Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN koruptor memang bukan satu-satunya ukuran kesuksesan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun merosotnya jumlah operasi penindakan itu pada tahun ini menunjukkan bahwa komisi antikorupsi tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penahanan dua menteri kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam satu bulan terakhir menggambarkan korupsi yang tetap masif. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diduga merancang sistem korup pada perizinan ekspor bayi lobster demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Koleganya, Menteri Sosial Juliari Batubara, ditengarai menilap sebagian dana bantuan sosial pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modus korupsi dua menteri itu sangat primitif dan telanjang. Mereka terkait langsung dengan duit pungutan melalui lingkaran terdekat. Tak mengagetkan, para penyelidik komisi antikorupsi yang menyasar pejabat rendahan di dua kementerian itu dengan mudah bisa menghubungkannya dengan bos-bos mereka. Sangat mungkin Edhy dan Juliari merupakan puncak gunung es korupsi yang tak pernah berkurang.
Kesuksesan para penyelidik dan penyidik menjelang akhir tahun patut disambut tepuk tangan. Namun hal itu tak menutup fakta bahwa komisi antikorupsi sebenarnya berjalan mundur. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir periode pertama Presiden Jokowi, tahun lalu, membuat gerak lembaga itu tak lagi lincah. Walhasil, jumlah operasi penindakan—yang lebih dikenal dengan “operasi tangkap tangan”—jauh berkurang.
Komisi antikorupsi menjalankan tujuh kali penangkapan tahun ini. Bandingkan dengan operasi pada tahun-tahun sebelumnya: 19 pada 2017, 30 pada 2018, dan 18 pada tahun berikutnya. Padahal operasi semacam ini sedikit-banyak bisa menimbulkan rasa takut kepada penyelenggara negara lain untuk berbuat korup. Benar, komisi antikorupsi juga menjalankan fungsi pencegahan. Namun usaha semacam itu kurang efektif tanpa dibarengi penindakan yang kuat.
Apalagi pemerintah Jokowi terkesan tidak serius dalam memberantas korupsi. Laporan Global Corruption Barometer 2020 yang dirilis Transparency International Indonesia bahkan menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi masih jalan di tempat, tapi responden menilai korupsi justru meningkat dalam setahun ini. Mayoritas responden survei menilai korupsi masih merupakan masalah besar pemerintah. Sangat mungkin persepsi ini erat kaitannya dengan revisi undang-undang yang menempatkan komisi antikorupsi di bawah rumpun eksekutif.
Di tengah kekangan aturan baru, para penyidik komisi antikorupsi harus melanjutkan pengusutan korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Sosial. Korupsi di dua kementerian yang seharusnya mengurusi hajat hidup orang banyak itu perlu dibuka seterang-terangnya. Kaitan dengan partai asal dua menteri—Edhy dengan Partai Gerindra dan Juliari dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—tak bisa ditutup begitu saja.
Korban terbesar korupsi adalah masyarakat banyak. Nelayan dan pembudi daya lobster terpukul oleh keputusan korup di Kementerian Kelautan. Korupsi di Kementerian Sosial membuat kelompok masyarakat yang setiap hari harus berjuang mempertahankan hidup akibat empasan pandemi menerima bantuan kurang dari jumlah semestinya. Korupsi di sektor-sektor lain pun pada ujungnya menyengsarakan banyak orang.
Dengan status para penyidik KPK yang akan segera menjadi aparatur negara alias pegawai negeri sipil, jalan memangkas mata rantai korupsi di birokrasi bakal makin terjal. Apalagi arah dan komitmen pemerintah dalam perang melawan kejahatan ini tak terlalu jelas. Sangat tidak adil, tapi beban usaha melawan korupsi tampaknya mesti ditanggung masyarakat sendiri. Kita tak lagi bisa berharap kepada pemerintah dan segala perangkatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo