keempat anak mereka yang masih sekolah, paling sulung, 22, di Jurusan Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogya dan si bungsu, 15, yang masih di SMP, sudah mulai dipersiapkan untuk meneruskan trah Ny. Suharti. Pembukaan cabang di Jakarta, menurut Syahlan, sebagai upaya penerusan trah Ny. Suharti kepada keempat anak mereka. Cabang pertama di Jalan Pemuda itu, tampaknya, akan diserahkan kepada putri pertama, yang sudah tampak duduk di meja kasir di situ. Cuma, kata penggemar ayam Ny. Suharti, rasa yang di Jalan Pemuda itu lain dengan yang di Yogya. Kesamaan rasa seperti yang dikuasai resep Kolonel Sanders untuk ayam Kentucky di seluruh dunia, barangkali, memang sulit dicapai pengusaha di sini. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini