Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dua Kutub Yang Berbeda

Leo Nikolyevich Tolstoy, pujangga Rusia yang kaya raya, merasa berdosa karena tetap memiliki tanah luas di antara rakyat yang miskin. Sophia istrinya menyesali sikap suaminya yang ingin membagikan tanahnya.

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOPHIA meninggalkan suaminya Leo Nikolyevich Tolstoy, dengan sepucuk revolver dan sebotol candu. Pernikahannya dengan pengarang besar itu sudah berlangsung hampir 50 tahun. Mereka sudah tua sebenarnya. Tapi antara mereka, ada sesuatu yang tak kunjung tersambung. Perpisahan itu kemudian ternyata urung. Tapi bisakah kehidupan rumah tangga dipulihkan? Dalam novel pendeknya, Sonata Kreutzer Leo Tolstoy mengecam perkawinan. Barangkali goresan hidupnya sendiri yang mendorong novel semacam itu -- meskipun anehnya Tolstoy tak hendak menceraikan Sophia. Pada suatu hari, ketika umurnya 67, seorang muridnya yang sedang menyabit rumput di sampingnya menyarankan agar pujangga yang hidup sebagai petani itu bercemi saja. Tolstoy meledak. Ia mengambil si murid dengan sabit, lalu menandakan ia mencintai isterinya -- yang di waktu remaja dulu konon merupakan gadis ceria yang diabadikannya sebagai Namsha dalam Perang dan Damai? Tak jelas. Tapi Tolstoy setidaknya pernah menunjukkan rasa cemburu yang hebat ketika ia tahu ada tumbuh percintaan plalonis antara Sophia yang sudah berumur 52 tahun itu dengan seorang musikus. "Aku tak bisa tidur semalaman tulis Tolstoy dalam catatan hannya bertanggal 26 Juli 1896. "Aku rasakan kesakitan di ulu hati." Namun si pencemburu hebat adalah tctap Sophia, dalam hidup perkawinan yang riuh-rendah itu. Waktu ia melihat suaminya begitu dekat dengan seorang murid yang sangat dipercayainya, Chertkov, ia menuduh Leo Nikolyevich berbuat serong sebagai homoseksual. Demikianlah pada suatu hari suaminya, bersama Sasha, puterinya, dan Chertkov, si murid itu, berembug diam-diam dalam kamar tertutup. Sophia mngintipnya diam-diam. Ia menanggalkan sepatunya supaya langkahnya tak terdengar, dan kemudian berteriak: "Berkomplot lagi kalian untuk melawanku ! " Sesungguhnya, ia betul. Tolstoy tengah merencanakan sebuah surat wasiat. Ia tidak akan mewariskan apa pun bagi keluarganya -- sebab ia akan menghibahkan seluruh penghasilan dari karyanya -untuk petani dan masyarakat umum. Sophia telah lama tak menyukai pendirian macam ini. la menyesali suaminya, karena dengan itu mengorbankan anak-bini bagi kepentingan belas kasih kepada orang lain. Ia juga tak menyenangi kehidupan dusun dan penduduknya --yang justru bagi Tolstoy suatu bentuk hidup yang sebenarnya. "Inilah pergulatan sampai mati antara kita berdua," tulis Tolstoy kepada isterinya tentang perbedaan sikap itu. Tapi pergulatan itu bukannya tanpa kompromi di sana-sini. Tolstoy misalnya tak jadi menyerahkan semua tanah kebangsawanannya kepada para petani. Sebagai gantinya, ia menyerahkan pengelolaan tanah milik itu kepada Sophia, sehingga ia tak berurusan lagi dengan hal itu. Pengarang itu, yang baru belajar naik sepeda pada usianya yang ke-67, memang nampaknya bukan orang yang "praktis". Ia seolah digerakkan oleh suatu kekuatan besar -- suatu compassion yang tak mudah dipikul orang-orang biasa. Ia dirundung rasa dosa karena ia tetap menjadi pemilik tanah luas di antara rakyat Rusia yang miskin la rindllkan hidup seperti pertapa. Ia ingin rapat dalam kemelaratan duniawi. Akhirnya, dalam usianya yang lanjut sekali, ia mengambil keputusan yang mirip Sidharta Gautama meninggalkan rumah. Hanya Sasha menyusul ikut. Tapi akhir sudah dekat. Di tepi jalan keretaapi, Tolstoy roboh. Ia meninggal di rumah kepala setasiun Asapovo. Sophia meninggal 9 tahun kemudian, di tahun 1919. Haruskah ia dipersalahkan? Mungkin ia juga harus dimaafkan Ia adalah lambang lain. Ia juga menderita -- seperh halnya setiap hasrat untuk memiliki sebagian dari dunia, yang tak selalu jelas batas akhirnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus