Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wacana presiden tiga periode kembali menghangat seiring munculnya organisasi Jokpro yang mendorong Jokowi-Prabowo Subianto untuk maju dalam Pilpres 2024
Berbeda dengan sekarang, di era Soeharto lahir berbagai organisasi pro demokrasi yang mengecema pemerintahan otoriter
Setelah Forum Demokrasi dan Liga Pemulihan Demokrasi, muncul Persatuan Rakyat Demokratis yang salah satunya meminta agar jabatan presiden dibatasi maksimal 2 periode
DI tengah riuh isu pemilihan presiden, muncul komunitas bernama Jokpro. Organisasi itu mendorong Presiden Joko Widodo kembali maju menjadi calon presiden dalam pemilihan 2024, juga mengusung Prabowo Subianto sebagai wakilnya. “Kami percaya pasangan Jokowi-Prabowo bisa mencegah timbulnya polarisasi,” kata Sekretaris Jenderal Jokpro Timothy Ivan Triyono, Rabu, 9 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan presiden tiga periode mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk Presiden Jokowi sendiri. “Saya tegaskan, tidak ada niat dan minat menjadi presiden tiga periode,” ujat Jokowi, Maret lalu. Adapun Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menilai wacana presiden tiga periode tidak menghargai kaum reformis yang memperjuangkan demokrasi pada 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini berbeda dengan pada era Presiden Soeharto, ketika masyarakat sipil justru ramai-ramai mendirikan organisasi prodemokrasi mengecam pemerintahan otoriter, seperti tertuang dalam artikel majalah Tempo edisi 14 Mei 1994 berjudul “Telah Lahir Embrio Itu”. Berikut ini artikelnya.
Berbagai kelompok dan organisasi lahir beberapa tahun ini. Dan hampir semua senang membawa nama demokrasi atau semacamnya. Tiga tahun lalu, muncul Forum Demokrasi dipimpin Abdurrahman Wahid, lantas diikuti pembentukan Liga Pemulihan Demokrasi oleh H.J. Princen.
Dan Senin pekan lalu, dengan penuh semangat, sekitar 70 pemuda memproklamasikan berdirinya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) di ruang pertemuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta. Bentuk organisasi ini belum jelas. “Bukan orpol (organisasi politik), tapi mungkin embrionya,” kata Tumpak Sitorus, 24 tahun, Sekretaris Jenderal PRD, yang juga mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta.
Ceritanya, akhir April lalu, sekitar 150 pemuda, mahasiswa, aktivis lembaga swadaya masyarakat, pekerja sosial, dan sebagainya datang dari Jakarta, Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Mereka merasa tak puas menengok praktik demokrasi saat ini dan gambarannya di masa datang. Dua hari mereka menggelar rapat di Jakarta. Hasilnya: deklarasi pembentukan PRD itu.
Mereka akan mengadakan rapat kerja nasional, Juni nanti, untuk membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta program kerja PRD. Isi deklarasi itu cukup garang. “Kita ingin ruang demokrasi yang lebih luas,” ucap Ketua Umum Sugeng Bahagijo, aktivis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Praktik demokrasi yang ada, dalam pandangan PRD, sudah menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. “Karena itu, kami tak bisa menunggu sampai keran keterbukaan diputar,” Tumpak menambahkan.
Itu sebabnya PRD meminta hak berserikat, mendirikan organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik, partai politik turun ke desa, kebebasan pers, menggelar rapat, mogok, serta demonstrasi dipulihkan. Mereka juga menuntut masa jabatan presiden dua kali saja, dan pemilihan umum menggunakan sistem distrik.
PRD juga menuntut peninjauan kembali dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam soal ekonomi, PRD ingin semua bentuk monopoli dan persekongkolan antara penguasa dan pengusaha dihapuskan. Aset ekonomi mesti didistribusikan kepada koperasi dan pedagang kecil atau menengah.
Sekolah harus bebas biaya dan kebebasan berkreasi dalam seni dijamin. Semua tuntutan itu mereka sebut hak politik rakyat yang harus dipulihkan dengan cara konstitusional. "Kami tak setuju perubahan yang anarkistis karena biayanya mahal," ucap Tumpak.
Tokoh Lembaga Bantuan Hukum, Adnan Buyung Nasution, menyambut gembira PRD. “Sudah lama saya tunggu-tunggu organisasi kerakyatan yang berani memperjuangkan aspirasi rakyat, setelah 30 tahun ini terkungkung dengan berbagai kendala,” tutur Buyung dalam sambutannya.
Dalam waktu dekat, PRD akan menemui Menteri Dalam Negeri. Namun sambutan sudah bisa ditebak. “Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985, kegiatan politik di negara ini hanya boleh dilakukan melalui tiga orsospol: PPP, Golkar, dan PDI. Kalau PRD bergerak di bidang politik, berarti melanggar hukum, maka akan berhadapan dengan aparat,” kata Direktur Jenderal Sosial dan Politik Departemen Dalam Negeri Soetoyo N.K. kepada wartawan, Selasa lalu.
Mungkin mereka akan senasib dengan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, yang dianggap liar. “Walau ditolak, kami akan jalan terus. Biarlah rakyat yang menilai. Ini juga proses demokratisasi,” ujar Tumpak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo