Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UPAYA memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode bisa dikatakan busuk sejak dalam pikiran. Segelintir politikus Dewan Perwakilan Rakyat belakangan ini bermanuver menjajakan usul yang semula didengungkan para petualang politik di luar parlemen itu. Mereka melupakan esensi pembatasan, yang merupakan hasil perjuangan reformasi 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usul tersebut bakal merombak Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi hasil amendemen tegas mengatur masa jabatan presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode. Artinya, konstitusi telah memagari Presiden Indonesia hanya bisa menjabat paling lama dua periode berturut-turut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatasan masa jabatan presiden bukan muncul tanpa musabab. Hal itu merupakan koreksi atas kesalahan di masa lalu, ketika masa jabatan presiden tidak dibatasi. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto bisa berkuasa secara otoriter dan korup selama 32 tahun. Soeharto baru jatuh setelah gagal mengatasi krisis ekonomi dan mendapat desakan gerakan reformasi pada 1998.
Semua bisa berspekulasi tentang kepentingan di balik pendengung kampanye untuk memperpanjang masa jabatan presiden itu. Bisa jadi, seperti pernyataan Presiden Joko Widodo, mereka ingin mencari muka atau menjerumuskannya. Bisa juga mereka sedang bermanuver untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala privilesenya. Karena tak punya calon baru yang laku dijual, mereka berpaling ke stok lama.
Apa pun motifnya, mereka yang mendorong perpanjangan masa jabatan presiden jelas mengkhianati perjuangan reformasi. Mereka membuka peluang kembalinya benih otoritarianisme dengan menyalahgunakan ruang demokrasi. Tanggapan Jokowi bahwa dia “tidak berniat” dan “tidak berminat” menjadi presiden untuk periode ketiga tak meredakan spekulasi. Apalagi orang masih ingat, ketika masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pun mengatakan tidak pernah berpikir untuk menjadi presiden.
Lebih dari itu, perpanjangan masa jabatan presiden berada di luar domain wewenang presiden. Itu wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, melalui amendemen konstitusi. Amendemen bisa berjalan atas usul sepertiga anggota MPR, dalam sidang yang dihadiri dua pertiga anggota, dan disetujui lebih dari separuh anggota yang hadir.
Amendemen konstitusi seharusnya tak diobral. Amendemen konstitusi sejatinya merupakan pintu darurat untuk merespons situasi politik yang gawat, seperti peralihan kekuasaan yang tidak normal. Namun dengan konstelasi politik saat ini, ketika koalisi pemerintah menguasai sekitar 74 persen kursi DPR, pemaksaan amendemen konstitusi bukan hal mustahil. Mereka tinggal menggalang sebagian anggota Dewan Perwakilan Daerah untuk memuluskan rencana konyol itu.
Perlu juga diwaspadai, kesepakatan politikus di Senayan makin jarang mencerminkan suara rakyat yang memilihnya. Masih segar dalam ingatan bagaimana anggota DPR bersekongkol merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. DPR memaksakan revisi undang-undang untuk melumpuhkan KPK, meski mayoritas rakyat—yang diwakili pengunjuk rasa dan responden sejumlah survei—menolak revisi tersebut.
Agar manuver tikus-tikus politik itu tidak menggelinding ke arah amendemen konstitusi, semua orang yang masih berpikiran waras harus menolak keras ide mereka. Kita belum tahu apa yang bakal terjadi bila masa jabatan presiden diperpanjang melebihi dua periode. Yang jelas, manuver memalukan tersebut mengkonfirmasi kebobrokan etika politik para koboi Senayan itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo