Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Sape, Nusa Tenggara Barat, kerap menebang pohon lontar dan berburu rusa.
Muncul pasar gelap daging rusa, yang menjadi makanan utama komodo.
Anjing pemburu yang ditinggalkan para pemburu di dalam kawasan taman nasional menjadi ancaman selanjutnya.
DIREKTORAT Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyita 300 kilogram daging rusa yang diduga diburu secara ilegal di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Daging-daging tersebut bakal dikirim ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Adapun 300 kilogram daging rusa tersebut diperkirakan berasal dari 30 rusa yang menjadi pakan komodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan majalah Tempo berjudul “Perjuangan untuk Para Biawak”, edisi 25 Desember 1982, ada cerita kerja keras petugas di Sub-Balai Kawasan Pelestarian Alam Komodo dalam menjaga pohon lontar dan rusa sebagai pakan utama ora, nama lokal komodo. Permasalahannya, rusa juga merupakan sumber pangan utama bagi penduduk setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman datang dari Sape, sebuah kecamatan di Nusa Tenggara Barat. Penduduk Sape banyak mengincar pohon lontar, yang menjadi tumbuhan khas sabana Pulau Komodo. Jarak Sape ke Komodo kira-kira 40 mil laut yang dapat ditempuh dalam waktu 10-12 jam dengan berlayar menggunakan sampan. “Mereka terbiasa sekali dalam sebulan menebang batang lontar di pulau di kawasan taman nasional,” ujar Nur Abady Abbas, Kepala Sub-Balai Kawasan Pelestarian Alam Komodo.
Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada 1980 bersama Pulau Rinca (19.625 hektare), Pulau Padar (2.017 hektare), dan Pulau Komodo (33.937 hektare). Ketiga pulau ini diberi nama Taman Nasional Komodo dengan luas total 75 ribu hektare, termasuk kawasan perairannya. Dengan penetapan sebagai kawasan taman nasional, kata Nur Abady, otomatis seluruh habitat flora dan fauna di sana wajib dilindungi, terutama Veranus komodoensis, kadal raksasa yang diakui dalam perjanjian internasional sebagai spesies yang nyaris punah.
Penduduk Sape seolah-olah abai terhadap perubahan status taman nasional tersebut. Mereka memang jarang mengincar komodo, tapi menebang pohon lontar dan berburu rusa, yang bakal mengancam kehidupan para ora. Pada Mei tahun tersebut, 1982, sebanyak 54 penduduk Sape tertangkap tangan tengah menebang lontar di dalam taman nasional. Sebagai hukuman, mereka wajib lapor ke Kepolisian Sektor Sape, NTB.
Batang pohon lontar memiliki nilai yang cukup tinggi di Sape. Sebatang pohon lontar laku dijual hingga Rp 10 ribu (sekitar Rp 300 ribu saat ini). Batang lontar biasanya digunakan penduduk Sape untuk membangun rumah panggung atau jembatan. Sementara itu, daunnya kerap dijadikan obat alternatif untuk mengobati penyakit kulit dan permasalahan mulut.
Menurut Thomas Tagung, petugas balai pelestarian, penduduk Sape tak hanya menebang lontar. Mereka juga kerap membakar rerumputan di sabana Komodo untuk memancing rusa agar gampang ditombak atau dijerat. “Rusa itu bisa jadi bekal karena para penebang rata-rata tak membawa bekal yang cukup dari rumah,” ucap Thomas. Mereka juga kerap membawa rusa buruan untuk dijadikan bekal dalam perjalanan pulang ke Sape.
Permasalahan baru muncul. Kegemaran orang Sape memakan daging rusa dari Pulau Komodo membuat jumlah permintaannya melonjak hingga muncul pasar gelap daging rusa. Harganya pun terbilang lebih mahal ketimbang daging sapi atau babi, kata Thomas. Jadilah rusa diburu habis-habisan untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini menyebabkan konflik antara petugas dan orang Sape yang menyeberang tak terhindarkan.
Ancaman dari perburuan liar lain adalah perkembangbiakan anjing pemburu yang kerap ditelantarkan orang Sape di dalam kawasan taman nasional. Kepala pos kawasan pelestarian alam, Din Hendrikus, mengatakan populasi anjing pemburu telah meresahkan. “Bukan mustahil ora bakal kehabisan bahan makanan akibat intervensi anjing,” tutur Din.
Jika menilik sejarahnya, sebelum ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, kawasan Pulau Padar dan Rinca menjadi cagar alam sejak 1938, menyusul Pulau Komodo pada 1965. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah berencana menjadikannya Cagar Biosfer—tempat penduduk hidup berdampingan dengan satwa dan habitatnya. Gagasan ini mengemuka dalam Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali, yang berlangsung pada 11-22 Oktober 1982. Tapi pemerintah gagap saat ditanyai ihwal realisasinya karena ide itu baru saja dicetuskan.
https://majalah.tempo.co/edisi/1727/1982-12-25
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo