Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU dari sedikit kabar baik di tengah pagebluk corona adalah tumbuh suburnya gerakan solidaritas di mana-mana. Saling bantu antarwarga ini menutup banyak kelembaman birokrasi dari otoritas di berbagai tingkat yang tergagap disergap Covid-19. Menyambut antusiasnya berbagai pihak untuk membantu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan membuka rekening khusus buat menerima donasi publik demi meringankan anggaran negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak virus corona “resmi” menyerang Indonesia pada 2 Maret 2020, ditandai dengan pengumuman adanya pasien positif pertama oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, berbagai pembatasan memang sudah diterapkan. Kegiatan ekonomi praktis terhenti. Jutaan orang di berbagai daerah kehilangan pendapatan. Sebagian bahkan tak lagi punya cukup tabungan untuk menyambung hidup. Di tengah kondisi yang teramat sulit, bantuan pertama buat mereka yang kesusahan kerap datang dari uluran tangan sesama warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap hari kita menyaksikan bagaimana kesetiakawanan terus tumbuh dan mengalir deras dari segala penjuru. Berbagai kelompok masyarakat mengumpulkan dana yang langsung dibagikan ke komunitas yang membutuhkan, baik berupa uang tunai, bahan kebutuhan pokok, makanan jadi, maupun peranti kesehatan semacam masker dan pakaian hazmat. Ada juga yang menyumbangkan alat pelindung diri ke berbagai rumah sakit dan fasilitas medis lain. Sebagian lainnya menyerahkan bantuan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Beberapa inisiatif juga digalang secara online. Di platform donasi Kita Bisa dengan tanda pagar #IndonesiaLawanCorona, sampai awal bulan ini, lebih dari 760 ribu donatur mengumpulkan dana hingga Rp 129 miliar. Artis dan selebritas sambung-menyambung mengadakan konser amal dari rumah. Pendek kata, berbagai kelompok di Indonesia terus bahu-membahu mengatasi kesulitan akibat serangan Covid-19 ini.
Semua inisiatif itu terasa melegakan karena virus mematikan ini tak hanya menyerang aspek kesehatan, tapi juga menimbulkan berbagai masalah sosial. Kepanikan, kebingungan, juga melebarnya kesenjangan sosial bisa berimplikasi pada meningkatnya ancaman keamanan. Namun, bukannya mencerai-beraikan, berbagai kesulitan tersebut malah menyatukan masyarakat. Memang, ada sebagian kelompok yang berlaku jahat—misalnya menolak pemakaman perawat yang wafat karena corona. Tapi jumlah mereka boleh dikatakan tidak signifikan. Nilai kemanusiaan telah mengerdilkan eksklusivisme berlebihan itu.
Kesadaran tinggi dalam hidup komunal semacam ini sangat menggembirakan. Tentu saja ini bukan hal baru. Dalam sejumlah bencana besar di negeri ini, dari tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada akhir 2004 hingga gempa di Palu pada 2018, solidaritas masyarakat pun tumbuh subur. Namun skala dan bentuk bencana akibat virus corona ini betul-betul berbeda. Hampir semua wilayah di Indonesia terkena dampak, dengan kelompok masyarakat terbawah menjadi korban terparah. Kesetiakawanan sosial yang tinggi menjadi teramat penting.
Pandemi ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. Masyarakat seyogianya terus memperkuat solidaritas. Perlu daya tahan panjang agar tak berlaku hukum alam “hanya kelompok terkuat bisa bertahan”—survival of the fittest. Apalagi kecakapan pemerintah menghadapi pandemi ini sungguh mencemaskan.
Kita kehilangan banyak waktu krusial ketika para pejabat pemerintahan Joko Widodo cenderung meremehkan bahaya wabah di awal masa penularannya di Indonesia. Banyak yang mempertanyakan sejauh mana pertimbangan sains dan medis menjadi dasar pengambilan kebijakan. Setelah virus menjangkiti banyak orang dengan cepat, pemerintah tampak gamang.
Tak sigapnya pemerintah juga disebabkan oleh kurangnya pelaksanaan uji usap secara masif. Ini membuat data penularan virus corona di Indonesia tak pernah benar-benar mencerminkan realitas. Data kependudukan yang tak pernah jelas juga membuat pembagian bantuan sosial dua pekan terakhir malah kisruh.
Pemerintah sudah seharusnya memudahkan gerakan kemanusiaan dari rakyat untuk rakyat di hari-hari sulit ini. Sungguh keterlaluan jika aparat negara justru menjerat para aktivis dengan tindakan represif. Kejadian di Yogyakarta pada awal Maret lalu, ketika aparat keamanan membubarkan rapat pembagian bantuan di sana, tak boleh terjadi lagi.
Semestinya pemerintah merekatkan berbagai inisiatif yang berserak di masyarakat ini. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya: pemerintah cenderung abai dan melakukan hal yang kontraproduktif, seperti menyetujui perubahan undang-undang yang kontroversial. Aksi semacam itu menunjukkan rendahnya solidaritas pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo