Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Salah Arah Wisata Komodo

Pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo justru meminggirkan masyarakat lokal. Habitat asli kadal raksasa itu terancam rusak.

2 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH sepertinya tak jera-jera mengembangkan proyek strategis yang indah di atas kertas tapi tak memberi manfaat untuk penduduk lokal dan merusak lingkungan. Kritik dan penolakan selama ini dianggap angin lalu. Rencana pemerintah mengembangkan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan wisata premium, misalnya, terus saja berjalan meski ditentang warga setempat sejak dua tahun lewat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu tidak ada yang keliru dari ikhtiar memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi. Tapi suara warga lokal, terutama masyarakat adat, harus didengar. Kepentingan konservasi alam juga tak boleh menjadi tumbalnya. Sayangnya, itulah yang sedang terjadi dalam proyek pembangunan destinasi super-prioritas Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sejumlah temuan di lapangan menunjukkan kedua aspek penting tersebut diabaikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak lima tahun lalu, pemerintah memberikan konsesi ratusan hektare untuk pengelolaan wisata berbasis alam (ecotourism) di sejumlah pulau di area Taman Nasional Komodo kepada beberapa perusahaan. Tiga di antaranya adalah PT Komodo Wildlife Ecotourism, PT Segara Komodo Lestari, dan PT Synergindo Niagatama. Sejumlah dokumen dan kesaksian menunjukkan kejanggalan dalam proses pemberian izin kepada mereka.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, misalnya, sengaja mengubah desain tapak Pulau Tatawa yang menjadi konsesi PT Synergindo Niagatama. Semula, ruang usaha yang diperbolehkan di pulau itu hanya seluas 6,490 hektare. Kini pemerintah menyetujui penambahan area komersial menjadi 17,497 hektare. Sedangkan zonasi untuk dua pulau lain yang kabarnya diincar untuk pengembangan wisata, Pulau Muang dan Pulau Bero, juga terancam diubah. Dua pulau yang kini berada di zona inti taman nasional itu konon akan digeser ke zona pemanfaatan agar bisa dikembangkan sebagai resor premium.

Perubahan desain tapak dan zonasi taman nasional tentu berpotensi merusak keseimbangan ekosistem di sana. Belum lagi pembangunan vila dan resor serta pengadaan sumur bor untuk menyuplai air bersih bagi fasilitas tersebut. Ada ribuan komodo, burung liar, dan satwa langka lain yang hidupnya bisa terancam jika perubahan dilakukan sewenang-wenang. Apa artinya pembangunan wisata premium berbasis ecotourism jika pertimbangan kelestarian alam justru dipinggirkan?

Warga lokal juga terancam menjadi korban. Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat kabarnya sudah memerintahkan ribuan warganya yang tinggal di Pulau Komodo dan Pulau Rinca pindah tempat tinggal. Kementerian Lingkungan Hidup memang membantah kabar ini dan mengaku hanya akan merelokasi tempat usaha warga. Masalahnya, mereka tak punya pilihan selain pindah jika mata pencariannya digusur dari sana. Konsep pengembangan wisata yang tak mengangkat taraf hidup penduduk setempat tentu bertentangan dengan niat awal pemerintah menumbuhkan perekonomian lokal.

Semua salah kaprah soal pembangunan wisata di Taman Nasional Komodo ini berpangkal dari pandangan keliru pemerintah soal konservasi alam. Ada kesan pemerintah menganggap kelestarian lingkungan sebagai faktor kesekian yang tak boleh mengganggu prioritas utama menarik devisa dan pertumbuhan ekonomi. Ini jelas konsep “pembangunanisme” (developmentalism) yang usang dan ketinggalan zaman.

Kapitalisme di era milenial ini tak lagi bebas nilai, apalagi menghalalkan segala cara. Tanpa perubahan perspektif yang radikal, strategi pembangunan pemerintah itu bisa berantakan. Wisatawan kelas atas mana yang mau menghabiskan fulus di tempat wisata yang dicap merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan satwa langka? Kampanye masif organisasi pencinta lingkungan berskala global akan merusak kredibilitas Indonesia dan membuat turis berkantong tebal justru enggan mendekat.

Belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk berubah haluan di Taman Nasional Komodo. Toh, pembangunan sarana wisata premium di sana baru berjalan sebagian. Sebagai langkah awal, pemerintah harus mengembalikan konsep pengembangan Labuan Bajo sebagai wisata berbasis alam yang sebenarnya. Ekoturisme yang sejati tak mengubah alam sama sekali dan menempatkan masyarakat lokal sebagai bagian tak terpisahkan. Keberhasilan konsep ini justru bisa menjadi kebanggaan Indonesia ketika konferensi tingkat tinggi ASEAN dan G-20 digelar di sana tiga tahun lagi.

Indonesia pernah menjadi pionir konsep pembangunan berkelanjutan di bawah komando Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. Ketika ancaman krisis iklim begitu nyata dan mendesak seperti sekarang, kita perlu kembali pada kearifan itu. Kegagalan menyelamatkan alam akan punya konsekuensi panjang untuk masa depan anak-anak kita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus