Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak punya banyak pilihan jika ingin segera mengurangi subsidi elpiji untuk rumah tangga. Mengajak masyarakat beralih ke kompor induksi listrik dan membangun jaringan gas kota di kawasan permukiman adalah dua kebijakan yang harus segera dieksekusi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jika tidak, nilai impor elpiji yang terus melambung akan memperparah defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, sekitar 70 persen dari kebutuhan elpiji negeri ini sebesar 8,8 juta ton per tahun harus dipenuhi dengan impor. Tak hanya menanggung defisit neraca berjalan, pemerintah juga harus membayar subsidi penjualan elpiji kepada warga, yang jumlahnya juga terus menanjak. Tahun ini biaya subsidi elpiji mencapai Rp 50-60 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini seharusnya sudah diantisipasi pemerintah ketika meluncurkan program konversi minyak tanah ke elpiji, 13 tahun lampau. Ketika itu, dengan gegap gempita, pemerintah mendorong masyarakat meninggalkan minyak tanah dengan mendistribusikan tabung gas melon 3 kilogram dan kompor secara gratis. Dalam tiga tahun, 50 juta keluarga beralih menggunakan elpiji. Subsidi minyak tanah bisa dihemat, tapi kini pemerintah disandera subsidi dan impor elpiji.
Kebijakan pemerintah menempatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai ujung tombak program konversi elpiji ke kompor induksi listrik dan jaringan gas kota perlu ditinjau kembali. Terbukti, konversi berjalan lamban bak siput. Dimulai sejak 2009, PGN kini baru menyambungkan 500 ribu rumah ke jaringan gas, atau 0,9 persen dari total jumlah rumah hunian di Indonesia. Padahal targetnya harus ada 4 juta rumah tangga yang terkoneksi dengan jaringan gas pada 2024 dan 30 juta rumah tangga pada 2035.
Kinerja PLN dalam konversi elpiji juga tak terlalu moncer. Mereka sekarang baru mulai memperkenalkan kompor induksi listrik di sejumlah daerah di Jawa dan Bali. Targetnya, Oktober tahun depan, ada 1 juta rumah tangga yang beralih dari elpiji ke listrik. Dalam sepuluh tahun ke depan, PLN menargetkan 15 juta rumah tangga tak lagi memasak memakai elpiji karena sudah punya kompor listrik. Butuh kerja keras dan dukungan pemerintah agar target itu bisa dicapai.
Karena itu, sudah seharusnya tanggung jawab membangun jaringan gas kota diambil alih pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Badan usaha milik negara seperti PGN dan PLN tak bisa dipaksa membangun infrastruktur yang nilainya luar biasa besar dan bisa memperparah kondisi keuangan perusahaan. Meski mayoritas sahamnya milik negara, kedua korporasi itu tetaplah perusahaan yang mesti mencari profit.
Rencana melibatkan swasta dalam membangun jaringan gas juga bukan kebijakan yang tepat. Di tangan swasta, selain ada potensi monopoli pasar, pelanggan rumah tangga akan dipaksa menerima harga jual gas yang terlampau mahal. Itu tak terhindarkan karena perusahaan harus mengembalikan biaya investasi mereka di awal. Setelah infrastruktur jaringan gas disediakan pemerintah, perusahaan swasta tentu kelak bisa menjadi operator penyalur gas ke rumah tangga.
Sama seperti jalan raya atau rel kereta, pembangunan infrastruktur pelayanan publik seperti jaringan pipa gas adalah tanggung jawab pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Pendanaannya juga harus berasal dari anggaran negara. Tanpa dukungan semacam itu, konversi elpiji ke jaringan gas dan listrik akan selalu tersendat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo