APABILA Deliar Noer memahami problem DPR melalui berbagai komponen utama sistem kehidupannya, Soetjipto Wirosardjono melihat masalah itu dari keterkaitan pengutamaan pembangunan ketimbang politik terhadap sikap dan kemampuan para anggota dewan yang terhormat tersebut. Sekalipun tinjauan Deliar lebih kompleks dari Soetjipto, setidaknya mereka sepakat tentang perlunya perbaikan fungsi dan peran lembaga itu. Suatu pemahaman yang juga melandasi keterlibatan saya dalam diskusi ini. Hanya saja kontribusi ini beranjak dari perspektif yang berbeda. DPR sebagai lembaga politik berproses di bawah jaringan kekuatan elite, yang secara otonom melihat dirinya sebagai wakil berbagai kepentingan dan aspirasi yang hidup di dalam masyarakat. Apa disebut Soetjipto sebagai pilihan politik ditentukan oleh elite utama yang menjadi pusat-pusat jaringan tersebut. Dari situlah berpangkal daya terobos atau kekuatan DPR. Lebih dari itu, struktur elite utama tersebut menggariskan formula politik nasional, yang pada gilirannya melandasi batas kewenangan dewan. Berakhirnya sistem politik Demokrasi Parlementer di akhir 1950-an bukan saja menandai pergeseran pusat kehidupan politik dari DPR ke eksekutif yang dioperasikan oleh birokrasi, tetapi juga menunjukkan peralihan peran orpol kepada militer dan kaum birokrat. Bersama kaum teknokrat, yang sebagian besar adalah pegawai negeri, maka ABRI dan kaum birokrasi sipil telah menjadi pengendali kehidupan negara melalui proses politik yang berwatak kebirokrasian. Melalui operasi birokrasi negara, trio kekuatan birokrat itu merekayasa susunan kekuatan sosial politik formal yang terdiri dari PPP, PDI, dan Golkar. Karena mengandalkan Golkar sebagai penghubung formal dengan masyarakat luas sambil meraih legitimasi, maka birokrasi membina Golkar dengan saksama. Posisi pembina dan pimpinan Golkar diisi oleh unsur kekuatan birokrasi tersebut. Di samping membina dan mengawasi kedua organisasi politik lainnya, birokrasi pun sudah menjadi konsultan dan penyelesai problem bagi organisasi tersebut. Sudah barang tentu proses bina-awasi itu tidak saja menghasilkan penyelesaian, tetapi juga mendorong orpol menjadi "pembawa penyakit" politik, karena jalan yang ditempuh sepenuhnya tidak alami. Orpol dalam kondisi seperti itu adalah pemegang monopoli untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat luas kepada sistem politik melalui DPR. Kelompok dan organisasi mana pun tak diperkenankan menandingi peran orpol tersebut. Ormas, yang dijalurkan menurut jenisnya, hanya berpolitik lewat salah satu orpol. Benar Deliar Noer bahwa sistem pemilu dan pengangkatan menghasilkan komposisi anggota DPR yang berorientasi ke atas dan kurang kuat memikul tanggung jawab. Begitu pula dengan Soetjipto tatkala mensinyalir kuatnya sistem kader karbitan dan keanggotaan penugasan yang menyebabkan lembaga perwakilan kehilangan makna. Tapi perlu dikemukakan, semua gejala perwakilan politik tersebut adalah produk rekayasa oleh trio kekuatan birokrasi berdasarkan seluruh kepentingannya, yang menghayati DPR sebagai lembaga penyandang potensi kekuatan, dan melihat orpol menunggu kesempatan untuk memanfaatkannya. Justru dalam rangka sistem politik kebirokrasian, maka potensi tersebut dikukuhkan pada posisinya, sehingga tidak menjadi kekuatan nyata. Berbagai kasus DPR -- mulai dari penggunaan voting sampai kepada dalih tidak proporsional tidak sopan, liberal, tidak jelas, badut politik, belum diatur oleh UU. dan lainnya -- pada dasarnya adalah rangkaian upaya melemahkan atau mengalahkan argumentasi para pengguna hak-hak dewan seperti usul interpelasi NKK/BKK 1979, usul angket Pertamina 1980, dan berbagai usul pertanyaan DPR kepada pemerintah. Akibatnya, lembaga politik itu tidak berdaya melaksanakan tugasnya secara utuh. Untuk meletakkan landasan pikiran dan legalitas bagi strukturisasi kekuatan sosial politik dan DPR beserta prosesnya, maka dikembangkan penafsiran dan penjabaran UUD 1945 berdasarkan falsafah kenegaraan integralistis. Menelusuri ajaran falsafah di Indonesia yang diwakili oleh konsepsi gotong royong itu, DPR dan segenap unsurnya dipandang sebagai bagian yang utuh dari sistem politik. Karena itu, DPR berkewajiban menyesuaikan diri kepada pencapaian usaha tujuan sistem sebagaimana digariskan kekuatan politik utama. Dari situ diturunkanlah berbagai peraturan perundangan, yang melegalisasikan cetak biru susunan struktur kekuatan sosial politik dan DPR beserta prosesnya. Berbagai UU, seperti Keormasan. Parpol-Golkar, Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan MPR/DPR sampai kepada Tata Tertib DPR, adalah perangkat legal yang dimaksudkan. Maka, terjaminlah kehadiran ketiga orpol serta monopoli kegiatan politik formalnya. Lalu, sah untuk menolak pengawasan DPR kepada pemerintah, karena tidak atau belum diatur. Sasaran yang diraih dari penafsiran konstitusi dan produk perundangan tersebut ialah terciptanya batasan kewenangan DPR. Itulah sebabnya lembaga ini tak mempunyai landasan formal untuk menjangkau birokrasi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan dari kewenangan eksekutif. Terbebaslah kekuatan-kekuatan birokrasi dari pengarahan dan kontrol dewan yang dianggap mewakili masyarakat luas. Apabila kekuatan dan kewenangan DPR dewasa ini diserap birokrasi melalui rekayasa yang diselenggarakannya, maka kenyataan itu merupakan penjungkirbalikan realita kehidupan DPR sebelum dua dekade yang lalu, sewaktu lembaga itu berada di bawah gravitasi orpol. Sampai sekarang pengalaman hidup DPR telah berpindah dari pola ekstrem pengaruh partai ke pola ekstrem pengaruh birokrasi. Pola-pola itu masing-masing memberikan keuntungan dan kerugian yang bertolak belakang. Karena itu, tidak akan menguntungkan jika bersitegang mempertahankan salah satu. Kalau begitu, sudah waktunya mendapatkan peluang dan menggariskan strategi untuk menetapkan titik keseimbangan daya tarik kedua kutub itu terhadap kehidupan DPR. Jika kita percaya kepada pandangan bahwa rakyat adalah hulu dan sekaligus muara dari keseluruhan kegiatan organisasi ataupun lembaga politik, termasuk DPR, sudah sepantasnya konsepsi kekuasaan dan kemakmuran rakyat dijadikan sandaran bagi pencarian peluang dan strategi tersebut. Keseimbangan peran di antara orpol dan birokrasi ditata dengan menyepadankan posisi dan tanggung jawab kedua lembaga itu terhadap masyarakat luas. Begitu pula terhadap DPR, sebagai lembaga perwakilan rakyat. Untuk itu diperlukan program reformasi politik dan birokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini