Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUR HADI*
SEBUT saja namanya Arif. Lantaran sering pulang diam-diam ke rumah tanpa sepengetahuan pengurus pesantren, akhirnya Arif mendapat peringatan keras dan berujung pada skors. Arif masuk deretan anak nakal. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, ternyata Arif sering mengalami perundungan yang dilakukan oleh teman sekamar.
Kasus kedua adalah Ardi. Mahasiswa pendatang ini dikenal sebagai pemuda yang penuh sopan santun terhadap tetangga kos. Tapi, pada suatu pagi yang cerah, tiba-tiba kompleks perumahan itu digegerkan oleh penangkapan Ardi atas kasus pembunuhan seorang perempuan. Belakangan, diketahui perempuan itu ternyata seorang tukang pijat plus-plus.
Kasus ketiga, Tarno—pedagang bahan kebutuhan pokok di sebuah pasar. Tanpa sepengetahuan para pelanggannya, Tarno sebenarnya telah memodifikasi “timbangan bandul”-nya beberapa gram untuk mendapatkan keuntungan tambahan.
Kasus keempat, Ulin. Remaja ini pernah melakukan segala macam perilaku menyimpang semasa sekolah. Dari memiliki rambut gondrong, merokok, membolos saat jam pelajaran, tak mengerjakan tugas sekolah, melakukan perundungan, hingga suka usil terhadap teman-teman perempuan.
Terakhir, ada Yudha. Remaja tanggung yang kedua orang tuanya sudah bercerai ini memilih tinggal bersama ayahnya lantaran ibunya sudah menikah lagi. Yudha begitu sebal terhadap kelakuan sang ayah yang suka mabuk dan nge-fly bareng teman-temannya. Diam-diam dia sering melaporkan siapa saja yang terlibat dan menjadi pemasok barang terlarang tersebut kepada kepolisian.
Lima kasus di atas saya adaptasikan dari penjelasan Dr. Sarlito Wirawan Sarwono terkait dengan definisi kenakalan dalam ranah perilaku menyimpang. Tiap subyek dalam contoh di atas memiliki sifat nakal dalam ranah dan konteks masing-masing. Saya ambilkan contoh Arif. Dia bisa dimasukkan ke daftar anak nakal versi pesantren tempat ia belajar. Tapi, dari sisi psikologi, tindakan Arif sebenarnya bukanlah aksi, melainkan reaksi. Ia bukan pelaku, melainkan korban. Demikian juga Yudha. Dia bisa dibilang nakal di mata sang ayah, tapi justru berprestasi di mata hukum dan malah bisa dibilang sebagai anak saleh dalam kacamata agama.
Kasus Ardi sebenarnya hampir bisa mewakili tema pokok dalam bahasan kali ini. Ardi tidak memiliki catatan buruk dalam perkara etika, meski ia akhirnya ketahuan melakukan sebuah kejahatan hukum serius. Ia berhasil mengelabui orang-orang di sekitarnya. Sebagaimana Tarno yang nakal tapi bisa dipandang baik-baik saja oleh orang yang tidak tahu perbuatannya.
Kata “nakal” dalam pembicaraan di atas ternyata memiliki banyak dimensi, tergantung dari sudut mana kita mendapat aspek pelanggarannya. “Nakal” dalam hal etika belum tentu bisa disebut “nakal” dalam ranah psikologi dan/atau hukum. “Nakal” dalam ranah agama belum tentu juga bisa disebut “nakal” dalam ranah hukum dan/atau etika. Makna kata sifat ini ternyata begitu fleksibel—tergantung dalam ranah apa kita memakainya. “Nakal” dalam “anak nakal” jelas berbeda dengan “perempuan nakal”, yang ruang lingkupnya bisa lebih buruk. Demikian pula “pedagang nakal”, “pemain nakal”, “pejabat nakal”, dan lain-lain, meski masih berada dalam satu lingkaran perilaku menyimpang.
Pemaknaan “nakal” juga bisa menjadi bias dan bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar akibat. Apakah menimbulkan korban fisik, apakah mengakibatkan kerugian materi, apakah hanya merugikan diri sendiri, ataukah hanya mengakibatkan keresahan. Dalam “kamu jahat”, konteks “jahat” menjadi penting untuk diketahui agar maknanya bisa diketahui secara tepat. Dengan begitu, hukuman untuk sebuah kejahatan pun bisa ditetapkan sesuai dengan kadarnya.
Saya ambilkan contoh lagi, yakni kata “cantik”. Selama ini, kita mungkin sudah sering mendengar perihal “cantik lahir” dan “cantik batin”. “Cantik lahir” merupakan pendefinisian dalam ranah kecantikan dan kesehatan fisik (kulit, mata, tubuh, dan lain-lain), sementara “cantik batin” biasanya selalu dihubungkan dengan kecantikan dan kebaikan dalam berperilaku/sikap sesuai dengan parameter agama (salihah). Definisi ini bahkan kadang bisa bertentangan karena perempuan cantik (lahir) belum tentu salihah (cantik batin), begitu juga sebaliknya.
Kata “buruk” juga akan memiliki definisi yang berbeda ketika kita membahasnya dalam ragam pembicaraan: kesehatan, agama, hukum, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Itulah mengapa Kamus Besar Bahasa Indonesia cenderung memberikan banyak makna sekaligus contoh penggunaan dalam banyak kalimat.
Makna kata sifat cenderung mengikuti konteks atau benda yang disifatinya, sehingga menimbulkan “homonimisme”-nya, lepas dari sifatnya yang tak memiliki makna tetap lantaran akan senantiasa mengikuti perkembangan pendefinisian akan sesuatu. Pada 1980-an, perempuan cantik identik dengan tubuh langsing dan hidung mancung hingga mengakibatkan perempuan beramai-ramai melakukan diet atau operasi plastik. Tapi definisi itu kemudian berubah-ubah tiap dekade, tiap muncul perkembangan dan selera zaman.
*PENULIS CERITA PENDEK DAN PUISI, AKTIF DI AKADEMI MENULIS JEPARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo