Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBENTUK tim percepatan pengembangan vaksin tapi abai pada pengetesan massal dan pelacakan pasien Covid-19 merupakan cerminan sikap putus asa. Sejumlah negara memang tengah berlomba menemukan ramuan cespleng untuk membuat tubuh kebal terhadap virus. Tapi, bahkan jika vaksin ditemukan, tiga prinsip utama dalam mengatasi pagebluk—pengetesan, pelacakan, dan pengobatan—tak boleh diabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga saat ini, Indonesia belum memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam melakukan pengetesan minimal seribu orang per satu juta penduduk per minggu. Kecuali Jakarta, sejumlah daerah terseok-seok mengejar angka itu. Kebanyakan kepala daerah tak peduli bahkan terkesan menikmati minimnya angka penderita Covid-19 akibat sedikitnya tes. Padahal, melalui pengetesan dan pelacakan yang tepat, Indonesia akan mampu memetakan virus corona—hal yang sangat penting dalam pembuatan vaksin dan obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah banyak epidemiolog mengingatkan, vaksin tidak akan tersedia dalam waktu dekat. Uji coba membutuhkan waktu yang tak sedikit. AstraZeneca PLC, laboratorium pengembangan vaksin di Amerika Serikat, bahkan menunda uji coba fase ketiga lantaran seorang relawan mendapat efek samping. Saat ini, AstraZeneca merupakan laboratorium terdepan dalam mengembangkan vaksin Covid-19.
Karena itu, sungguh menggelikan ketika Presiden Joko Widodo mengatakan vaksin Covid-19 akan tersedia di Indonesia pada awal 2021. Presiden hendaknya jujur bahwa yang sedang diupayakan pemerintah saat ini adalah mendatangkan vaksin buatan Sinovac Cina—jika nanti vaksin itu benar-benar ditemukan dan disetujui WHO.
Alih-alih berbohong, pemerintah hendaknya menjelaskan langkah yang akan diambil jika nanti vaksin benar-benar datang. Menyuntik 70 persen dari 260 juta penduduk—masing-masing dengan dua suntikan pada waktu yang berbeda—tentu bukan perkara gampang. Siapa yang didahulukan, bagaimana mengidentifikasi anggota masyarakat yang diprioritaskan, bagaimana mendistribusikan vaksin, dan siapa pelaksana di lapangan merupakan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab jauh-jauh hari.
Tanpa persiapan matang, vaksin akan menjadi permainan bisnis para pedagang: yang bisa membayar tinggi akan didahulukan dalam program vaksinasi. Jangan lupakan juga fakta bahwa vaksin harus terus dimodifikasi lantaran virus diperkirakan terus bersalin rupa dan melahirkan varian-varian baru. Dengan kata lain, perang melawan Covid-19 adalah perang jangka panjang yang tidak serta-merta selesai setelah vaksin ditemukan.
Perang panjang itu membutuhkan daya juang dan kepemimpinan yang kuat. Strategi komprehensif melawan virus harus dijalankan lewat organisasi yang solid dan tak tambal sulam. Organisasi ad hoc yang bolak-balik dibentuk Presiden diyakini sulit efektif karena para pejabat terjerembap ke dalam persaingan politik dan ego sektoral.
Tengoklah apa yang terjadi. Mula-mula Presiden membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Dipimpin Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, gugus tugas ini diharapkan memberikan solusi cemerlang menghadapi pagebluk. Kenyataannya, gugus tugas itu sulit bergerak karena tidak memiliki perangkat eksekusi—sesuatu yang berada di bawah kendali Kementerian Kesehatan.
Lalu Presiden membentuk dua tim lagi: Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional serta Tim Nasional Percepatan Pengembangan Vaksin Covid-19. Semuanya terperangkap dalam persoalan yang sama: ego sektoral dan kepentingan politik segelintir orang. Tanpa perubahan visi dan kepemimpinan yang kuat, Indonesia tidak akan mampu memenangi perang melawan pagebluk.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo