Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Identitas

Indonesia adalah sebuah identitas! Sebagai identitas, Indonesia melekat pada setiap unsur yang ada di dalamnya.

18 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Identitas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tendy K. Somantri*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya tidak berdarah Indonesia.” Begitu omongan Agnez Mo tahun lalu yang mengguncang jagat maya. Ada yang menghujat Agnez karena omongan itu, ada juga yang membelanya. Pertanyaan pun muncul pada benak saya: seperti apakah “darah Indonesia”? Apakah saya yang orang Sunda ini berhak menyandang darah Indonesia? Apakah Pak Koruptor dari partai anu masih diakui berdarah Indonesia? Ataukah Bu Atlet peraih medali emas Olimpiade belum boleh menyandang sebutan “berdarah Indonesia”?

“Saya tidak berdarah Indonesia,” kata Agnez. Lalu muncul lagi pertanyaan: apakah Indonesia? Bangsakah? Negarakah? Bahasakah? Andaikan tidak pernah tercetus “Indonesia” untuk negeri kepulauan ini, darah apakah yang akan disebutkan Agnez? Apakah Indonesia itu? Ketika orang-orang berteriak, “Saya Indonesia,” tahukah mereka apa itu Indonesia?

Indonesia adalah sebuah identitas! Sebagai identitas, Indonesia melekat pada setiap unsur yang ada di dalamnya. Indonesia melekat pada bangsa, bendera, lambang negara, bahasa, presiden, warga, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang mengenakan pin Burung Garuda atau Merah Putih, orang lain akan mengidentifikasikannya sebagai orang Indonesia. Begitu juga, ketika orang Sunda menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi, identitasnya telah menjadi orang Indonesia.

Dalam “kasus Agnez”, sepotong kalimat yang dilontarkannya dalam wawancara dengan media asing itu sudah dianggap penyangkalan identitasnya sebagai warga Indonesia. Agnez dianggap tidak mengakui berada dalam sebuah entitas bernama Indonesia. Tampaknya, alasan itulah yang memicu hujatan terhadap Agnez. Salahkah Agnez? Bisa ya, bisa tidak. Masalahnya adalah bahasa itu punya karakter taksa, ambigu. Kata darah yang menjadi metafor Agnez untuk menjelaskan faktor genetik bisa dimaknai sebagai ”identitas” oleh orang lain.

Bahasa menunjukkan bangsa. Artinya, bahasa sudah lama diakui sebagai identitas. Saat seorang warga Indonesia—pejabat, artis, dosen, atau warga jelata—tak menggunakan bahasa Indonesia, identitasnya sebagai orang Indonesia akan tersamarkan. Kefasihan tidak menjadi ukuran. Orang lain yang tidak mengenalnya dan mendengar tuturannya pasti tidak dapat mengidentifikasi dia sebagai orang Indonesia.

Mungkin itu sebabnya Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Ada pendapat bahwa peraturan itu dibuat untuk “menyelamatkan” Presiden Jokowi dari kekurangfasihannya berbahasa Inggris. Ada yang mengatakan perpres tersebut sudah dirancang lama sebelumnya. Ada juga yang mengatakan perpres tersebut memang harus segera ditandatangani karena penggunaan bahasa Indonesia sudah tidak menjadi hal yang utama.

Banyak pendapat pro atau kontra, tapi bukan itu yang harus kita sikapi. Apa pun latar belakang penandatanganan perpres itu bukanlah masalah. Keberadaan peraturan tersebut justru harus kita syukuri karena sudah lama kita tunggu. Setidaknya, kita bisa berharap pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia sebagai upaya pemartabatannya dapat terwujud. Masalahnya kini adalah penerapan peraturan tersebut.

Penerapan dan pemberlakuan perpres itulah yang seharusnya kita soroti. Contoh saja, pasal yang paling banyak disoroti adalah penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, selain pidato resmi presiden dalam acara resmi internasional. Apakah penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik sudah lebih tertib daripada sebelumnya?

Melalui pengamatan sepintas saja, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa pelaksanaan peraturan presiden itu masih jauh panggang dari api. Jangankan membuat langkah penertiban nama-nama di ruang publik, misalnya, sekadar menamai acara pun para pejabat dan masyarakat masih lebih suka menggunakan bahasa asing. Buktinya? Pada 1-3 November 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan acara bernama West Java Festival 2019. Pada waktu yang sama, di sebuah wilayah Kota Bandung tempat saya tinggal juga ada perhelatan peringatan Sumpah Pemuda dengan tajuk West Java Culture Festival 2019. Kompak!

Sejak perpres kebahasaan ditetapkan pada 30 September 2019, tampaknya, memang belum ada upaya pemerintah menegakkan peraturan itu. Mungkin Presiden Jokowi beranggapan, cukup dengan penandatanganan peraturan tersebut, penggunaan bahasa Indonesia sudah diutamakan di negeri ini. Oh tidak, Pak! Sudah lama bangsa ini kehilangan kebanggaan terhadap salah satu identitas kebangsaannya. Mereka sudah malu berbahasa Indonesia. Bahkan, dalam berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia saja, mereka lebih suka menggunakan bahasa asing.

Mungkin di tubuh mereka sudah tak mengalir lagi darah Indonesia. Meminjam kata Agnez, I actually don’t have Indonesian blood whatsoever! Pemberlakuan perpres kebahasaan itu seharusnya memicu pemartabatan bahasa Indonesia.

 

*) Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung; Manajer Media dan Data Center Wanadri
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus