Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS digital di Indonesia akan memasuki babak baru. Rencana penggabungan usaha Gojek dan Tokopedia disusul penjualan saham perdana mereka, serta rencana serupa dari Grab dan sejumlah perusahaan rintisan lain, akan mempercepat ekspansi industri digital ke sektor keuangan dan retail di Tanah Air. Pemerintah harus merumuskan regulasi yang tepat agar kita tak semata menjadi pasar dan gagal menikmati keuntungan apa pun dari konsolidasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak hal pasti berubah setelah dua gergasi bisnis digital, Gojek dan Tokopedia, bersatu. Jika tak ada aral melintang, pendirian GoTo, entitas baru hasil merger ini, akan diumumkan pada Mei mendatang. GoTo akan menggabungkan bisnis e-commerce yang selama ini dilakoni Tokopedia dengan layanan ride hailing, jasa antar, serta dompet digital milik Gojek. Perusahaan baru ini bakal memiliki valuasi US$ 18 miliar atau sekitar Rp 262 triliun. Jika mereka jadi melantai di pasar modal, nilainya diperkirakan menembus US$ 40 miliar atau Rp 580 triliun. Ini mendekati kapitalisasi pasar perusahaan sekelas Bank Rakyat Indonesia dan Bank Central Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, menurut riset CB Insights, Tokopedia memiliki sekitar 100 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia. Sedangkan Gojek digunakan oleh 40 juta orang setiap bulan. Sungguh disayangkan jika kelak gerojokan kapital yang diterima GoTo—juga Grab dan Bukalapak saat penawaran saham perdana nanti—lebih banyak masuk ke kantong para pemegang saham mereka. Terlebih tidak semua pemilik perusahaan digital ini berbasis di Indonesia. Para pengambil kebijakan perlu mencari cara agar konsolidasi bisnis digital ini juga membuka lebih banyak peluang usaha dan lapangan pekerjaan yang berkualitas di Tanah Air.
Pada satu titik, tak lama lagi, perusahaan digital akan berevolusi menjadi korporasi super yang menguasai hajat hidup orang banyak secara lintas negara. Transportasi, sistem pembayaran, dan perdagangan online hanya sebagian bisnis yang mereka kuasai. Di masa mendatang, seiring dengan berkembangnya teknologi dan inovasi, model bisnis perusahaan semacam ini bakal makin rumit dan kompleks. Pemerintah harus mempersiapkan sistem dan mekanisme perpajakan yang tepat agar profit dari perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia tidak kabur semua ke luar negeri.
Selain itu, pemerintah harus mendorong pelaku bisnis konvensional, terutama di sektor perbankan dan retail, segera mengantisipasi dampak disrupsi digital ini. Mereka harus bersiap dan waspada agar perubahan besar tak melindas model bisnis dan jejaring usaha yang sudah dibangun bertahun-tahun. Para pemain lama harus menyiapkan teknologi dan inovasi baru atau berkolaborasi untuk bertahan. Di tengah arus cepat perubahan ini, pemerintah harus mampu menjamin persaingan usaha tetap sehat dan memberlakukan aturan pajak yang adil.
Hal lain yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan perusahaan digital menjalankan protokol hubungan kerja yang fair. Jangan terlena pada istilah mitra dan penyedia aplikasi karena pada kenyataannya yang terjadi adalah hubungan antara korporasi dan pekerja. Negara harus melindungi kaum prekariat atau kelas pekerja yang hidupnya rentan karena tak punya jaminan relasi kerja permanen di perusahaan-perusahaan digital. Putusan Mahkamah Agung Inggris pada Februari lalu yang mengubah status 70 ribu mitra pengemudi Uber menjadi pekerja bisa menjadi rujukan.
Jangan sampai digitalisasi yang seharusnya membuat kualitas hidup manusia lebih baik malah menjadi bencana untuk jutaan buruh dan memperlebar jurang kaya-miskin di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo