Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Joko Widodo meminta penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua.
Kejaksaan Agung tidak mengandalkan bukti Komnas HAM.
Kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 belum tersentuh.
Kebijakan terbaru pemerintah dalam menyelesaikan tunggakan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Papua tampaknya tak bakal efektif. Pasalnya, Presiden Joko Widodo hanya memerintahkan Kejaksaan Agung meneruskan penyelidikan Komisi Nasional HAM dalam kasus Paniai. Dua kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya di Papua, yakni kasus Wamena dan Wasior, yang berkas penyelidikannya juga sudah dilengkapi Komnas HAM, malah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus pelanggaran HAM berat di Paniai terjadi pada Desember 2014. Penembakan warga sipil oleh aparat keamanan itu terjadi di depan Polsek dan Koramil Paniai, menyusul demonstrasi warga memprotes aksi tentara menganiaya sejumlah pemuda. Sedikitnya lima orang tewas dan 13 orang terluka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terjadi dua bulan setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, kasus Paniai memang mendapat perhatian khusus Istana. Segera setelah peristiwa penembakan itu terjadi, di hadapan relawan pendukungnya di Papua, Jokowi berjanji akan mendukung penegakan hukum dalam kasus ini. Namun, baru pada Februari 2020, Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan dan menyatakan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Aksi tebang pilih penyelesaian kasus pelanggaran HAM bisa merugikan niat pemerintah merebut hati dan kepercayaan orang Papua. Para korban di sana tentu tak peduli apakah kasus mereka terjadi setelah atau sebelum Presiden Joko Widodo terpilih. Keputusan pemerintah mendahulukan kasus Paniai ketimbang banyak kasus pelanggaran HAM lain di Papua bisa diartikan sebagai sikap setengah hati pemerintah.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung berdalih kasus Wasior dan Wamena tak bisa langsung disidik karena alat bukti yang diajukan Komnas HAM belum cukup. Jelas ini alasan yang mengada-ada. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Kejaksaan Agung bisa dengan inisiatif sendiri membentuk tim penyidik untuk melengkapi bukti.
Faktanya, untuk kasus Paniai pun, Kejaksaan Agung juga tak sepenuhnya mengandalkan bukti dari Komnas HAM. Mereka membentuk tim penyidik khusus untuk Paniai. Tidak tanggung-tanggung, tim penyidik itu terdiri atas 22 jaksa senior dan dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Keengganan Kejaksaan Agung serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan melakukan hal serupa untuk kasus Wasior dan Wamena jelas menimbulkan banyak tanda tanya di Papua.
Terlebih pemerintah malah melempar bola panas ke Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah meminta DPR yang memutuskan kasus pelanggaran HAM berat Papua mana lagi, selain Paniai, yang perlu ditindaklanjuti. Permintaan semacam itu jelas melampaui kewenangan DPR. Sesuai dengan undang-undang, kewenangan DPR adalah mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah mendapatkan hasil penyidikan yang lengkap dari Kejaksaan. Ketika bukti hukum yang diperlukan masih kurang, DPR jelas tak punya kapasitas untuk melakukan tugas investigasi tambahan. Itu seharusnya menjadi tugas Kejaksaan Agung.
Dibandingkan dengan kasus Paniai, usia kasus Wasior dan Wamena memang lebih lama. Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001, ketika aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Dalam peristiwa itu tercatat 4 orang tewas, 1 orang mengalami kekerasan seksual, 5 orang hilang, dan 39 orang disiksa. Adapun peristiwa Wamena terjadi pada 4 April 2003, ketika aparat keamanan melakukan penyisiran di 25 kampung. Setelah operasi itu, dilaporkan sembilan orang tewas dan 38 orang mengalami luka berat.
Meski peristiwa itu sudah terjadi dua dekade lalu, pemerintah tidak punya alasan untuk tak segera menyelesaikannya. Apalagi pemerintah sudah berjanji menuntaskan penegakan hukum dalam kasus Wamena dan Wasior. Komitmen itu disampaikan pemerintah dalam sidang putaran ketiga Universal Periodic Review (UPR) PBB di Jenewa pada 3 Mei 2017. Faktanya, hingga saat ini, setahun menjelang sidang putaran keempat UPR 2022, janji itu belum dilaksanakan.
Salah satu langkah penting menyelesaikan kemarahan dan kekecewaan warga Papua adalah menuntaskan semua dugaan pelanggaran HAM berat di sana. Jika kebijakan pemerintah memberi kesan setengah hati, luka bersama orang Papua tak bakal kunjung sembuh. Jalan menuju perdamaian di Papua pun bakal lebih sulit tercapai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo