Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASUKNYA tokoh-tokoh moderat dalam kepengurusan baru Majelis Ulama Indonesia memberi harapan kepada masa depan keberagaman di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah-wajah lama seperti ulama Persaudaraan Alumni 212 tidak tercatat dalam kepengurusan MUI yang baru. Persaudaraan Alumni merupakan kumpulan tokoh yang menggerakkan demonstrasi menentang mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang mereka tuduh menistakan Islam. Din Syamsuddin, tokoh yang tak populer di kalangan muslim inklusif, juga tak masuk jajaran pengurus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, Musyawarah Nasional MUI pada akhir November 2020 memilih Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI 2020-2025. Miftachul sebelumnya Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama. Ia menggantikan Ketua Umum Ma’ruf Amin, yang tahun lalu terpilih sebagai wakil presiden. Dalam sambutannya sebagai ketua baru, Miftachul mengajak para pengurus berdakwah dengan santun—mengajak, bukan mengejek; merangkul, bukan memukul; mendidik, bukan membidik; membina, bukan menghina; membela, bukan mencela.
Di bawah Miftachul Akhyar, MUI diharapkan dapat menjadi organisasi yang mengkampanyekan Islam sebagai agama terbuka. Miftachul hendaknya tak ragu mencabut sejumlah fatwa MUI yang bertentangan dengan prinsip keberagaman. MUI, misalnya, pernah mengeluarkan 14 fatwa aliran sesat, termasuk terhadap pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. MUI pulalah yang pada 2017 menetapkan Basuki sebagai penista agama—pitawar yang membawa kisruh politik berkepanjangan di Tanah Air.
Dilihat dari sejarahnya, MUI merupakan bagian dari pergulatan politik Indonesia. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin-lah yang pada 2017 mengeluarkan fatwa sesat kepada Basuki. Langkah itu berhasil “menggertak” pemerintah Joko Widodo untuk akhirnya menjebloskan Basuki ke penjara. Sebaliknya, Ma’ruf dipilih menjadi wakil presiden. Tiga tahun kemudian, dalam kata sambutannya dalam musyawarah nasional, Ma’ruf meminta MUI menjadi teman atau shadiq-ul-hukumah pemerintah Jokowi.
Dibentuk pada 26 Juli 1975, Majelis Ulama Indonesia merupakan lembaga yang dibuat Orde Baru untuk mengendalikan umat Islam. Kooptasi terhadap ulama itu dilakukan bersamaan dengan langkah menyederhanakan partai politik, menekuk aktivitas kemahasiswaan, dan mengerdilkan organisasi sosial kemasyarakatan. Langkah itu terbukti efektif. “Pembangunanisme” yang dijalankan Soeharto terbukti melaju tanpa hambatan berarti.
Pengurus baru MUI hendaknya menyadari beban sejarah itu. Kemandirian MUI harus diikhtiarkan, betapapun mereka bergantung pada pemerintah, termasuk dalam hal anggaran organisasi. Memperjuangkan Islam inklusif hendaknya dilakukan tidak sekadar untuk menyenangkan pemerintah, yang membutuhkan prinsip itu sebagai tameng buat melawan populisme agama. Pluralisme harus dibela karena, lewat keberagaman, perbedaan dihargai dan kemanusiaan dimuliakan—dua konsep penting dalam Islam. Pluralisme juga dibutuhkan untuk memelihara keutuhan Republik.
Pengurus MUI hendaknya bersedia melawan takdirnya sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Harapan agar MUI menjadi sahabat atau shadiq-ul-hukumah hendaknya dipahami sebagai ajakan untuk meluruskan pemerintah jika mereka melenceng. Dengan kata lain, anjuran tersebut seyogianya tidak menjadikan MUI membebek penguasa semata, apalagi dimanfaatkan pengurus untuk mencari peluang politik—sesuatu yang sayangnya dulu dilakukan Ma’ruf Amin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo