Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIGADANG-GADANG sejak dua dasawarsa lalu, reformasi perpajakan kini masuk tong sampah. Penanganan kasus suap bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji, yang terkesan setengah hati tak hanya mengubur rasa keadilan, tapi juga membuat upaya perbaikan sektor pajak cuma menjadi slogan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengusutan kasus Angin memunculkan banyak curiga. Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, sampai saat ini belum mengumumkan tersangka. Padahal, menurut surat penyidikan, Angin dan lima orang lain sudah menyandang status itu sejak 4 Februari lalu. Biasanya pengumuman tersangka disampaikan tak lama setelah surat penyidikan terbit. Alasan komisi antikorupsi bahwa mereka akan mengumumkan tersangka saat penahanan terkesan mengada-ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh lain adalah bocornya rencana penggeledahan kantor PT Jhonlin Baratama, perusahaan milik pengusaha batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Saat penggeledahan, penyidik tak menemukan satu pun barang bukti. Dua truk dokumen diketahui sudah diangkut meninggalkan kantor Jhonlin beberapa saat sebelum penyidik datang. Jika barang bukti tidak ditemukan, KPK sulit memastikan besar pajak yang mesti dibayar Jhonlin. Bisa-bisa, sebagai wajib pajak, perusahaan itu tak dapat diusut.
Jhonlin Baratama merupakan satu dari tiga perusahaan yang menyuap Angin Prayitno Aji. Bersama anak buahnya, Angin diduga menerima Rp 30 miliar untuk menurunkan pajak Jhonlin. Keduanya juga menerima Rp 20 miliar karena merekayasa pajak PT Gunung Madu Plantations dan PT Bank PAN Indonesia. Empat konsultan pajak di tiga perusahaan itu juga tengah dibidik.
Hingga kini KPK tak kunjung menjerat Angin dengan pidana pencucian uang. Padahal penyidik sudah mengantongi bukti berupa aset bernilai ratusan miliar rupiah milik bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak itu. Properti berupa tanah, tempat penginapan, restoran, dan resor tersebut berlokasi di Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Magelang.
Perkara Angin bukan yang pertama. Sebelumnya, pengusutan sejumlah kasus berhenti di pegawai pajak. Adapun perusahaan pengemplang tak tersentuh. Penegakan hukum yang lembek itu tak menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Akibatnya, kejahatan pajak terus berulang. Wajib pajak yang nakal mencari cara supaya bisa mengemplang pajak, termasuk meminta bantuan pegawai seperti Angin. Atau, sebaliknya, orang seperti Angin yang menawarkan “bantuan”.
Compang-campingnya penegakan hukum berkorelasi dengan tingginya tingkat penghindaran pajak. Saat ini rasio pajak Indonesia berada di kisaran 10-11 persen, terendah di negara-negara Asia Tenggara. Padahal produk domestik bruto Indonesia tertinggi di ASEAN. Sejak 2013, rasio pajak Indonesia cenderung turun.
Karena penegakan hukum lemah, wajib pajak nakal memanfaatkan celah manipulasi dan negosiasi agar tak membayar pajak. Sebagai contoh, mereka akan memilih menyuap Rp 10 miliar ketimbang membayar pajak Rp 100 miliar. Kendati reformasi birokrasi telah meningkatkan gaji dan tunjangan pegawai pajak hingga Rp 100 juta per bulan, orang-orang seperti Angin akan terus bermain mata dengan wajib pajak nakal.
Kunci utama reformasi perpajakan adalah pemberian insentif dan disinsentif yang beriringan. Jika insentif terus diberikan sementara hukum tak ditegakkan, para maling pajak akan terus berkeliaran. Praktik ini merupakan anomali di tengah keinginan pemerintah meningkatkan pendapatan pajak untuk memperpanjang napas ekonomi Indonesia yang kini tengah tersengal-sengal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo