Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATURAN tentang perdagangan karbon yang lama terbengkalai sebaiknya disusun dengan prinsip keadilan. Di tengah kerentanan lingkungan akibat Undang-Undang Cipta Kerja, pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon membuka kembali peluang Indonesia turut dalam percaturan mitigasi pemanasan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis iklim menjadi masalah paling serius dunia hari ini. Tanpa mitigasi bersama, kenaikan suhu bumi akan melampaui 1,50 derajat Celsius pada 2050. Indonesia sudah berjanji dalam Konferensi Iklim di Paris pada 2015 akan mengurangi emisi sebanyak 834 juta ton setara CO2 dengan usaha sendiri dan 1,1 miliar ton dengan bantuan internasional pada 2030. Salah satu cara mencapai target itu melalui perdagangan karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdagangan karbon pada dasarnya penghargaan kepada mereka yang menyediakan penyerap emisi di bumi—melakukan perlindungan hutan, mencegah degradasi lahan, mendaur ulang sampah, mengubah energi kotor—oleh para produsen polusi. Dengan pasar karbon, konservasi dan restorasi bukan lagi pos biaya, melainkan komoditas yang memiliki nilai ekonomi.
Dengan skema seperti itu, aturan nilai ekonomi karbon pertama-tama harus adil kepada para pemainnya. Dalam draf aturan itu, pemerintah menegaskan bahwa karbon Indonesia menjadi hak negara sehingga negara menjadi pembeli pertama untuk memenuhi target penurunan emisi 2030.
Kewajiban itu hendaknya tak menutup pintu bagi para pemain karbon menjualnya di pasar sukarela yang harganya ditentukan melalui mekanisme pasar. Negosiasi harga yang lebih tinggi, di luar harga yang dipatok pemerintah, akan menjadi insentif bagi usaha-usaha konservasi.
Jika merujuk pada hibah Perserikatan Bangsa-Bangsa atau pemerintah Norwegia untuk usaha mencegah deforestasi dan degradasi lahan pada 2016-2017 pada Agustus 2020, harga karbon Indonesia sebesar US$ 5 per ton. Di bursa karbon internasional, harga ditentukan oleh permintaan dan ketersediaan sehingga nilainya pernah tembus US$ 30 per ton. Dengan kelenturan skema, fluktuasi harga akan menggairahkan pasar karbon kita.
Di Indonesia, praktik jual-beli karbon di bursa internasional sudah berjalan sejak 2015. Pengelola hutan desa di Bujang Raba, Jambi, berhasil menjual usaha konservasi dengan harga US$ 6 per ton. Atau para pemegang konsesi izin restorasi yang telah menjual karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dunia. Dengan membebaskan mereka memilih pembeli, pasar karbon Indonesia akan menjadi likuid.
Jika cara ini dikhawatirkan tak bisa mencapai target penurunan emisi 2030, pemerintah bisa membuat kuota bagi para pemain karbon, guna menentukan proporsi untuk negara dan pembeli lain. Skema ini memerlukan data valid dalam pengukuran emisi dari tiap sektor untuk menghindari klaim perhitungan ganda. Standar perhitungan yang solid dalam Sistem Registri Nasional akan menjadi pertaruhan kuota karbon yang adil.
Pemaksaan kepada para produsen emisi agar secara gradual menurunkannya dari waktu ke waktu. Caranya dengan mendorong mereka beralih ke teknologi ramah lingkungan. Tanpa kewajiban menurunkan emisi, perdagangan karbon hanya menjadi dalih para pencemar udara terus memproduksi emisi karena merasa telah mencuci dosa dengan membeli penyerapnya kepada pihak lain.
Mencegah pemanasan global harus menjadi tema utama dalam setiap kebijakan pemerintah. Perdagangan emisi dan pembangunan rendah karbon akan mengimbangi industrialisasi yang mengancam lingkungan akibat pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo