Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buruh perkebunan di tahun 1981 hanya menerima pensiun sebesar Rp 500 atau setara dengan 10 kali kencing di WC umum.
Kesenjangan upah antara buruh dengan staf direksi berbanding 1:200.
Kesepakatan berunding dengan serikat buruh dua tahun sebelumnya tak mengubah kondisi.
PADA Senin, 5 Oktober lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam rapat paripurna. Pemimpin rapat, Wakil Ketua DPR M. Azis Syamsuddin, mengetukkan palu tanda pengesahan setelah meminta persetujuan anggota yang hadir. “Mengacu pada pasal 164, pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat?” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat tersebut, hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menyatakan menolak, sementara Fraksi Partai Amanat Nasional menerima dengan catatan. Wakil Partai Demokrat memutuskan keluar dari ruang rapat alias walk out setelah upaya interupsinya ditolak berkali-kali dan pemimpin sidang mematikan mikrofonnya. Mereka menyinggung soal upah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo pada 20 Juni 1981 menulis tentang sengkarut uang pensiun buruh perkebunan. Laporan berjudul “Bukan Cuma Soal Rp 500” tersebut mengupas ihwal sistem pengupahan yang tak berubah sejak zaman kolonial. Persoalan ini bermula dari kabar yang menyebutkan sekitar 40 persen bekas karyawan dari 13 pabrik gula di Jawa Barat hanya menerima uang pensiun sebesar Rp 500.
Menurut Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), di Jawa ada sekitar 15 ribu buruh yang menerima uang pensiun sekitar Rp 500, mayoritas dari perkebunan tebu. Di luar Jawa, sekitar 30 ribu buruh mengalami nasib sama. Hampir semua penerimanya adalah orang tua yang tak berpendidikan tinggi sehingga tak punya daya tawar untuk memprotes angka ini.
Berita tersebut membuat Gubernur Jawa Tengah Soepardjo mengamuk. “Di sini banyak orang pandai. Kita semua harus malu jika tak ada yang bisa memikirkan pemecahannya. Mengapa masih ada pensiun sekitar itu?” katanya dalam suara meninggi. Sebab, jika dikalkulasi, nilai pensiun itu setara dengan 10 kali ongkos menumpang kencing di toilet alias WC umum.
Warta ini menyentak banyak pihak hingga menuai gelombang protes di mana-mana. Buntutnya, beberapa pejabat perusahaan perkebunan di daerah dipanggil ke Jakarta dan kena damprat. Sementara itu, serikat buruh diam-diam bekerja mengumpulkan data yang lebih fantastis: gap upah.
Ketua Umum FBSI Agus Sudono menunjukkan gap upah buruh rendahan dan staf direksi 1 berbanding 200. “Padahal di negara-negara kapitalis perbandingan antara upah buruh rendahan dan pimpinan perusahaan hanya 1 : 8 atau 1 : 10,” ujarnya. Jurang tersebut melebar karena anggota staf hingga direksi memperoleh banyak fasilitas, termasuk pembagian keuntungan.
Jika dijabarkan, fasilitas tersebut antara lain pembantu rumah tangga dua-empat orang, penjaga rumah, mobil, bermacam-macam cuti, dan tunjangan anak sekolah. Jadi, jika dihitung-hitung, seorang direktur bisa membawa pulang gaji Rp 2 juta sebulan. Kontras dengan buruh yang hanya menerima upah sebesar Rp 10 ribu per bulan.
Kultur feodal juga masih terasa kental dalam interaksi sehari-hari antara buruh dan staf. Berdasarkan penelusuran Tempo di salah satu perkebunan di Sumatera Utara, panggilan “Tuan Besar” untuk para pemimpin perkebunan dan “Tuan” buat anggota stafnya masih berlaku. Warisan kolonial lain yang masih bercokol adalah sistem pengupahan yang menyebabkan karyawan staf digaji lebih tinggi dari non-staf, yang berstatus lebih tinggi dari buruh rendahan. Padahal pekerjaannya tak jauh berbeda.
Pernyataan itu dibantah oleh Wakil Ketua Badan Kerjasama Direksi PNP-PTP I-IX O.B. Siahaan. Menurut dia, perbandingan yang benar hanya 1 : 18. Ia juga menyebutkan, dalam empat tahun terakhir, perusahaan negara perkebunan (PNP/PTP) telah berhasil membangun 28 rumah sakit, 150 klinik, dan 500 rumah ganda.
Sekitar dua tahun lalu, pada 1979, Abdullah Eteng, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, mengatakan upah buruh perkebunan di Sumatera Utara dibayar di bawah ketentuan batas minimum yang waktu itu ditetapkan Rp 40 ribu per bulan. “Pihak perkebunan menjadi kapitalis paling primitif,” ucapnya.
Polemik di tahun itu segera diredam dengan pernyataan bersama FBSI dan Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera pada akhir Oktober 1979. Isinya: kedua pihak setuju mencari keseimbangan baru antara nilai kemajuan perkembangan fisik perusahaan dan peningkatan nilai kesejahteraan buruh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo