Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja, Dewan Perwakilan Rakyat tak ubahnya tukang mebel yang mengerjakan pesanan lemari kayu dari pemerintah Presiden Joko Widodo. Persis seperti tukang, “wakil rakyat” kita hanya bekerja berdasarkan desain dari pemesan, sepenuhnya mengabaikan model pembanding, serta tunduk mengikuti tenggat yang ditentukan juragannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mengherankan jika Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan Dewan, Senin, 5 Oktober lalu, akhirnya mengandung cacat bawaan. Pasal-pasal di dalamnya memungkinkan kembalinya kekuasaan eksekutif yang sentralistik, menghamba pada kekuatan pemodal, membuat kepentingan pekerja menjadi marginal, juga mengabaikan isu lingkungan. Para “tukang” di Senayan bahkan rela bekerja sembunyi-sembunyi, termasuk menggelar rapat di hotel berbintang di luar gedung DPR, jauh dari prinsip transparansi yang seharusnya melekat pada jabatan publik. Mudah diduga, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja lalu memicu demonstrasi besar di berbagai kota pada Kamis, 8 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Jokowi mengajukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke Dewan pada Februari lalu dengan target selesai dalam seratus hari. Rancangan undang-undang sapu jagat ini awalnya terdiri atas 1.244 pasal, disusun untuk mengubah aturan-aturan pada 79 produk legislatif lain yang dianggap menghambat masuknya investasi. Jokowi menyebutkan aturan baru ini bakal mengurangi penganggur dengan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru.
Mulusnya pembahasan omnibus law di Senayan sebenarnya sudah bisa diprediksi. Sebanyak 74 persen anggota Dewan merupakan bagian dari koalisi pendukung pemerintah. Di akhir pembahasan, Fraksi Partai Amanat Nasional malah mendukung Undang-Undang Cipta Kerja. Hanya dua fraksi, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, yang menolak. Besarnya gerbong koalisi pemerintah di Dewan membuat mekanisme checks and balances hampir mustahil terjadi.
Apalagi latar belakang separuh anggota Dewan adalah pengusaha. Kepentingan mereka jelas terwakili dalam pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja. Sebagian besar pasal usulan pemerintah pun mulus dalam berbagai pembahasan. Berlawanan dengan sumpah jabatan mereka, anggota DPR memilih mengutamakan kepentingan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat pemilih mereka.
Dengan begitu kasatmata, Dewan mengabaikan prinsip musyawarah dan mufakat dalam pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja. Keterbukaan semata diterjemahkan dengan siaran langsung setiap sidang pada kanal televisi DPR. Dialog diartikan sebatas mengundang kalangan akademikus, serikat buruh, pakar, dan mereka yang menentang. Aspirasi publik hanya didengar, lalu dikesampingkan.
Kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah dipersoalkan sejak awal. Beberapa waktu lalu, sekelompok tokoh prodemokrasi meminta Pengadilan Tata Usaha Negara membatalkan surat presiden yang menjadi dasar pembahasan rancangan di Dewan Perwakilan Rakyat. Soalnya, pemerintah menyusun naskah akademik bersamaan dengan draf rancangan. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rancangan semestinya dibuat setelah ada naskah akademik. Tindakan terburu-buru Dewan yang mengesahkan rancangan omnibus law sebelum ada putusan hakim makin menguatkan kesan ugal-ugalan dari pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja.
Bukan hanya itu. Secara substansi, Undang-Undang Cipta Kerja penuh kelemahan. Tujuan penyederhanaan regulasi tidak sepenuhnya tecermin pada undang-undang ini. Pasal-pasal baru di omnibus law malah membutuhkan begitu banyak aturan turunan. Tekad Presiden Jokowi untuk ngebut menyelesaikan semua peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Cipta Kerja dalam tiga bulan mendatang sungguh mengkhawatirkan.
Paradigma Undang-Undang Cipta Kerja juga meninggalkan model pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan kegiatan ekonomi yang tidak merusak alam. Ancaman perubahan iklim yang demikian nyata terang-terangan diabaikan demi iming-iming pertumbuhan ekonomi. Ketika dunia perlahan menyadari pentingnya menjaga lingkungan, pemerintah Presiden Jokowi justru terjebak di masa lalu.
Tanggapan Presiden, yang memilih meninjau calon lahan pertanian di Kalimantan Tengah ketika demonstrasi marak di berbagai kota, sudah bisa diduga: meminta warga yang tak setuju untuk menguji Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Tanggapan itu seperti mengecilkan besarnya kekecewaan publik. Kita tahu, Dewan telah lebih dulu memberikan gula-gula kepada para hakim konstitusi lewat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Perlawanan publik tentu tak akan reda begitu saja dan hari-hari ke depan akan menjadi saksi sejauh mana suara rakyat berdaulat di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo