Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIMBANG terus mengumbar klaim keampuhan vaksin Nusantara, mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, sebaiknya berkonsentrasi mempersiapkan diri menjalani tugas barunya sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Spanyol. Jika manuvernya mengundang politikus dan mantan pejabat menjadi relawan uji coba vaksin ini dilanjutkan, Terawan berisiko makin jauh melanggar etika penelitian dan memicu polemik yang kian berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak diperkenalkan kepada publik sebagai “vaksin Nusantara” pada awal tahun ini, riset Terawan dan koleganya, Taruna Ikrar, sudah memantik kontroversi. Dari namanya saja sudah bermasalah. Kini kita tahu, riset berbasis metode sel dendritik ini bukanlah temuan anak bangsa. Taruna, yang juga Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, membawa eksperimen ini dari mitranya di Amerika Serikat. Penemu metode ini adalah Aivita Biomedical Inc, yang berbasis di Irvine, California, belasan ribu kilometer jauhnya dari Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses persiapan riset vaksin Nusantara yang tergesa-gesa dan serba rahasia juga memancing kecurigaan. Dengan posisinya sebagai menteri, Terawan mendorong Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mensponsori riset ini. Ada dugaan dia mendesak lembaga itu mengalokasikan anggaran Rp 29 miliar dan menunjuk Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi di Semarang, Jawa Tengah, sebagai lokasi penelitian. Dugaan pelanggaran kewenangan (abuse of power) Terawan ini patut diperiksa.
Apalagi, belakangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan banyak masalah dalam uji klinis tahap I tersebut. Selain obyek riset yang semua pernah terinfeksi virus corona sehingga tak layak menjadi relawan uji vaksin, tak disebutkannya peran Aivita dalam proses eksperimen melanggar aturan. Banyaknya syarat riset yang dilanggar membuat BPOM menangguhkan izin uji klinis tahap kedua vaksin Nusantara.
Di sinilah keriuhan bermula. Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat rupanya merasa kekuasaan mereka sebagai pembuat undang-undang melampaui batas sains. Para politikus ini boleh jadi menganggap keinginan mereka setara dengan perintah undang-undang dan apa pun titah mereka tak boleh diganggu gugat. Gagal memaksa BPOM memberi izin uji klinis tahap kedua, sejumlah anggota DPR secara demonstratif menjadi relawan vaksin Nusantara. Satu demi satu mereka datang ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto untuk menerima terapi dari Terawan.
Aksi serupa dilanjutkan sejumlah tokoh, dari mantan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie; mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan; mantan Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi; hingga mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo. Semua mengaku diundang Terawan untuk mencoba sendiri terapi yang belum teruji secara ilmiah ini. Perilaku mereka tak hanya membahayakan kesehatan mereka sendiri, tapi juga mempertunjukkan sikap antisains. Mereka terang-terangan menantang otoritas medis dan metode ilmiah yang berlaku umum. Aksi inilah yang mengundang ratusan tokoh masyarakat sipil meneken petisi dukungan untuk BPOM dan kegigihan lembaga itu mempertahankan prinsip ilmiah dalam proses perizinan riset obat dan vaksin.
Langkah cepat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mempertemukan Kepala BPOM Penny Lukito, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada awal pekan lalu sudah berada di jalur yang tepat. Nota kesepahaman yang mereka tanda tangani otomatis menyudahi polemik vaksin Nusantara dengan menegaskan bahwa riset Terawan tak akan berlanjut jadi produksi massal.
Meski begitu, masih ada sejumlah pertanyaan yang menggantung dari kesepakatan itu. Misalnya siapa yang membiayai riset vaksin Nusantara di RSPAD dan apa jaminan keselamatan buat para relawan jika kelak ada efek negatif dari terapi dendritik ini? Ketimbang bersikap abu-abu, lebih baik pemerintah menegaskan bahwa kelanjutan riset vaksin Nusantara ada sepenuhnya di tangan swasta tanpa campur tangan negara.
Kebijakan serupa diterapkan pemerintah Amerika Serikat untuk Aivita Biomedical Inc, yang sekarang sedang berjuang memperoleh izin uji klinis di sana. Biarkan riset vaksin Nusantara diuji lewat metode saintifik tanpa politisasi dan propaganda nasionalisme. Jika kelak terapi sel dendritik ini terbukti secara ilmiah efektif memerangi wabah Covid-19, barulah kita sambut temuan ini dengan gegap gempita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo