Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Asal Labrak Tambah Pajak

Rencana pemerintah menambah obyek dan besaran pajak pertambahan nilai memicu kontroversi. Kuncinya membangun kepercayaan publik.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Asal Labrak Tambah Pajak
Perbesar
Asal Labrak Tambah Pajak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JIKA suatu negara kesulitan menarik pajak dari warganya, siapa yang salah? Di Indonesia, yang rasio pajaknya terus surut—tahun lalu hanya sekitar 8 persen—dan tergolong terendah di dunia, kambing yang paling hitam adalah para wajib pajak. Harus diakui, kepatuhan masyarakat membayar pajak memang masih rendah. Tapi menimpakan masalah di hilir tanpa memandang persoalan di hulu juga jelas keliru besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pangkal masalah yang lebih mendasar ada di tangan penguasa. Sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah memang berusaha memperbaiki sistem perpajakan, termasuk dengan memberikan tunjangan besar buat para pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tapi toh tetap saja muncul makelar-makelar pajak, seperti Gayus Tambunan dan Angin Prayitno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Rendahnya kepatuhan wajib pajak sebenarnya terkait erat dengan buruknya kepercayaan publik kepada pemerintah. Orang emoh bayar pajak perlu dilihat sebagai akibat. Siapa yang rela jika uang hasil keringat yang mereka setorkan ke negara malah dihambur-hamburkan? Dari membangun ibu kota baru, memborong persenjataan yang belum jelas untuk berperang melawan siapa, sampai membiayai gaya hidup mewah para pejabat. Jadi ini bukan semata problematik perpajakan, tapi persoalan transparansi dan akuntabilitas mengelola negara.

Dengan latar belakang itulah rencana perluasan penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) lewat Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memicu penolakan di mana-mana. Dalam aturan sapu jagat atau omnibus law tentang perpajakan ini, pemerintah berencana mengutip pungutan dari pembelian bahan kebutuhan pokok, pendidikan, hingga kesehatan untuk kategori barang dan jasa yang biasa dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.

Berdalih kesetaraan dan keadilan, tujuan perluasan PPN ini jelas: menambah pemasukan negara. Masalahnya, ada persoalan dalam kesederhanaan dan kemudahan implementasi aturan itu. Mari meminjam contoh daging sapi yang dipakai Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu. Menurut Menteri Sri, pajak pertambahan nilai pada produk itu hanya akan dikenakan di kelas premium, seperti wagyu dan kobe. Praktiknya, saat ini daging jenis tersebut sudah dikenai pajak setidaknya tiga kali. Selain terkena bea masuk produk impor, wagyu yang dibeli di supermarket sudah terkena PPN. Setelah diolah dan dikonsumsi pengunjung hotel, kafe, atau restoran, daging itu juga tetap terkena pajak restoran.

Dengan kata lain ini bukanlah bentuk kesetaraan, melainkan diskriminasi. Apalagi orang yang mampu membeli kepuasan lewat produk berkualitas tinggi sebenarnya sudah dikenai pajak penghasilan (PPh) yang lebih besar. Jika selama ini mereka belum membayar pajak sesuai dengan aturan, itu persoalan penarikan dan integritas petugas pajak. Ujungnya kembali soal kepercayaan warga kepada sistem pajak kita.

Bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah, rancangan aturan pajak baru ini juga berpotensi bikin masalah. Tak ada jaminan obyek pajak di aturan PPN baru ini tak diperluas ke merek beras dan gula yang biasa digunakan kelas menengah. Dampaknya pada harga produk di kategori ini juga sulit dihindari. Jika harga produk premium naik, biasanya harga produk di kelas bawahnya akan ikut terkerek naik.

Sah saja pemerintah mencari akal mendongkrak rasio pajak. Namun caranya harus realistis dan dimulai dari hal mendasar. Peningkatan kepercayaan publik adalah pintu masuknya. Namun, melihat anjloknya indeks demokrasi, menyempitnya kebebasan berekspresi, dan karamnya Komisi Pemberantasan Korupsi, jalan itu jelas tak mudah dilakukan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus