PASIR adalah sebuah desa di Kecamatan IV Angkat, Kabupaten Agam,
yang terletak sekitar 6 Km di timur kota Bukittinggi. Meski
merupakan desa, listerik menyala sepanjang hari di sini. "Kami
desa industri pertama yang memanfaatkan aliran listerik PLTA
Batang Agam," kata Kanun Adnan, 63, kepala desa itu.
Hingga dewasa ini tak kurang dari 12 perusahaan gabungan warga
desa yang berproduksi di tiga jorong: Pincuran Tujuh, Cibuak
Ameh dan Surau Langgar. Mereka menghasilkan 120 kodi pakaian
jadi setiap minggu. Pakaian itu untuk anak-anak dan orang
dewasa, baik pria maupun wanita. Bahannya pun ada yang kasar ada
yang halus. Dan pakaian jadi itu sering dibubuhi cap "Arrow",
misalnya untuk kemeja lelaki. Membajak? Kanun menampik istilah
itu, sebab katanya pencantuman merek yang sudah tersohor it u
hanya sebagai tanda jaminan mutu. Tak apalah, itu toh biasa.
Penduduk Pasir meliputi 3.000 jiwa dan hampir separoh dari itu
hidup di rantau. Sedangkan 95, dari yang tetap tinggal di desa
hidup dari usaha industri kecil tersebut. Rata-rata rumah punya
mesin jahit, seluruhnya ditaksir beljumlah 320 buah. Sebagian
besar digerakkan dengan tenaga listerik. Pendapatan rata-rata
penduduk sebegitu jauh belum dicatat secara konkrit, naltlun
diperkirakanberkisar di atas Rp 100 ribu per kapita.
Boleh jadi taksiran itu tak jauh meleset menilik jangkauan
pemasaran hasil produksi Pasir mencapai seantero kawasan
Sumatera. Bahkan juga mengenal musim panen. Misalnya, bila di
Jambi sedang panen karet, maka suasana meriahjuga bagi larisnya
pakaian buatan Pasir. Begitu pula bila datang panen lada, kopi
atau cengkeh di Tanjung Karang dan Palembang. Pasaran pakaian
jadi dari Pasir ini juga memasuki daerah Aceh dan Riau.
Namun satu hal yang menarik adalah: ,usaha industri di Pasir ini
boleh dikatakan hampir tak ada urusan dengan jasa bank. Malahan
koperasi saja pun tak dikenal di Pasir. Mereka beroleh modal
dari pinjaman pengusaha menengah, khususnya kaum pemilik toko.
Para usahawan kecil di Pasir itu merasa tata-cara peminjaman itu
sebagai tidak mencekik. "Pokoknya saling tolong-menolong
adanya," ujar seorang pengusaha itu.
Hanya 45 Hari
"Desa kami termasuk di antara pusat kegiatan bila ada perayaan
di Agam," kata kepala desa pula. Pasir yang potensiil memang
sering jadi barang tontonan. Desa yang mungil itu--luasnya 90
Ha, sering dikunjungi para pembesar dari daerah dan pusat.
Bahkan Dirjen Perindustrian pernah ke mari menengok kegiatan
warga Pasir. Dan tentu saja banyak yang mengacungkan jempol
untuk kebolehan masyarakat Pasir membenahi desa itu.
Akan halnya pihak pemerintah daerah dan dinas perindustrian
memang ada memberikan pengarahan plus sejumlah bantuan. Di
kantor desa tercatat jenis bantuan itu: 8 mesin pipit, sebuah
mesin diesel berkekuatan 5 PK dan mesin untuk pres kerah kemeja.
Pasir sekarang merupakan sebuah potret dari desa swadaya di
Sumatera arat. Dengan jerih payah masyarakat sendiri dibangun
gedung sekolah, perkantoran desa dan gedung kegiatan sosial
lainnya, seperti BKIA, LSD dan sebagainya. Sedangkan areal
persawahan tak lebih dari 30 Ha, dengan hasil panen sekali
setahun sejumlah 158 ton padi. "Jumlah itu cuma mampu menghidupi
5 hari warga desa," ulas Kanun. Nah, untuk menjaga kestabilan
asap dapur itulah mereka kemudian lebih menaruh haapan pada
usaha konfeksi pakaian jadi itu.
Tak kurang dari Kepala Direktorat PMD drs. Azhari sendiri
mengakui Pasilsebagai satu di antara desa swadaya yang sudah
menonjol. Dilihat dari tujuall pengembangan pedesaan swadaya
menuju swasembada Pasir sudah memenuh syarat. Dalam rumus, tipe
desa itu dinilai sudah D3N2II E2Y2A2L3Pd3Gr3P3. Nah! Jelasnya
adalah berarti sudah lebih dari cukup. Dari segala segi tentu
saja.
Tapi sekalipun Pasir sudah dijuluki desa swadaya, toh kepala
desanya enggan menyebut desa itu sebagai telah mampu berdiri
sendiri. "Kami masih memerlukan bantuan banyak pihak, terutama
jawatan dan dinas," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini