SOPHIA meninggalkan suaminya Leo Nikolyevich Tolstoy, dengan
sepucuk revolver dan sebotol candu. Pernikahannya dengan
pengarang besar itu sudah berlangsung hampir 50 tahun. Mereka
sudah tua sebenarnya. Tapi antara mereka, ada sesuatu yang tak
kunjung tersambung.
Perpisahan itu kemudian ternyata urung. Tapi bisakah kehidupan
rumah tangga dipulihkan?
Dalam novel pendeknya, Sonata Kreutzer Leo Tolstoy mengecam
perkawinan. Barangkali goresan hidupnya sendiri yang mendorong
novel semacam itu -- meskipun anehnya Tolstoy tak hendak
menceraikan Sophia. Pada suatu hari, ketika umurnya 67, seorang
muridnya yang sedang menyabit rumput di sampingnya menyarankan
agar pujangga yang hidup sebagai petani itu bercemi saja.
Tolstoy meledak. Ia mengambil si murid dengan sabit, lalu
menandakan ia mencintai isterinya -- yang di waktu remaja
dulu konon merupakan gadis ceria yang diabadikannya sebagai
Namsha dalam Perang dan Damai? Tak jelas. Tapi Tolstoy
setidaknya pernah menunjukkan rasa cemburu yang hebat ketika ia
tahu ada tumbuh percintaan plalonis antara Sophia yang sudah
berumur 52 tahun itu dengan seorang musikus. "Aku tak bisa tidur
semalaman tulis Tolstoy dalam catatan hannya bertanggal 26 Juli
1896. "Aku rasakan kesakitan di ulu hati."
Namun si pencemburu hebat adalah tctap Sophia, dalam hidup
perkawinan yang riuh-rendah itu. Waktu ia melihat suaminya
begitu dekat dengan seorang murid yang sangat dipercayainya,
Chertkov, ia menuduh Leo Nikolyevich berbuat serong sebagai
homoseksual.
Demikianlah pada suatu hari suaminya, bersama Sasha, puterinya,
dan Chertkov, si murid itu, berembug diam-diam dalam kamar
tertutup. Sophia mngintipnya diam-diam. Ia menanggalkan
sepatunya supaya langkahnya tak terdengar, dan kemudian
berteriak: "Berkomplot lagi kalian untuk melawanku ! "
Sesungguhnya, ia betul. Tolstoy tengah merencanakan sebuah surat
wasiat. Ia tidak akan mewariskan apa pun bagi keluarganya --
sebab ia akan menghibahkan seluruh penghasilan dari karyanya
-untuk petani dan masyarakat umum. Sophia telah lama tak
menyukai pendirian macam ini. la menyesali suaminya, karena
dengan itu mengorbankan anak-bini bagi kepentingan belas kasih
kepada orang lain. Ia juga tak menyenangi kehidupan dusun dan
penduduknya --yang justru bagi Tolstoy suatu bentuk hidup yang
sebenarnya.
"Inilah pergulatan sampai mati antara kita berdua," tulis
Tolstoy kepada isterinya tentang perbedaan sikap itu. Tapi
pergulatan itu bukannya tanpa kompromi di sana-sini. Tolstoy
misalnya tak jadi menyerahkan semua tanah kebangsawanannya
kepada para petani. Sebagai gantinya, ia menyerahkan pengelolaan
tanah milik itu kepada Sophia, sehingga ia tak berurusan lagi
dengan hal itu.
Pengarang itu, yang baru belajar naik sepeda pada usianya yang
ke-67, memang nampaknya bukan orang yang "praktis". Ia seolah
digerakkan oleh suatu kekuatan besar -- suatu compassion yang
tak mudah dipikul orang-orang biasa. Ia dirundung rasa dosa
karena ia tetap menjadi pemilik tanah luas di antara rakyat
Rusia yang miskin la rindllkan hidup seperti pertapa. Ia ingin
rapat dalam kemelaratan duniawi.
Akhirnya, dalam usianya yang lanjut sekali, ia mengambil
keputusan yang mirip Sidharta Gautama meninggalkan rumah. Hanya
Sasha menyusul ikut. Tapi akhir sudah dekat. Di tepi jalan
keretaapi, Tolstoy roboh. Ia meninggal di rumah kepala setasiun
Asapovo.
Sophia meninggal 9 tahun kemudian, di tahun 1919. Haruskah ia
dipersalahkan? Mungkin ia juga harus dimaafkan Ia adalah lambang
lain. Ia juga menderita -- seperh halnya setiap hasrat untuk
memiliki sebagian dari dunia, yang tak selalu jelas batas
akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini