Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMBISI Presiden Joko Widodo mendatangkan investasi asing dengan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja bakal jauh panggang dari api. Kecil kemungkinan investor besar akan berbondong-bondong menanamkan duitnya di Indonesia ketika etika bisnis yang menghargai lingkungan dan hak asasi manusia justru dibuang jauh-jauh lewat regulasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tengok saja. Sehari sesudah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, sejumlah serikat buruh internasional langsung mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan meminta aturan itu dibatalkan. Mereka menilai regulasi ini merusak hak dan kesejahteraan pekerja Indonesia. Suara para aktivis buruh internasional ini tak bisa dianggap enteng. Mereka mewakili lobi gerakan buruh di banyak negara maju, yang juga negara asal para investor asing incaran Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pekerja memang menjadi pihak paling dirugikan oleh omnibus law. Yang paling kasatmata: aturan pesangon untuk karyawan yang dipecat turun drastis, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Undang-Undang Cipta Kerja juga menghapuskan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu, yang semula dibatasi maksimal dua tahun. Dengan aturan ini, pekerja bisa menjadi pegawai kontrak seumur hidupnya.
Protes para buruh yang terus meluas seharusnya menjadi alarm nyaring di telinga pemerintah. Saat ini, kesadaran konsumen soal kesejahteraan buruh makin luas di berbagai penjuru dunia. Para pembeli tidak segan meninggalkan merek ternama yang tak memperhatikan nasib buruh. Produsen pakaian ternama asal Jepang, Uniqlo, misalnya, sempat babak-belur berhadapan dengan kampanye global “Pay Up Uniqlo” karena salah satu pabrik pemasoknya di Indonesia tak membayar upah layak.
Bukan hanya itu. Berbagai perusahaan besar—juga karena desakan konsumennya— kini makin memperhatikan kelestarian lingkungan dalam produksi mereka. Ketika sejumlah pasal dalam omnibus law justru abai melindungi lingkungan, mereka tentu berpikir seribu kali sebelum datang ke Indonesia. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, menghilangkan ketentuan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau dalam Undang-Undang Kehutanan. Ketiadaan pasal itu berpotensi mempercepat laju penggundulan hutan primer Indonesia, yang sudah masuk tiga besar di dunia dengan rusaknya 324 ribu hektare hutan per tahun.
Apalagi, alih-alih memberikan sanksi berat, Undang-Undang Cipta Kerja justru memberi karpet merah bagi pelaku perusakan lingkungan. Sejumlah perbuatan yang mengotori alam, seperti pelanggaran baku mutu air dan udara, hanya diberi sanksi administratif. Sebelumnya, Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup hanya memberi sanksi semacam itu untuk kelalaian yang tak membahayakan kesehatan dan nyawa manusia.
Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahwa sanksi administrasi lebih efektif karena tidak perlu melalui proses persidangan sungguh tak masuk akal. Kita tahu, pemerintah selama ini tak pernah serius menjerat korporasi perusak lingkungan. Sejumlah perusahaan perkebunan sawit ataupun hutan industri, misalnya, terus beroperasi meski terindikasi terlibat, secara langsung atau tak langsung, menyulut kebakaran hutan. Tanpa sanksi tegas yang menimbulkan efek jera, niscaya para penjahat lingkungan akan terus berpesta pora.
Perubahan global yang mensyaratkan investasi serta pertumbuhan ekonomi yang tak melanggar hak pekerja dan kelestarian lingkungan tampaknya tak disadari pemerintah Presiden Jokowi. Ketimbang repot bikin omnibus law, seharusnya pemerintah membenahi problem penting yang menghambat investasi, seperti korupsi, birokrasi berbelit, dan ketidakpastian hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo